Larangan Nikah dengan Pelacur Atau Pezina

Allah SWT berfirman, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin,” (An-Nuur: 3).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a, bahwa Martsad bin Abi Martsad al-Ganawi adalah seorang laki-laki yang keras. Ia membawa tawanan dari Makkah ke Madinah. Ia berkata, “Aku membawa serta seorang laki-laki untuk menyertaiku. Dahulu di kota Makkah ada seorang pelacur yang bernama ‘Anaq. Dan ia dahulu adalah pelanggannya. ‘Anaq keluar dari rumahnya. Ia melihat bayanganku di tembok. Ia berseru, “Siapa itu? Martsad? Selamat datang marhaban, ahlan wa sahlan hai Martsad. Mari sini bermalam di tempatku” Aku (Martsad) berkata, “Hai ‘Anaq, sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengharamkan zina.” ‘Anak malah berteriak, “Hai penghuni kemah ini, ini ada duldul, dialah yang membawa tawanan kalian dari Makkah ke Madinah!”

Aku pun lari ke gunung Khandamah. Delapan orang mengejarku. Mereka menemukan tempatku dan berdiri tepat di atas kepalaku. Mereka mengencingiku dan kencing mereka tepat mengenaiku. Namun Allah menghalangi pandangan mereka terhadapku. Lalu aku pun menemui temanku tadi dan membawanya. Sesampainya di al-Araak aku membuka rantainya.

Kemudian aku menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkan aku menikahi ‘Anaq?” Rasulullah hanya diam saja. Lalu turunlah, “Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik,” (An-Nuur: 3).

Rasulullah memanggilku dan membacakan ayat tersebut kepadaku lalu beliau berkata, “Jangan nikahi dia!” (Hasan, HR Abu Dawud [2051] dan at-Tirmidzi [3077]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Pezina yang dihukum cambuk tidaklah menikah kecuali dengan orang yang sama sepertinya,” (Shahih, HR Abu Dawud [2052]).

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya seorang laki-laki yang baik-baik menikah dengan seorang wanita pezina atau pelacur. Demikian pula wanita yang baik-baik haram dinikahkan dengan seorang laki-laki pezina.

    Asy-Syaukani berkata dalam kitab Nailul Authar (VI/28), “Tidak halal bagi seorang wanita dinikahkan dengan seorang laki-laki yang diketahui berzina. Demikian pula tidak halal bagi seorang laki-laki menikah dengan wanita yang diketahui berzina. Dalilnya adalah ayat yagn telah disebutkan di atas. Karena di akhir ayat tersebut Allah mengatakan, “Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman,” (An-Nuur: 3). 

  2. Sebagian ahli ilmu membawakan ayat dan hadits-hadits bab di atas terhadap orang yang memulai ikatan perkawinan dengan wanita pezina. Adapun bila wanita itu berzina setelah menjadi isterinya maka ia boleh meneruskan bahligai perkawinannya. Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin Abbas r.a, ia berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, ‘Sesungguhnya isteriku tidak menampik laki-laki yang menyentuhnya.’ Rasulullah berkata, ‘Ceraikanlah dia!’ Ia berkata, ‘Aku khawatir tak mampu berpisah dengannya.” Maka Rasulullah berkata kepadanya, ‘Kalau begitu, bersenang-senang sajanya dengannya’,” (Shahih, HR Abu Dawud [2049]).

    Saya katakan, Para ulama berbeda pendapat tentang makna perkataan laki-laki itu tentang isterinya, “Tidak menampik tangan yang menyentuh,” menjadi beberapa pendapat: Ia mengikuti saja orang yang menghendaki dirinya dan tidak menampik tangannya. Ia tidak menampik orang yang mengulurkan tangan kepadanya untuk merasakan kenikmatan dengan merabanya, namun tidak bermaksud menyetubuhinya. Ia tidak menolak siapa pun yang meminta sesuatu kepadanya dari harta suaminya.

    Tafsiran yang paling pantas diterima adalah tafsiran yang kedua. Jadi maknanya ia tidak menghindari hal-hal yang mendatangkan kecurigaan dan tidak menampik tangan orang yang menjamahnya karena keluguannya.

    Namun asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar (VI/284) mengklaim bahwa ini merupakan pembatasan makna tanpa dalil.

    Saya katakan berikut ini dalil-dalilnya:

    1. Kalaulah yang dimaksud oleh si suami bahwa isterinya adalah wanita pezina berarti ia telah menuduhnya berzina, maka wajib dilakukan mula’anah lalu keduanya dipisah. 
    2. Kalaulah yang dimaksud oleh Rasulullah saw. adalah membiarkan si isteri berzina maka artinya si suami adalah seorang dayyuts (mucikari). Dan mustahil Rasulullah membenarkan perbuatan maksiat itu. 
    3. Perintah Rasulullah kepada seorang laki-laki yang memiliki isteri yang buruk akhlaknya supaya menceraikannya.

    Semua itu menguatakan kebenaran pendapat yang kedua, wallahua’lam. Aku telah bertanya kepada guru kami, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Bani tentang masalah ini. Lalu aku menyebutkan perincian di atas dan beliau menyetujuinya.

    Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir al-Qur’anil ‘Adzim (III/274), “Ada yang mengatakan bahwa maksunya adalah tabi’at wanita itu tidak menolah tangan yang menyentuhnya. Bukan maksudnya hal itu benar-benar terjadi dan ia melakukan perbuatan zina. Karena Rasulullah saw. tidak akan mengizinkannya bersanding dengan wanita yang seperti itu sifatnya. Dan jika demikian keadaannya maka si suami tergolong dayyuts. Dan tentang para suami yang dayyuts telah disebutkan ancamannya. Akan tetapi karena tabiat seperti itu yang tidak menolak dan menampik orang yang menghendakinya sekiranya ia bersendiri dengan orang lain maka Rasulullah saw. memerintahkan supaya menceraikannya. Namun ketika ia menyebutkan bahwa ia mencintai isterinya itu, maka Rasulullah saw. membolehkan untuk tetap bersamanya. Sebab cintanya kepada si isteri sudah pasti, sementara jatuhnya si isteri dalam perbuatan keji masih sebatas kemungkinan. Tentunya kita tidak memilih mudharat yang sudah pasti karena adanya mudharat yang belum pasti, wallahua’lam.”

    Berdasarkan hal itu, maka perkataan al-Baghawi dalam Syarah Sunnah (IX/288), “Sabda Nabi, ‘tahanlah dia’ merupakan dalil bolehnya menikahi wanita fajirah (wanita yang tidak baik), meskipun pilihannya bukan itu. Dan ini merupakan pendapat ahli ilmu. Kemudian beliau menguatkan ayat dalam surat an-Nuur dengan kesimpulan tersebut.”

    Perkataan al-Baghawi ini jelas keliru bagi orang yang menilitinya, alasannya sebagai berikut:

    1. Sabda Nabi, ‘Tahanlah dia’ tidak menunjukkan kepada kesimpulan yang disebutkan tadi kecuali bila diartikan menurut pendapat yang pertama. Dan telah jelas kelemahan pendapat yang pertama. 
    2. Mengaitkan ayat dalam surat an-Nuur dengan kejadiannya dan sebab turunnya ayat saja adalah tertolak, karena yang menjadi ukuran adalah kandungan umum suatu lafadz bukan sebab khususnya sebagaimana telah ditegaskan dalam kaedah ushul fikih. 
  3. Said bin al-Musayyib berpendapat bahwa ayat tersebut manshukh. Namun penghapusan hukum tidak dapat dilakukan atas dasar praduga belaka. Sebab turunnya ayat tersebut menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa muhkam tidak mansukh dan pendapat inilah yang benar, wallahua’lam.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/33-37.