Pertama, hadits yang membahas tentang keutamaan puasa, shalat, dan ibadah pada pertengahan bulan Sya’ban tidak hanya sebatas lemah, namun merupakan hadits palsu dan batil. Maka tidak diperbolehkan untuk menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai landasan dalam beribadah, baik dalam keutamaan amal maupun sebagainya.
Sungguh para ulama telah menghukumi riwayat-riwayat yang ada dengan hukum batil, di antaranya adalah Ibnu Al-Jauzy dalam kitab Al-Maudhu’at, Ibnul Qayyim dalam kitab Al-Manar Al-Munif, Abu Syamah Asy-Syafi’i dalam Al-Ba’its Ala Inkaril Bida’ Wal Hawadits, dan Imam Al-Araqy dalam Takhrij Ihya’ Ulumud Dien.
Berkata Syaikh bin Bazz rahimahullah, “Sesungguhnya merayakan malam pertengahan bulan Sya’ban dengan shalat atau selainnya dan mengkhususkan siang harinya dengan puasa adalah bid’ah yang munkar menurut kebanyakan para ulama. Tidak ada landasan syar’i dalam masalah ini.
“Keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban tidak berasal dari hadits yang shahih. Semua hadits yang membahasnya adalah hadits-hadits palsu dan lemah. Malam pertengahan bulan Sya’ban tidak memiliki kekhususan, baik membaca Al-Qur’an, shalat, maupun perkumpulan secara khusus. Adapun perkataan sebagian ulama bahwa di dalam hari tersebut terdapat kekhususan adalah perkataan yang lemah. Maka tidak boleh mengkhususkan sesuatu yang tidak dikhususkan, ini lah yang benar.” (Fatawa Islamiyah, 4/511)
Kedua, seandainya hadits tersebut adalah lemah dan tidak sampai derajat palsu, maka yang benar adalah tidak menjadikan hadits tersebut sebagai landasan amal secara mutlak, meskipun dalam masalah keutamaan amal. Hadits shahih sudah cukup bagi seorang muslim untuk dijadikan sandaran, sehingga tidak perlu lagi mengambil dari hadits yang lemah. Apalagi pengkhususan malam dan siang pertengahan bulan Sya’ban tidak dikenal, tidak dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabat.
Berkata Al-Allaamah Ibnu Syakir,
لا فرقَ بين الأحكام وبين فضائل الأعمال ونحوها في عدم الأخذ بالرواية الضعيفة، بل لا حجةَ لأحدٍ إلا بما صحَّ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم من حديث صحيحٍ أو حسنٍ
“Tidak ada perbedaan antara masalah hukum dan amalan utama (fadha’ilul a’mal) atau semisalnya, bahwa mengambil periwayatan yang lemah tidak dibenarkan. Bahkan seseorang tidak boleh berhujjah kecuali dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa hadits shahih maupun hasan.” (Al-Baits Al-Hatsits, 1/278)
Wallahu A’lam Bish Shawab