وَآمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
Artinya: “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” (Qs Al-Baqarah: 41)
Imam Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya,
لَا تَعْتَاضُوا عَنِ الْإِيمَانِ بِآيَاتِي وَتَصْدِيقِ رَسُولِي بِالدُّنْيَا وَشَهَوَاتِهَا، فَإِنَّهَا قَلِيلَةٌ فَانِيَةٌ، كَمَا قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ هَارُونَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: سُئِل الْحَسَنُ، يَعْنِي الْبَصْرِيَّ، عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: {ثَمَنًا قَلِيلا} قَالَ: الثَّمَنُ الْقَلِيلُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا.
“Janganlah kalian meminta ganti dari keimanan kalian kepada Al-Qur’an dan dan pembenaran kalian terhadap Rasulullah dengan dunia dan kenikmatan di dalamnya, karena dunia dan apa yang ada di dalamnya itu bersifat sedikit dan fana. Hal ini sebagaimana perkataan Abdullah bin Mubarak, dari Harun bin Zaid, bahwa Hasan Al-Bashri ditanya tentang ayat ‘tsamanan qalilaa’, maka dia berkata, ‘Harga yang rendah adalah dunia dan pernak-perniknya.’.” (Tafsir Ibnu Katsir juz 1/243)
Dan begitu pula yang disampaikan oleh Said bin Jubair, bahwa yang dimaksud dengan kata “Ayati” adalah Al-Kitab yang diturunkan kepada mereka, sedangkan yang dimaksud dengan “tsamanan qalila” adalah dunia yang dikelilingi oleh syahwat .” (Tafsir Ibnu Katsir juz 1/243)
Berkata Abu Ja’far, dari Rabi’ bin Anas, dari Abu Aliyah,
لَا تَأْخُذُوا عَلَيْهِ أَجْرًا. قَالَ: وَهُوَ مَكْتُوبٌ عِنْدَهُمْ فِي الْكِتَابِ الْأَوَّلِ: يَا ابْنَ آدَمَ عَلِّم مَجَّانا كَمَا عُلِّمت مَجَّانا.
“Janganlah kalian mengambil imbalan dari mengajarkan Al-Qur’an, dan hal itu telah dijelaskan didalam kitab sebelumnya, ‘Wahai anak cucu Adam, ajarkanlah Al-Kitab tanpa biaya sebagaimana aku mengajarkannya tanpa biaya.” (Tafsir Ibnu Katsir juz 1/244)
Dikatakan juga bahwa maksud dari ayat tersebut adalah jangan mengganti perintah untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat, memberikan keterangan dan penjelasan kepada ummat dengan hanya diam agar tahta kepemimpinan tetap berada di tangan mereka di dunia (Yahudi). Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2/338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Adapun mengambil imbalan dari mengajarkan ilmu, jika imbalan tersebut sudah ditentukan di awal, maka hal itu tidak diperbolehkan. Namun ia diperbolehkan untuk memintanya dari baitul mal untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Jika imbalan tersebut tidak ditentukan sebelumnya, maka ia boleh mengambil imbalan menurut imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan jumhur ulama’. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam shahih Bukhari, dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya yang paling berhak untuk diambil upahnya adalah mengajar Al-Qur’an.” (HR Bukhari no: 2276)
Sementara itu, Imam Al-Mawardi di dalam tafsirnya menerangkan bahwa yang di maksud dengan ayat “dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah” terdiri dari tiga hal,
Pertama, tidak mengambil imbalan dari mengajarkan Al-Qur’an. Dan ini adalah pendapat Ibnu A’liyah.
Kedua, tidak mengambil imbalan dari mengganti ayat-ayat Al-qur’an sesuai dengan kebutuhan dan hawa nafsu mereka. Dan ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri.
Ketiga, tidak mengambil imbalan dengan menyembunyikan kebenaran di dalam Al-Qur’an bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah. (Tafsir Al-Mawardi juz 1/110)
Di dalam tafsir As-Sam’ani, Syaikh Abu Mudhaffar mengatakan,
وَلَا تستبدلوا؛ ذَلِك أَن علماءهم وَأَحْبَارهمْ كَانَت لَهُم مأكلة على أغنيائهم وجهالهم؛ فخافوا أَن تذْهب مأكلتهم إِن آمنُوا بِمُحَمد فغيروا نَعته، وكتموا اسْمه، فَهَذَا معنى بيع الْآيَات بِالثّمن الْقَلِيل
“Janganlah kalian merubah apa yang telah Allah turunkan. Hal itu lantaran ulama’ dan pendeta Yahudi memakan makanan dan mengambil imbalan dari orang kaya dari kalangan mereka. Sehingga mereka takut jika orang kaya dari kalangan mereka beriman kepada Muhammad dan akhirnya berpaling dari mereka. Hal itulah yang mengakibatkan para ulama dan pendeta dari kalangan Yahudi menyembunyikan kebenaran bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (Tafsir As-Sam’ani 1/72)
Wallahu A’lam
Sumber :
- Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Abu Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir Al-Bashry
- Tafsir As-Sam’ani, Abu Mudhaffar, Manshur bin Muhammad bin Abdul Jabbr Al-Hanafy
- Tafsir Al-Mawardi, Abu Hasan bin Aly bin Muhammad bin Muhammad bin Hubaib Al-Baghdady