Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (Muhammad: 33)
Berkata Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Takutlah kalian semua bahwa dosa yang kalian kerjakan akan menghapus amal kalian.” (Tafsir Al-Qu’an Al-Adzim juz. 7/322)
Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, bahwasannya ia berkata, “Sungguh kami sebagai para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam selalu menganggap bahwa setiap kebaikan pasti akan diterima oleh Allah Ta’ala sampai Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu.’ (Muhammad: 33). Sehingga kami semua bertanya, ‘Apa yang dapat membatalkan amal kita? Sehingga Sebagian dari kita menjawab, ‘Dosa-dosa besar dan perbuatan keji.’ Sampai Allah kembali menurunkan ayat, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.’ (An-Nisa: 48).
“Ketika ayat itu turun, kami mencukupkan diri dengan ayat tersebut. Dan kami merasa takut kepada orang yang melakukan dosa-dosa besar dan kepada orang yang berbuat sesuatu yang keji. Sebaliknya, kami sangat berharap kepada orang yang tidak berbuat dosa dan tidak melakukan perbuatan keji.” (Ta’dzimu Qadr As-Shalah, Al-Marwazy hal. 698-699)
Kemudian Imam Ibnu Katsir menambahkan, “Allah Ta’ala memerintahkan kepada hamba-Nya yang beriman untuk selalu taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya agar mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Dan Allah juga melarang kepada hamba-Nya dari perbuatan riddah, yaitu keluar dari Islam, karena hal itu dapat mengahapus seluruh amal.” Tafsir Al-Qu’an Al-Adzim, Ibnu Katsir, juz. 7/323)
Sementara itu, Imam Al-Mawardi di dalam tafsirnya menerangkan tentang kalimat habithat amaluhum dengan tiga hal yaitu; batalnya amalan kebaikan dengan perbuatan maksiat, batalnya amalan kebaikan dengan dosa-dosa besar, dan batalnya amalan kebaikan dengan riya’ dan sum’ah. (Tafsir Al-Mawardi, Juz 5/306)
Maksiat Sebagai Pembatal Amal
Para ulama telah sepakat bahwa maksiat tidak bisa membatalkan amal baik. Dan mereka telah bersepakat bahwa hanya kekufuran dan kesyirikan yang bisa membatalkan amalan seseorang. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Taimiyah,
ولا يحبط الأعمال غير الكفر ؛ لأن من مات على الإيمان فإنه لا بد أن يدخل الجنة ، ويخرج من النار إن دخلها ، ولو حبط عمله كله لم يدخل الجنة قط ، ولأن الأعمال إنما يحبطها ما ينافيها ، ولا ينافي الأعمال مطلقًا إلا الكفر ، وهذا معروف من أصول السنة.
Artinya: “Tidak ada yang bisa menghapus amalan-amalan kebaikan kecuali kekufuran. Setiap orang yang beriman kemudian meninggal dunia, maka konsekuensi dari keimanannya adalah ia dipastikan masuk ke dalam surga, walaupun dia dimasukkan terlebih dahulu ke dalam neraka. Karena sesungguhnya amal hanya bisa dibatalkan dengan sesuatu yang menafikan amal tersebut. Dan tidak ada yang menafikan amal secara mutlak kecuali kekufuran. Dan pendapat ini adalah bagian dari pokok-pokok as-sunnah.” (Ash-Sharim Al-Maslul, hal. 55)
Walaupun tidak membatalkan amalan yang dikerjakan, akan tetapi maksiat dapat merusak kualitas dari amalan tersebut. Hal ini sebagaimana yang difatwakan oleh Syaikh bin Bazz ketika seseorang bertanya apakah marahnya dan perbuatan buruknya yang lain dapat membatalkan amalan yang telah dia kerjakan. Maka Syaikh bin Bazz menjawab,
“Jika engkau terjatuh didalam kemaksiatan dan kesalahan, maka yang wajib dilakukan adalah bertaubat kepada Allah Ta’ala dan mawas diri dari mengulangi perbuatan tersebut. Sedangkan amalanmu tetap pada jalurnya (diterima), alhamdulillah! Sesungguhnya yang dapat membatalkan sebuah amalan hanyalah perbuatan kufur. Sedangkan maksiat tidak membuat amalan tersebut menjadi batal, hanya saja maksiat akan sangat membahayakan konsistensi amalan yang dikerjakan.” (Majmu’ Fatawa, Syaikh Bin Bazz)
Dosa-dosa Besar Sebagai Pembatal Amal
Sebagaimana halnya maksiat, dosa-dosa besar juga tidak bisa membatalkan seluruh amal yang telah dikerjakan. Akan tetapi dosa besar dapat membatalkan sebagian amal sesuai dengan kadar dosa yang dilakukan. Imam Ibnu Taimiyah di dalam majmu’ fatawa berkata,
وأما الصحابة وأهل السنة والجماعة فعلى أن أهل الكبائر يخرجون من النار ، ويشفع فيهم ، وأن الكبيرة الواحدة لا تحبط جميع الحسنات ؛ ولكن قد يحبط ما يقابلها عند أكثر أهل السنة ، ولا يحبط جميع الحسنات إلا الكفر ، كما لا يحبط جميع السيئات إلا التوبة ، فصاحب الكبيرة إذا أتى بحسنات يبتغي بها رضا الله أثابه الله على ذلك وإن كان مستحقا للعقوبة على كبيرته.
Artinya: “Adapun para sahabat dan ahlus sunnah bersepakat bahwa orang-orang yang berbuat dosa besar tetap dikeluarkan dari neraka, mereka bisa diberi syafaat. Adapun satu dosa besar tidak bisa menghapus seluruh amal baik, akan tetapi ia dapat menghapus sebagian amal menurut kebanyakan ahlus sunnah. Tidak ada yang bisa menghapus seluruh perbuatan baik kecuali kekufuran sebagaimana tidak ada yang bisa menghapus seluruh keburukan kecuali dengan taubat. Adapun orang yang sering berbuat dosa besar, apabila ia melaksanakan perbuatan baik dengan harapan mendapatkan ridho Allah, maka Allah akan memberinya pahala atas perbuatannya tersebut meskipun ia juga berhak mendapatkan hukuman dari dosa besar yang ia lakukan.” (Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah juz. 10/321-322)
Walaupun dosa-dosa besar tidak menghapus seluruh amal baik yang telah dilakukan, akan tetapi dosa besar dapat menghapus sebagian amal sesuai dangan kadar dosa yang dilakukan, dan juga dapat menghapus pahala dari amal baik yang dikerjakan. Diriwayatkan dari Tsauban, dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
Artinya: “Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari ummatku yang datang pada hari Kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia.” Tsauban berkata; “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika kembali kepada apa yang di haramkan Allah, maka mereka terus menerus mengerjakannya.” (Hadits Sunan Ibnu Majah no. 4235)
Riya’ Sebagai Pembatal Amal
Pengertian riya’ adalah seseorang melakukan sebuah amalan agar ia dianggap baik oleh orang lain dan mendapat pujian. Dan perbuatan riya’ termasuk dalam perbuatan syirik kecil. Dari Mahmud bin Labid, bahwasannya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر”. قالوا: يا رسول الله، وما الشرك الأصغر؟ قال: الرِّياء.
Artinya:“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Apa itu syirik kecil?” Rasulullah menjawab, “riya’.” (Hadits Riwayat Ath-Thabrani 4/253)
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa amal baik jika dilakukan bersamaan dengan riya’, maka amal tersebut tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Hal itu lantaran riya’ adalah lawan dari ikhlas. Dan Allah Ta’ala tidak menerima satu amal apapun kecuali di dalamnya terdapat keihklasan. Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR Muslim no. 2985)
Imam Nawawi rahimahullah menuturkan tentang hadist tersebut, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa” (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).
Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa amal-amal kebaikan yang dikerjakan oleh bani Adam dapat rusak dan terhapus. Dan terhapusnya amal kebaikan di bagi menjadi dua. Pertama, penghapusan seluruh amal kebaikan yang diakibatkan oleh dua hal saja, yaitu berbuat syirik dan riddah (kafir setelah beriman). Kedua, penghapusan sebagian amal kebaikan, hal ini diakibatkan oleh tiga hal yaitu berbuat maksiat, berbuat dosa besar, dan beramal untuk dilihat dan dipuji oleh manusia.
Wallahu A’lam bish Shawab