Adapun dalil yang mereka ambil sebagai hujjah dari firman Allah,
وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰىۚ
“Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar.” (Al-Anfal: 17)
Itu justru dalil yang menyudutkan mereka. Karena Allah telah menetapkan bahwa Rasu-Nya juga melempar, yaitu dengan firman-Nya, “ketika engkau melempar”. Dapat dipahami bahwa sesuatu yang ditetapkan, tidak bisa dinafikan. Yaitu bahwa melempar dari awal hingga berkahir adalah dari beliau Shalallahu alaihi wasallam. Dimulai dari lemparan sampai terkena sasaran. Artinya bahwa ketika seseorang melempar bukan dia yang menempatkan sasaran, akan tetapi Allah. Karena kalau tidak begitu, bagaimana jika dikatakan, “Ketika kamu shalat, bukan kamu yang shalat melainkan Allah! Ketika kamu berpuasa, bukan kamu yang berpuasa melainkan Allah. Ketika kamu berzina bukan kamu yang berzina melainkan Allah! Ketika kamu mencuri, bukan kamu yang mencuri melainkan Allah!” Dan ini jelas pendapat yang rusak dan batil.
Adapun dalam masalah pahala yang bergantung pada amal perbuatan, kedua golongan tersebut sama-sama sesat. Dalam sabda Nabi Muhammad,
لَا يدْخلُ أَحَدًا مِنْكُمْ بعَمَله الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ
“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR. Muslim no. 2817)
Sesungguhnya kata “ب” (dengan atau karena) dalam kalimat negatif berbeda dengan kata “Ba” dalam bentuk kalimat positif. Kata “Ba” tersebut mempunyai arti sebagai pengganti. Yakni bahwa amal perbuatan ibarat bayaran seorang untuk masuk surga. Yaitu sebagaimana keyakinan Mu’tazilah bahwa seorng hamba berhak masuk surga-Nya dengan modal amal perbuatannya. Justru hal itu hanya karena rahmat dan keutamaan Allah. Sedangkan kata “ب” dalam firman-Nya
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ اُخْفِيَ لَهُمْ مِّنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (As-Sajdah: 17)
Memiliki arti sebab atau karena. Yaitu karena sebab amal perbuatanmu. Allah ta’’ala adalah pencipta sebab musabab itu. Maka segalanya semata-mata memang kembali kepada rahmat dan keutamaan-Nya.
Adapun dalil yang dijadikan alasan oleh Mu’tazilah, yaitu firman Allah,
فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَۗ
“Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.” (Al-Mu’minun: 14)
Arti ayat tersebut adalah bahwa Allah adalah adalah sebaik-baik yang mendesain dan menentukan ukuran. Lafadz “Khalqu” yang disebutkan disini artinya menentukan ukuran atau takdir. Itulah yang dimaksudkan dalam ayat ini. Dengan dalil firman Allah
قُلْ مَنْ رَّبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۗقُلْ اَفَاتَّخَذْتُمْ مِّنْ دُوْنِه اَوْلِيَاۤءَ لَا يَمْلِكُوْنَ لِاَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّاۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الْاَعْمٰى وَالْبَصِيْرُ ەۙ اَمْ هَلْ تَسْتَوِى الظُّلُمٰتُ وَالنُّوْرُ ەۚ اَمْ جَعَلُوْا لِلّٰهِ شُرَكَاۤءَ خَلَقُوْا كَخَلْقِه فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْۗ قُلِ اللّٰهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Katakanlah, “Pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya sendiri?” Katakanlah, “Samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat? Atau samakah yang gelap dengan yang terang? Apakah mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah, “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia Tuhan Yang Maha Esa, Mahaperkasa.” (Ar-Ra’du: 16)
Artinya pencipta segala sesuatu yang Dia ciptakan, dan termasuk di dalamnya adalah perbuatan seorang hamba. Karena amal perbuatan seorang hamba masuk dalam keumuman kata “segala”.
Maka tidak ada pertentangan hamba sebagai pelaku perbuatan dengan terlaksananya perbuatan tersebut atas kehendak Allah, sebagaimana Allah berfirman,
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (Asy-Syams: 7-8)
Firman Allah, “maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” merupakan bukti ketetapan takdir, yaitu melalui ucapan-Nya, “mengilhamkan kepadanya”, juga bukti akan perbuatan hamba, dengan disandarkannya kefasikan dan ketakwaan kepada dirinya. Agar diketahui bahwa ia adalah jiwa yang fasik atau bertakwa. Sedang firman setelahnya,
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Juga merupakan bukti akan berlakunya perbuatan hamba. Dan banyak lagi ayat-ayat yang senada dengan itu.
Sumber: Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, Abdul Hammad Al-Ghunaimi, Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, Dasar-dasar Aqidah menurut ulama salaf. Penerbit Pustaka Tibyan, Solo