Hal pertama yang harus diketahui adalah bahwa berdzikir adalah salah satu amal yang paling mulia. Dan berdzikir tidak dibatasi dengan lisan saja, terdapat dzikir dengan hati, lisan, dan anggota tubuh.
Berkata syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah,
وإذا أطلق ذكر الله : شمل كل ما يقرِّب العبدَ إلى الله من عقيدة ، أو فكر ، أو عمل قلبي ، أو عمل بدني ، أو ثناء على الله ، أو تعلم علم نافع وتعليمه ، ونحو ذلك ، فكله ذكر لله تعالى .
“Dzikir kepada Allah ta’ala ditetapkan sebagai segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada-Nya, baik dari kepercayaan, pemikiran, amalan hati, amalan tubuh, pujian kepada-Nya, mempelajari ilmu yang bermanfaat dan mengajarkannya, dan lain sebagainya. Maka hal itu semua adalah dzikir kepada Allah ta’ala. (Ar-Riyadh An-Nadhirah hal. 245)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata,
“Dzikir kepada Allah dapat berupa dzikir hati, lisan, dan anggota tubuh. Adapun asalnya, adalah dengan menggunakan hati. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ؛ وإذا فسدت فسد الجسد كله ؛ ألا وهي القلب. رواه البخاري ومسلم
‘Sesungguhnya, di dalam badan ini terdapat sekerat daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh ba dan, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Sesungguhnya, ia adalah hati.’ (HR Bukhari dan Muslim).
“Dan poros dari dzikir adalah dzikir hati. Ini sesuai dengan firman-Nya,
ولا تطع من أغفلنا قلبه عن ذكرنا واتبع هواه
“Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
“Dzikir kepada Allah dengan lisan dan anggota tubuh tanpa menyertakan hati adalah kelalaian, seperti jasad yang di dalamnya tidak terdapat ruh. Sifat dzikir dengan hati adalah dengan terus memikirkan ayat-ayat-Nya, kecintaan kepada-Nya, mengagungkan-Nya, kembali kepada-Nya, takut dan tawakal hanya kepada-Nya, dan lain sebagainya dari amal-amal hati.
“Sedangkan dzikir dengan lisan adalah mengucapkan segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada-Nya. Bentuk tertinggi dari amalan ini adalah mengucapkan laa ilaha illallah.
“Sedangkan dzikir dengan anggota tubuh adalah dengan semua perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, seperti berdiri ketika shalat, ruku’, sujud, jihad, dan zakat, maka semua itu adalah berdzikir kepada Allah. Karena sesungguhnya ketika seseorang melaksanakan hal itu semua, maka ia telah tunduk dan patuh kepada-Nya. Dan ketika itu pula, ia dikatakan telah berdzikir kepada Allah dengan perbuatannya tersebut. Oleh karena itu Allah berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 45,
وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ
“Dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar.” (Tafsir Ibnu Utsaimin: 2/167-168)
Kedua, dzikir yang dilafalkan dengan lisan seperti bacaan shalat, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, dzikir pagi dan petang, dan dzikir-dzikir yang lain diharuskan untuk menggerakkan lisan. Seseorang tidak dianggap melafalkan dzikir tersebut kecuali ia telah menggerakkan lisannya.
Dinukil dari Ibnu Rasyd, dari Imam Malik ia ditanya perihal seseorang yang membaca di dalam shalat yang tidak didengar oleh siapapun bahkan dirinya sendiri, ia tidak menggerakkan lisannya. Maka Imam Malik berkata,
ليست هذه قراءة ، وإنما القراءة ما حرك له اللسان
“Ini tidak disebut sebagai bacaan. Yang disebut sebagai bacaan adalah ketika menggerakkan lisannya.” (Al-Bayan At-Tahshil 1/490)
Imam Al-Kasany berkata,
القراءة لا تكون إلا بتحريك اللسان بالحروف ، ألا ترى أن المصلي القادر على القراءة إذا لم يحرك لسانه بالحروف لا تجوز صلاته . وكذا لو حلف لا يقرأ سورة من القرآن فنظر فيها وفهمها ولم يحرك لسانه لم يحنث
“Bacaan tidak dianggap kecuali dengan menggerakkan bibir. Tidakkah engkau tahu bahwa seseorang yang shalat dan mampu untuk membaca, namun ia tidak menggerakkan lisannya untuk membaca huruf demi huruf, maka dia tidak mengerjakan kewajiab dalam shalatnya. Dan seperti itulah jika seseorang bersumpah untuk tidak membaca Al-Qur’an, kemudia ia melihat Al-Qur’an, dan memahami apa yang di dalamnya, namun tidak menggerakkan lisannya, maka dia tidak dikatakan telah menyelisihi sumpah.” (Bada’ius Sana’i’ 4/118)
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya perihal wajibkah harus menggerakkan lisan di dalam shalat atau cukup hanya dengan hati saja? Beliau menjawab,
القراءة لابد أن تكون باللسان ، فإذا قرأ الإنسان بقلبه في الصلاة فإن ذلك لا يجزئه ، وكذلك أيضاً سائر الأذكار ، لا تجزئ بالقلب ، بل لابد أن يحرك الإنسان بها لسانه وشفتيه ؛ لأنها أقوال ، ولا تتحقق إلا بتحريك اللسان والشفتين
“Tidak disebut sebagai bacaan kecuali dengan menggerakkan lisan. Apabila seseorang membaca dengan hatinya di dalam shalat, maka itu tidak cukup. Dan seperti itu juga seluruh dzikir, tidak cukup hanya dengan hati. Akan tetapi harus dengan menggerakkan lisan dan dua bibir. Karena dzikir adalah perkataan, sehingga tidak bisa dianggap sebagai perkataan kecuali dengan menggerakkan lisan dan kedua bibir.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 13/156)
Wallahu A’lam
Diringkas dan diterjemahkan dari
https://islamqa.info/ar/answers/70577/هل-يشترط-في-قراءة-القران-والاذكار-تحريك-اللسان