Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Seorang pria melakukan perjalanan pendek, perjalanan itu dilakukan di bulan Ramadhan, maka ia pun tidak berpuasa. Ketika ia tiba di rumahnya pada siang hari Ramadhan, ia ingin menggauli istrinya dengan atau tanpa ridha istrinya, bagaimana hukum perbuatan suaminya itu dan bagaimana hukum istrinya jika melayani suaminya itu dan bagaimana hukum istrinya jika melayani suaminya dengan ridha atau dengan paksaan .?
Jawaban:
Mengenai suaminya, sebagaimana yang Anda dengar bahwa ia adalah seorang musafir yang tidak berpuasa lalu kembali ke kampungnya dalam keadaan tidak berpuasa. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di antara ulama.
Ada yang berpendapat : Bahwa seorang musafir jika ia telah sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa maka ia harus imsak (menahan dari yang membatalkan) sebagai penghormatan terhadap hari itu, walaupun puasanya itu tidak dihitung karena ia diharuskan mengqadha puasa pada hari itu.
Sebagian ulama lainnya berpendapat : Bahwa seorang musafir jika telah sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa, maka tidak diharuskan baginya untuk berpuasa dan boleh baginya untuk makan pada sisa hari itu.
Kedua pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad, pendapat yang paling benar di antara kedua pendapat ini adalah tidak diwajibkan baginya untuk berpuasa pada sisa hari itu, karena jika ia berpuasa pada sisa hari itu maka puasanya tidak mendatangkan faedah apapun, karena waktu tersebut bagi musafir itu bukan waktu yang harus dihormati, sebab pada hari itu dibolehkan baginya untuk makan dan minum sejak permulaan hari, sedangkan puasa sebagaimana yang telah kita ketahui, adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Karena itu, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata : “Barangsiapa yang makan di permulaan hari maka hendakanya ia makan di akhir hari, karena siang hari baginya tidak terhormat (karena tidak berpuasa)”.
Berdasarkan ungkapan ini maka musafir yang sampai ke tempatnya dalam keadaan tidak berpuasa dibolehkan baginya untuk makan dan minum pada sisa hari itu. Adapun bersetubuh, tidak boleh baginya menyetubuhi istrinya yang sedang menjalankan puasa fardhu, karena hal itu akan merusak puasanya.
Jika sang suami memaksanya dalan menyetubuhinya, maka ia tidak ada kaffarah pada sang istri, dan tidak ada pula kaffarah bagi suaminya karena tidak diwajibkan baginya berpuasa sebab ia tiba di kampung halamannya dalam keadaan sedang tidak berpuasa.
Sumber: Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tengtang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin.