Larangan Menahan Orang-Orang yang Terikat Perjanjian dan Para Utusan Mereka

Dari al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Rafi’ bahwasanya ayahnya, Abu Rafi’, bercerita kepadanya, “Orang-orang Quraisy mengutusku untuk menemui Rasulullah saw. Tatkala aku melihat Rasulullah saw, terbetik dalam hatiku keinginan masuk Islam. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah aku tidak akan kembali kepada mereka selama-lamanya.’ Rasulullah berkata, ‘Demi Allah aku tidak akan merusak perjanjian dan aku tidak akan menahan burud (para utusan). Akan tetapi kembalilah, jika engkau menyimpan keinginan seperti yang ada dalam hatimu sekarang ini maka kembalilah kemari!’ Maka aku pun kembali kemudian setelah itu aku mendatangi Rasulullah (secara pribadi) lalu masuk Islam,” (Shahih, HR Abu Dawud [2758], Ahmad [VI/8], Ibnu Hibban [4877], al-Hakim [III/598], al-Baihaqi [IX/145], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [963]).

Kandungan Bab: 

  1. Tidak boleh merusak perjanjian dan menahan utusan orang-orang kafir karena perjanjian harus dijaga terhadap orang kafir sebagaimana halnya terhadap orang Muslim. Orang kafir yang mendapat jaminan keamanan wajib dijamin keamanannya bingga ia kembali ke tempat tinggalnya. Janganlah mengkhianatinya dengan mennmpahkan darahnya, merampas hartanya atau memanfaatkannya. 
  2. Utusan orang kafir harbi statusnya sama dengan kafir mu’aahidsehingga ia menyelesaikan tugasnya sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab terdahulu.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/530-531.