Bantahan Terhadap Mereka Yang Mengatakan, “Saya Mengambil Hukum Langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Tanpa Bantuan Ulama”

Ketahuilah bahwa orang awam tidak akan mampu untuk mengambil kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sementara dirinya tidak memiliki kapabilitas dalam hal tersebut. Hal itu karena penyimpulan hukum membutuhkan pengetahuan akan dalil-dalil dan pengetahuan akan cara pengolahan dalil sehingga dapat disimpulkan hukum dari dalil tersebut. Maka orang yang hendak menyimpulkan suatu hukum harus mengetahui tentang ijma’, naskh dan mansukh, aam dan khass, mutlaq dan muqayyad, nash dan dzahir, shahih dan dhoif, mengetahui cara untuk mentarjih jika ada dali-dalil yang terlihat saling bertentangan, dan mengeahui kapan perintah menunjukkan kewajiban dan kapan perintah berfaedah sunah, kapan larangan menunjukkan keharaman dan kapan larangan menunjukkan kemakruhan. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh orang awam, bahkan sebagian penuntut ilmu pun belum sampai pada derajat ini.

Kalaulah perkara penyimpulan hukum ini diberikan kepada setiap orang, tentu Allah tidak akan berfirman,

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

Manusia ada dua jenis. Pertama, adalah ahludz dzikri atau ahlul ilmi, yaitu mereka yang mempunyai ilmu dan memiliki tugas untuk berijtihad dan menyimpulkan suatu hukum dari dalil-dalil yang terperinci. Kedua, adalah orang awam yang harus mempercayakan penyimpulan hukum kepada ahlu ilmi dan tidak boleh menyimpulkan hukum dengan sendirinya.

Dari ‘Atha` bin Abi Rabah bahwasanya dia mendengar Ibnu Abbas berkata,

أَصَابَ رَجُلًا جُرْحٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ احْتَلَمَ فَأُمِرَ بِالِاغْتِسَالِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالَ)

“Ada seseorang terluka pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, kemudian dia bermimpi basah, lalu dia diperintahkan untuk mandi, maka dia mandi dan meninggal. Kejadian ini kemudian sampai kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: “Mereka telah membunuhnya semoga Allah membunuh mereka! Bukankah obat dari kebodohan adalah bertanya!” (Hadits riwayat Ahmad 3056, Abu Daud 337)

Mereka mengambil kesimpulan hukum dengan sendirinya, mereka tidak mengetahui adanya rukhsoh yang diambil dari dalil yang lain.

Orang yang tidak kapabel dalam masalah ini terkadang asal menyimpulkan dari suatu ayat bahwa hukum dari ayat tersebut telah dihapuskan, atau hukum secara khusus, atau hukum yang terikat dengan keadaan tertentu. Mereka juga terkadang asal dalam menyimpulkan hadist bahwa hadits tersebut dhaif, atau hadits tersebut yang harus ditinggalkan, atau hadits tersebut adalah hadits khusus, dan lain sebagainya.

Padahal para sahabat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling berilmu dibandingkan dengan orang-orang setelahnya. Dengan keadaan ilmu mereka yang tinggi tersebut tidak menjadikan mereka semua kapabel dalam penyimpulan hukum yang diambil secara langsung dari nash-nash yang ada. Ketika mereka mendapatkan permasalahan, mereka menanyakan kepada kepada orang yang paling berilmu di antara mereka, Muadz bin Jabbal, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibnu Abbas, dan Abdullah Ibnu Umar. Sehingga lahir dari mereka radhiyallahu anhum madrasah fikih. Kemudian lahir dari madrasah fikih tersebut madzhab-madzhab fikih.

Maka, barangsiapa yang tidak memiliki alat untuk menyimpulkan suatu hukum baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hendaknya ia bertanya kepada ahlu ilmi.

Wallahu A’lam Bish Shawab