Pertama, dibolehkan bagi orang yang berkurban untuk berserikat dalam pahala kurban tersebut. Ia bebas berserikat dengan siapa saja dari kerabatnya, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Hal ini berdasar hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam
بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Dengan nama Allah. Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan Umat Muhammad.” (Hadits riwayat Muslim no. 1967)
Tercakup di dalam keluarga Muhammad baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal. Sebagaimana seseorang boleh berkurban khusus untuk orang yang telah meninggal, maka orang yang telah juga boleh diikutkan berserikat dengan orang yang masih hidup.
Sudah mencukupi di dalam satu kurban hewan untuk seseorang dan seluruh anggota keluarganya, baik anak-anaknya, istrinya, dan kedua orang tuanya. Namun hal ini disyaratkan bahwa mereka harus tinggal di dalam satu rumah yang sama. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha berkata,
أمر بكبش أقرن يطأ في سواد ، ويبرك في سواد ، وينظر في سواد ، فأتي به ليضحي به ، فقال لها يا عائشة : ( هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ، ثُمَّ قَالَ : اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ) ، ففعلت ثم أخذها ، وأخذ الكبش ، فأضجعه ثم ذبحه ثم قال : ( بِاسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ) ثم ضحى به
Bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam pernah menyuruh untuk diambilkan seekor domba yang bertanduk, yang kakinya berwarna hitam, perutnya berbelang hitam dan matanya berwarna hitam, kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau untuk dikurbankan. Kemudian beliau berkata kepada Aisyah: ‘Berikan aku pisau!’ Kemudian bersabda: ‘Asahlah pisau tersebut dengan batu.’ Akupun melakukannya. Kemudian Nabi mengambil pisau dan domba tersebut, dan membaringkannya, kemudian menyembelihnya. kemudian beliau mengucapkan: ‘Dengan Nama Allah, ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad.’ Kemudian beliau pun menyembelihnya. (Hadits riwayat Muslim no. 3637)
Imam An-Nawawy mensyarah hadits tersebut dan berkata, “Haidts ini menunjukkan bolehnya satu kurban hewan dari seseorang untuk dirinya dan untuk keluarganya, mereka saling berserikat dalam pahalanya. Dan ini adalah madzhab kami, dan madzhab jumhur ulama.” (Syarh Muslim lil Imam An-Nawawy)
Oleh karena itu, yang dianjurkan adalah seorang suami meniatkan kurban untuk dirinya sendiri, dan untuk anggota keluarganya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Dan ia tidak tidak diharuskan untuk berkurban secara khusus atas nama istri atau anaknya. Jika ia tidak meniatkan untuk anggota keluarganya, maka seorang istri tidak boleh dituntut untuk melaksanakan kurban, karena apa yang dikurbankan oleh suami telah tercakup di dalamnya kurban seorang istri. Walaupaun seorang istri tersebut tidak berserikat dalam pahala kurban.
Berkata Imam Ar-Ramly,
سنة مؤكدة في حقنا على الكفاية ، ولو بمنى إن تعدد أهل البيت ، وإلا فسنة عين , ومعنى كونها سنة كفاية ، مع كونها تسن لكل منهم : سقوط الطلب بفعل الغير ، لا حصول الثواب لمن لم يفعل ، كصلاة الجنازة
Hukum berkurban adalah Sunah yang ditekankan (muakkadah), dan memiliki sifat kifayah (jika sudah ada yang melaksakan, maka gugur bagi yang lain) walaupun berada di Mina (sedang berhaji) dan memiliki anggoata keluarga yang banyak. Kalau tidak (dilaksanakan) maka termasuk sunah ain (perorangan). Maksud sunah kifayah adalah meskipun disunahkan pada masing-masing personal, apabila telah dilakukan oleh orang lain, maka gugurlah hukum sunnah atasnya. Dan seseorang tidak mendapatkan pahala jika tidak melaksanakannya sebagaimana shalat janazah.” (Nihayatul Muhtaj 8/132)
Apabila seorang istri memiliki uang tersendiri, dan ia ingin untuk berkurban secara tersendiri, maka hal itu tidak mengapa. Walaupun uang tersebut diberi oleh sebagian anak-anaknya.
Wallahu A’lam
Diterjemahkan dan diringkas dari
https://islamqa.info/ar/answers/214402/اضحية-واحدة-تجزى-عن-الزوجين-واهل-بيتهما