Keutamaan Shalat Subuh

Th (4)

“Batas antara kita dan orang-orang munafik adalah menghadiri shalat Isya dan Subuh, sebab orang-orang munafik tidak sanggup menghadiri kedua shalat tersebut.” (Imam Malik)

Keutamaan shalat Subuh sebenarnya tidak cukup hanya diungkapkan oleh pena, tidak bisa diucapkan dengan kata-kata walau sefasih apa pun pengucapnya, kecuali dengan firman Rabbul Alamin (Allah), ketika Dia bersumpah dengan waktu fajar, yang Dia tujukan kepada orang- orang yang berakal. Allah berfirman:

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ وَالَّيْلِ إِذَا يَسْرِ هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ

“Demi fajar, demi malam yang sepuluh, demi yang genap dan ganjil, dan demi malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal.” (Al-Fajr [89]: 1-5)

Anda bisa saksikan sendiri di sini, bagaimana Allah mengawali sumpah dengan menyebut kata-kata fajar. Mengingat manusia tidaklah sama tingkat pemahamannya, padahal sesuatu yang digunakan untuk bersumpah di sini amat agung nilainya, maka Allah mengkhususkannya bagi orang-orang yang berakal.

Dia berfirman, “Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal (dzî hijr)”

Ibnu Katsir berkata, “Li dzi hijr, artinya bagi orang-orang yang memiliki akal, kepandaian, dan agama. Akal disebut dengan istilah hijr karena ia menghalangi pemiliknya dari melakukan berbagai perbuatan dan kata-kata yang tidak pantas.”

Memang benar, siapa yang akalnya tidak mampu mencegah dari sikap meremehkan shalat, ia tidak layak disebut orang berakal seperti yang dikabarkan Allah.

Demi Allah, bagi yang merenungi konteks ayat ini, akan melihat betapa kuat dorongan dan anjuran untuk melaksanakan shalat Subuh. Bagaimana tidak, karena Anda melihat sendiri di dalamnya terhimpun semua makna ruhiah yang melembutkan hati sekaligus melenyapkan kekerasannya.

Penulis tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Sayid Quthb) berkata setelah menyebutkan ayat-ayat ini, “Ayat-ayat ini bukan sekadar kata-kata dan lafazh, ia adalah nafas-nafas yang terkandung dalam waktu fajar, dan titik-titik embun yang bercampur dengan wewangian, seruan keselamatan yang melegakan hati, bisikan lembut untuk ruh, sentuhan yang diarahkan kepada hati. Itulah udara fajar, udara yang familiar dan sangat menyenangkan, di saat spirit ibadah yang khusyuk bertemu dengan nafas alam yang tenang, di saat ruh-ruh yang tunduk beribadah dan ruh-ruh malam hari pilihan serta ruh fajar yang indah saling memberikan respon. Waktu fajar, yang merupakan saat-saat kehidupan man bernafas dalam kemudahan, kegembiraan, senyuman, keakraban kecintaan, dan kerelaan hati. Saat di mana alam yang tertidur mulai bangun pelan-pelan, seolah nafas-nafasnya saling berbisik, dan seolah suasana merekahnya adalah doa.”

Akhi muslim… mari kita tengok dari sisi pemandangan lain yang teramat menarik. Di sana ada perintah dengan sangat jelas untuk melaksanakan shalat-shalat, tetapi di sana shalat Subuh disebut secara khusus. Allah berfirman:

أَقِمِ الصَّلَوَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sungguh shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Isra'[17]: 78)

Firman Allah, ‘Li dulûkisy syamsi‘, artinya adalah ketika matahari tenggelam, sedangkan ‘ghasaqul lail’ adalah ketika malam telah gelap, dan ‘qur’anul fajr’, maksudnya adalah shalat Subuh.

Ini adalah perintah dari Allah, Dzat Yang Maha Pencipta dan Mahasuci, untuk melaksanakan semua shalat, akan tetapi Allah mengkhususkan shalat Subuh dengan memberikan pujian yang lebih, yaitu shalat Subuh ini disaksikan oleh para malaikat Allah Sang Maha Pengasih.

Perhatikan, bagaimana Allah memberikan balasan dari pelaksanaan ibadah-ibadah ini dengan ditinggikannya derajat dan dinaikkannya kedudukan, sebagaimana firman-Nya selanjutnya:

عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا تَحْمُودًا

“Mudah-mudahan Rabbmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isra’ [17]: 79)

Tempat terpuji (al-maqâmul mahmûd) jika untuk Nabi artinya adalah syafaat. Tetapi, kalau yang dijadikan khithab (obyek) pada ayat ini adalah umat yang hidup sepeninggal Nabi , tidaklah mustahil maknanya bahwa Allah akan mengangkat dan memberikan derajat sejajar dengan orang-orang shidiqin bagi siapa saja yang melaksanakan perintah-perintah ini dan menjaga pelaksanaan shalat Subuh dengan konsisten, lantas menjadikannya termasuk orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah.

Penulis tafsir Fi Zhilalil Qur’an berkomentar tentang pandangan ayat ini, “Artinya, tegakkanlah shalat sejak dari condongnya matahari ketika akan tenggelam sampai datangnya malam dan gelapnya. Demikian pula, laksanakanlah shalat Subuh, sebab shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Kedua ayat ini memiliki ciri khas sendiri-sendiri, yaitu perginya waktu siang dan datangnya waktu malam, serta perginya waktu malam dan datangnya waktu siang. Masing-masing dari kedua waktu ini memiliki pengaruh pada jiwa. Sesungguhnya awal mula malam dan mulai merambatnya kegelapan, sama dengan ketika cahaya pagi baru terbit dan kegelapan mulai tersibak. Keduanya menjadikan hati ini khusyuk. Keduanya adalah kesempatan untuk merenung dan memikirkan rahasia-rahasia alam semesta yang tak pernah berhenti, dan tidak pernah sekalipun ada kecacatan. Sebagaimana halnya shalat, bacaan Al-Qur’an di saat seperti ini memberikan pengaruh yang sangat bagus, baik dalam terbitnya fajar, dalam embun-embun dan nafas-nafasnya yang nyaman, ketenangannya yang merasuk, merekahnya dengan cahaya, denyut gerakannya, dan nafas kehidupannya, ‘…mudah- mudahan Rabbmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji’, yaitu dengan shalat, dengan bacaan Al-Qur’an, dengan tahajud (shalat malam), dan kontak dengan Allah yang terus menerus seperti ini. Jadi, inilah jalan yang mengantarkan ke tempat terpuji. Jika Rasulullah saja diperintah untuk shalat, melakukan tahajud, dan membaca Al-Qur’an seperti ini agar kelak Allah bangkitkan beliau pada tempat terpuji, padahal beliau adalah Al- Mushthafa Al-Mukhtar (makhluk pilihan), tentu orang lain lebih membutuhkan akan sarana-sarana ini agar mereka bisa memeroleh tempat yang akan diberikan kepada mereka kelak. Inilah jalannya, dan inilah bekal perjalanan itu.”

Karena jalan ini sulit dan penuh dengan rintangan serta berbagai kesusahan, maka Allah menjadikan di dalam shalat Subuh penghibur dan pemacu semangat bagi hamba-Nya yang beriman. Allah berfirman kepada Nabi-Nya :

فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا

“Bersabarlah kamu atas apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, sebelum terbit dan terbenamnya matahari.” (Thâhâ [20]: 130)

Yang dimaksud di sini adalah shalat Subuh dan shalat Asar.

Seolah-olah Allah berfirman kepada Nabi, “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan,” berupa kekufuran pengingkaran, olok-olok, dan penolakan. Tidak usah dadamu merasa sempit dengan mereka, janganlah menyesalkan mereka. menghadaplah kepada Rabbmu dan, “..bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, sebelum terbit dan terbenamnya matahari…” di saat tenangnya waktu subuh, ketika mulai bernafas dan terbukanya lembaran kehidupan. Juga di saat tenangnya waktu matahari tenggelam, saat matahari beranjak menghilang, dan alam semesta mulai memejamkan kelopak matanya. Bertasbihlah dengan selalu memuji Rabbmu di waktu-waktu malam dan siang, jadikan dirimu selalu berhubungan dengan Allah sepanjang hari.

Siapa saja yang memperbagus hubungannya dengan Allah dan bertasbih dengan baik pada waktu-waktu yang telah disinggung -sebelum terbitnya matahari dan tenggelamnya- ia akan memperoleh kenikmatan berupa sifat ridha. Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “…supaya kamu merasa ridha (senang)” (Thâhâ [20]: 130).

Rasa ridha (senang, bahagia) adalah buah dari tasbih dan ibadah. Itulah satu-satunya ganjaran yang langsung datang dan tumbuh dari dalam jiwa, serta tumbuh dalam relung hati, maka hadapkanlah dirimu kepada Rabbmu dengan ibadah, “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada segolongan mereka” (Thâhâ [20]: 131).

Ini bukan seruan untuk menjauhi kenikmatan hidup. Akan tetapi, seruan untuk menyadari kemuliaan diri dengan menyandang nilai-nilai mendasar dan kekal, dengan hubungan kepada Allah dan ridha kepada-Nya, supaya jiwa tidak terjatuh di kubangan gemerlapnya materi yang melimpah, agar tidak kehilangan harga dirinya dengan nilai-nilai yang tinggi, dan supaya ia selalu merasakan kebebasan sikap; merasa tinggi di atas hiasan-hiasan semu yang menyilaukan mata.

Akhi muslim, inilah sebagian sisi pemandangan Al-Qur’an yang menggambarkan betapa nikmatnya shalat Subuh dan bertasbih di waktu subuh. Semoga saja, dengan amalan amalan ini Allah akan membukakan penutup-penutup hatimu memberikan rezeki kepadamu berupa rasa cinta kepada ibadah tersebut, dan menjadikannya sebagai penutup amal perbuatanmu. Kami senantiasa mendukungmu dan kaum muslimin lainnya.

Sumber: Keajaiban Shalat Subuh, ‘Imad ‘Ali ‘Abdus Sami’ Husain, Wacana Ilmu Press, hal 43-50