Al-Qur’an menjelaskan, sebagaimana yang dijelaskan oleh sunnah Nabi shallallahu alahi wa sallam, bahwa sesungguhnya perbuatan manusia di sisi Allah itu memiliki berbagai tingkatan. Ada perbuatan yang paling mulia dan paling dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala daripada perbuatan yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah, dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajadnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (at-Taubah: 19-20)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan, “Sesungguhnya iman itu ada enam puluh lebih cabang –atau tujuh puluh lebih– yang paling tinggi di antaranya ialah la ilaha illa Allah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan penghalang yang ada di jalan.” Hal ini menunjukkan bahwa jenjang iman itu bermacam-macam nilai dan tingkatannya.
Penjenjangan ini tidak dilakukan secara ngawur, tetapi didasarkan atas nilai-nilai dan dasar-dasar yang dipatuhi. Inilah yang hendak kita bahas.
Di antara ukurannya ialah bahwa jenis pekerjaan ini harus pekerjaan yang paling langgeng (kontinyu); di mana pelakunya terus-menerus melakukannya dengan penuh disiplin. Sehingga perbuatan seperti ini sama sekali berbeda tingkat dengan perbuatan yang dilakukan sekali-sekali dalam suatu waktu tertentu.
Sehubungan dengan hal ini dikatakan dalam sebuah hadits shahih, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang paling langgeng walaupun sedikit.” (Muttafaq ‘Alaih, dari ‘Aisyah (Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 163)
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dan Masruq berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah rodhiyallahu ‘anha, Amalan apakah yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu alahi wa sallam?, Aisyah menjawab, “Amalan yang langgeng.” (Muttafaq ‘Alaih, ibid., dalam al-Lu’lu’ wa al-Marjan (429).
Diriwayatkan dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, “Bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu alahi wa sallam
masuk ke rumahnya, pada saat itu ‘Aisyah sedang bersama dengan seorang perempuan. Nabi shallallahu alahi wa sallam bertanya, “Siapakah wanita ini?” Aisyah menjawab, “Fulanah yang sangat terkenal dengan shalatnya (yakni sesungguhnya dia banyak sekali melakukan shalat).” Nabi shallallahu alahi wa sallam bersabda, “Aduh, lakukanlah apa yang kamu mampu melakukannya. Demi Allah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak bosan sehingga kamu sendiri yang bosan.”
‘Aisyah berkata, “Amalan agama yang paling dicintai olehnya ialah yang senantiasa dilakukan oleh pelakunya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Perkataan “aduh” dalam hadits tersebut menunjukkan keberatan beliau atas beban berat dalam beribadah, dan membebani diri di luar batas kemampuannya. Yang beliau inginkan ialah amalan yang sedikit tapi terus-menerus dilakukan. Melakukan ketaatan secara terus-menerus sehingga banyak berkah yang diperoleh
akan berbeda dengan amalan yang banyak tetapi memberatkan. Dan boleh jadi, amalan yang sedikit tapi langgeng akan tumbuh sehingga mengalahkan amalan yang banyak yang dilakukan dalam satu waktu. Sehingga terdapat satu peribahasa yang sangat terkenal di kalangan masyarakat, “Sesungguhnya sesuatu yang
sedikit tapi terus berlangsung adalah lebih baik daripada amalan yang banyak tetapi terputus.”
Itulah yang membuat Nabi shallallahu alahi wa sallam memperingatkan orang-orang yang terlalu berlebihan dalam menjalankan agamanya dan sangat kaku; karena sesungguhnya Nabi saw khawatir bahwa orang itu akan bosan dan kekuatannya menjadi lemah, sebab pada umumnya begitulah kelemahan yang terdapat pada diri manusia. Dia akan putus di tengah jalan. Ia menjadi orang yang tidak jalan dan juga tidak berhenti.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu alahi wa sallam bersabda, “Hendaklah kamu melakukan amalan yang mampu kamu lakukan, karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak bosan sehingga kamu menjadi bosan sendiri.” (Muttafaq ‘Alaih, yang juga diriwayatkan dari ‘Aisyah: Shahih al-Jami’ as-Shaghir (4085).
Beliau shallallahu alahi wa sallam juga bersabda, “Ikutilah petunjuk yang sederhana (tengah-tengah) karena orang yang kaku dan keras menjalankan agama ini akan dikalahkan olehnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, dan Baihaqi dari Buraidah)
Sebab wurud hadits ini adalah seperti apa yang diriwayatkan oleh Buraidah yang berkata, “Pada suatu hari aku keluar untuk suatu keperluan, dan kebetulan pada saat itu aku berjalan bersama-sama dengan Nabi shallallahu alahi wa sallam. Dia menggandeng tangan saya, kemudian kami bersama-sama pergi. Kemudian di depan kami ada seorang lelaki yang memperpanjang ruku’ dan sujudnya. Maka Nabi shallallahu alahi wa sallam bersabda, Apakah kamu melihat bahwa orang itu melakukan riya’?, Abu berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Kemudian beliau melepaskan tanganku, dan membetulkan kedua tangan orang itu dan mengangkatnya sambil bersabda, ‘Ikutilah petunjuk yang pertengahan…’7
Diriwayatkan dari Sahl bin Hunaif bahwa Rasulullah shallallahu alahi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu memperketat diri sendiri, karena orang-orang sebelum kamu binasa karena mereka memperketat dan memberatkan diri mereka sendiri. Dan kamu masih dapat menemukan sisa-sisa mereka dalam biara-biara mereka.” al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Awsath dan al-Kabir, di dalamnya ada Abdullah bin Shalih, juru tulis al-Laits, yang dianggap tsiqat oleh Jama’ah dan dilemahkan oleh yang lainnya. (Al-Majma’, 1:62)
Catatan kaki:
1 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Abu Hurairah; al-Bukhari meriwayatkannya dengan lafal “enam puluh macam lebih”; Muslim meriwayatkannya dengan lafal “tujuh puluh macam lebih” dan juga dengan lafal “enam puluh macam lebih”; Tirmidzi meriwayatkannya dengan “tujuh puluh macam lebih” dan begitu pula dengan an-Nasa’i. semuanya terdapat dalam kitab al-Iman; sedangkan Abu Dawud meriwayatkannya dalam as-Sunnah; dan Ibn Majah dalam al-Muqaddimah.
Sumber: Fiqih Prioritas, Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Dr. Yusuf Al Qardhawy