Bila Sholat Dirasa Membosankan (2)

Creator: Gd Jpeg V1.0 (using Ijg Jpeg V62), Quality = 100

Peringatan Keempat

Wahai diri yang bingung! Apakah menurutmu penunaian ubudiyah ini tidak ada hasilnya?! Apakah balasannya sedikit sehingga engkau merasa bosan? Padahal, ada di antara kita yang bekerja hingga sore tanpa kenal lelah manakala dijanjikan harta atau mendapat ancaman.

Nah, apakah shalat yang merupakan makanan kalbumu yang lemah dan fakir dalam jamuan sementara bernama dunia; nutrisi dan cahaya bagi rumah yang pasti menjadi tempatmu, yaitu kubur; sarana penolong saat engkau berada di mahsyar yang merupakan tempat pengadilanmu; cahaya dan kendaraan buraq yang melintasi shirath al-mustaqim yang pasti kau lewati tidak berbuah atau imbalannya sangat kecil?

Ketika ada orang yang berjanji akan memberimu uang sepuluh juta, dengan syarat kau bekerja selama seratus hari, engkau tentu bekerja tanpa pernah bosan dan malas lantaran mengharap janjinya. Padahal bisa jadi ia mengingkari janjinya. Lalu bagaimana dengan Zat yang telah berjanji kepadamu sementara Dia tidak pernah ingkar?! Dia berjanji memberimu ganjaran besar berupa surga, dan hadiah agung berupa kebahagiaan abadi, serta mempekerjakanmu untuk menunaikan kewajiban dan tugas yang sangat menyenangkan hanya dalam beberapa saat. Jika engkau tidak menunaikan tugas ringan tersebut atau menunaikannya tanpa semangat dan setengah hati berarti engkau telah meremehkan hadiah-Nya dan tidak percaya kepada janji-Nya. Apakah engkau tidak berpikir bahwa engkau berhak mendapatkan hukuman yang keras dan siksa yang pedih?! Tidakkah engkau tergerak untuk menunaikan tugas yang sangat mudah dan ringan ini karena takut kepada penjara abadi yang berupa jahanam? Apalagi engkau telah menunaikan berbagai tugas berat dan sulit tanpa kenal lelah karena takut kepada penjara dunia.

Peringatan Kelima

Wahai diri yang berkutat dengan dunia, apakah sikap malasmu dalam beribadah dan kelalaianmu dalam mengerjakan shalat karena terlalu sibuk dengan dunia? Atau, engkau sudah tidak sempat karena sibuk mencari nafkah?

Apakah engkau dicipta untuk dunia semata sehingga mencurahkan semua waktumu untuknya? Perhatikan baik-baik! Engkau tidak bisa menyamai kekuatan burung pipit yang yang paling kecil dalam memperoleh kebutuhan hidup dunia meski secara fitrah engkau lebih mulia dari seluruh hewan. Mengapa dari sini engkau tidak dapat memahami bahwa tugas aslimu bukan tenggelam dalam kehidupan dunia dan sibuk dengannya seperti hewan. Mestinya usaha dan ketekunanmu ditujukan untuk kehidupan yang kekal sebagai manusia hakiki. Terlebih lagi urusan dunia yang engkau sampaikan adalah persoalan yang tidak penting. Akhirnya waktumu yang sangat berharga habis dalam urusan yang tidak penting dan tidak berguna. Misalnya mempelajari jumlah ayam di Amerika atau jenis lingkaran di seputar Saturnus. Seolah-olah dengan itu engkau mendapat sesuatu dari ilmu cakrawala dan statistik. Engkau menganggapnya lebih penting dan lebih urgen dari semua urusan seolah-olah engkau akan hidup ribuan tahun.

Barangkali engkau berkata, “Yang membuatku enggan dan malas menunaikan shalat dan ibadah bukan hal-hal sepele seperti di atas. Akan tetapi, persoalan penting yang terkait dengan mencari nafkah.”
Jika demikian perhatikan perumpamaan berikut:

Jika upah harian seseorang sekitar seratus ribu, lalu ada yang berkata, “Galilah tempat ini selama sepuluh menit, niscaya engkau akan mendapatkan batu mulia seperti zamrud yang bernilai seratus juta.” Bukankah alasannya sangat sepele, bahkan tidak waras jika ia menolak dengan berkata, “Tidak, aku tidak akan melakukannya. Sebab, hal itu akan mengurangi upah harianku.”

Demikianlah kondisimu. Jika engkau meninggalkan shalat wajib maka seluruh hasil usaha dan pekerjaanmu di kebun ini hanya terbatas pada nafkah duniawi yang sangat murah tanpa memetik keuntungan dan keberkahannya. Sementara jika engkau sisihkan waktu istirahatmu di antara waktu kerja untuk menunaikan shalat yang merupakan sarana pelapang ruh dan kalbu, maka di samping mendapat hasil ukhrawi, bekal akhirat, dan upah duniawi yang penuh berkah, engkau juga mendapatkan sumber mata air besar dari dua kekayaan maknawi yang abadi.
Pertama, engkau akan mendapatkan12 bagian dan jatahmu dari tasbih setiap bunga, buah, dan tumbuhan yang kau siapkan dengan niat tulus di kebunmu.

Kedua, hasil kebunmu yang dimakan entah oleh hewan, manusia, atau pencuri akan menjadi sedekah jariyah untukmu dengan syarat engkau bertindak atas nama Zat Pemberi rezeki hakiki dan dalam lingkup rida- Nya dan engkau pandang dirimu berposisi sebagai wakil dan pegawai yang mendistribusikan harta Allah kepada makhluk-Nya. Sekarang perhatikan orang yang meninggalkan shalat. Betapa ia sangat merugi. Betapa ia kehilangan kekayaan yang demikian besar. Ia akan terus dalam kondisi terhalang dan tidak mendapatkan dua harta kekayaan abadi yang memberi kekuatan maknawi kepada manusia untuk bekerja sekaligus menyegarkan semangatnya. Lalu, ketika mencapai usia senja ia akan merasa bosan dan gusar dengan pekerjaannya seraya berbisik kepada dirinya, “Dalam waktu yang dekat aku akan meninggalkan dunia. Mengapa aku memenatkan diri?” Ia terjerumus dalam kondisi malas. Sebaliknya, orang pertama berkata, “Aku akan bekerja keras untuk usaha yang halal di samping terus melakukan ibadah agar kuburku lebih terang. Serta aku ingin meletakkan simpanan yang lebih banyak untuk akhirat.” Kesimpulannya, beramallah, wahai diri! Hari kemarin telah berlalu, sementara esok belum tiba dan tidak ada jaminan engkau dapat menggapainya. Karena itu, berharaplah dari umurmu yang hakiki, yaitu sekarang. Paling tidak engkau sisihkan sesaat darinya untuk simpanan akhirat. Yaitu dengan berada di masjid atau di atas sajadah guna menjamin masa depan hakiki yang abadi.

Selain itu, ketahuilah bahwa setiap hari baru merupakan pintu bagi datangnya alam baru untukmu dan untuk yang lain. Jika engkau tidak menunaikan shalat di dalamnya, maka alam harimu pergi menuju alam gaib dalam kondisi gelap, mengeluh, dan sedih. Ia akan menjadi saksi yang memberatkanmu. Setiap kita memiliki alam sendiri dari alam tersebut. Kualitasnya sesuai dengan amal dan kondisi kalbu. Ia laksana cermin di mana gambarnya mengikuti warna dan kualitasnya. Jika gelap, gambarnya juga menjadi gelap. Jika bening, gambarnya juga menjadi jelas. Jika tidak, berarti terjadi perubahan yang menjadikan sesuatu yang besar menjadi kecil. Demikian pula dengan dirimu. Dengan kalbu, akal, dan amalmu, engkau dapat merubah gambaran alammu. Serta dengan usaha dan kehendakmu engkau dapat menjadikan alam tersebut sebagai saksi yang menguntungkan atau memberatkanmu.

Demikianlah, jika engkau menunaikan shalat dan menghadap kepada Tuhan Sang Pencipta alam Yang Mahaagung dengan shalatmu, alam yang mengarah kepadamu itu akan bersinar terang. Seolah-olah shalatmu sebagai lampu dan niat shalat seperti menekan tombolnya sehingga hal itu menghilangkan kegelapan dalam alammu. Ketika itu, seluruh gerakan dan perubahan yang berada di sekitarmu di dunia akan merubah menjadi laksana tatanan penuh hikmah dan tulisan penuh makna yang ditulis dengan pena qudrat ilahi. Maka, salah satu cahaya dari

الله نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ

masuk ke kalbumu sehingga alam harimu itu menjadi terang. Cahayanya akan menjadi saksi untukmu di sisi Allah. Wahai saudaraku, jangan engkau berkata, “Shalatku masih jauh dari hakikat tersebut.” Sebab, sebagaimana benih kurma membawa sifat-sifat pohon kurma yang akan menjulang di mana yang membedakan hanya rincian dan garis besarnya, demikian pula dengan shalat orang awam seperti diriku dan dirimu. Ia mengandung bagian cahaya tersebut dan rahasia hakikat seperti yang terdapat pada shalat wali Allah yang saleh meskipun perasaannya tidak terpaut dengan itu. Terang cahayanya juga berbeda-beda sebagaimana perbedaan antara benih dan pohon kurma. Walaupun shalat memiliki tingkatan yang lebih banyak, namun seluruhnya mengandung pondasi hakikat cahaya tersebut.

اللهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمَ عَلَى مَنْ قَالَ الصَّلَاةُ (عِمَادُ الدِّينِ) وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.

Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam-Mu kepada sosok yang berkata, “Shalat adalah tiang agama.” Juga kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.

Sumber: Rahasia Kenikmatan Beribadah, Badiuzzaman Said Nursi, Zaman, Hal 64-69.