Larangan Membunuh Mu’ahid

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a. dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir atau musyrik yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin), maka ia tidak akan mencium bau Surga. Sesungguhnya bau Surga sudah tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun,” (HR Bukhari [3166]).

Dari Abu Bakrah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa membunuh sebuah jiwa mu’ahid secara tidak halal, maka Allah haramkan atasnya mencium bau Surga’,” (Shahih, HR an-Nasa’i [VIII/25], Ahmad [V/36, 38, 46, 50 dan 52], Ibnu Hibban [4882], al-Hakim [I/44], al-Baihaqi [IX/205]).

Dari seorang laki-laki Sahabat Rasulullah saw, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang laki-laki dari kalangan ahli dzimmah, maka ia tidak akan mencium bau Surga padahal baunya sudah tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun,” (Shahih, HR an-Nasa’i [VIII/25] dan Ahmad [IV/237 dan V/369]). Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Ingatlah, barangsiapa membunuh sebuah jiwa mu’ahid yang mendapat perlindungan Allah dan perlindungan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah melanggar perlindungan Allah niscaya ia tidak akan mencium bau Surga padahal baunya sudah tercium dari jarak perjalanan tujuh puluhtahun,” (Shahih, HR at-Tirmidzi [1403], Ibnu Majah [2687], al-Hakim [11/127]).

Kandungan Bab:

  1. Kerasnya pengharaman membunuh mu’ahid dari kalangan musyrikin dan ahli dzimmah yang telah mendapat jaminan keamanan dan per-lindungan. 
  2. Wajib menunaikan perjanjian dan menepatinya sampai pada batas akhir perjanjian dan haram hukumnya berkhianat.

    Dari Salim bin ‘Amir, ia berkata, “Mua’wiyah pernah menandatangani perjanjian dengan pasukan Romawi. la bergerak menuju negeri mereka hingga apabila batas waktu perjanjian sudah berakhir ia menyerang mereka. Tiba-tiba seorang anggota pasukan yang menunggang kendaraannya atau kudanya berseru, ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar, tepati perjanjian jangan lakukan pengkhianatan. Ternyata orang itu adalah ‘Amr bin ‘Abasah as-Sulami. Mu’awiyah berkata kepadanya, ‘Apa yang engkau katakan?’ Amr berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mengikat perjanjian dengan suatu kaum, maka janganlah ia melonggarkan perjanjian itu dan jangan pula mengetatkannya hingga berakhir masanya atau mengembalikan perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.’ Maka Mu’awiyah kembali bersama pasukannya,’ (Shahih, HR Abu Dawud [2759], at-Tirmidzi [1850], Ahmad [IV/113, 385-386], ath-Thayalisi [2075]).

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (Xl/l67), “Sesungguhnya apabila orang-orang yang terikat perjanjian itu melanggar perjanjian mereka, maka kaum muslimin boleh menyerang mereka secara diam-diam tanpa sepengetahuan mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap penduduk Makkah. Apabila mulai kelihatan pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin, maka perjanjian itu dikembalikan kepada mereka. Sebagaimana yang Allah katakan dalam al-Qur’an, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yangjujur…” (Al-Anfaal: 58) 

  3. Termasuk hukum mu’ahid adalah utusan atau delagasi kafir harbi, ia berhak mendapat jaminan keamanan hingga ia menyerahkan surat dan kembali kepada kaumnya.

    Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (XI/167), “Apabila utusan atau delegasi datang kepada kaum Muslimin, maka ia berhak mendapat jaminan keamanan hingga ia menyampaikan surat dan kembali ke tempatnya. Rasulullah saw. berkata kepada Ibnu an-Nawwahah, ‘Kalaulah bukan karena engkau seorang delegasi niscaya aku akan menebas lehermu’,” (Shahih, HR Abu Dawud [2762], Ahmad [I/384, 390-391, 396, 404, 406], ad-Darimi [II/235], Ibnu Hibban [4878, 4879], al-Baihaqi [IX/212]).

  4. Maksud penafian masuk Surga meskipun mutlak seperti yang disebutkan dalam beberapa hadits bab di atas namun dibatasi, yakni bukan untuk selama-lamanya. Karena dalil-dalil mutawatir yang menyebutkan bahwa apabila seorang muslim mati meskipun ia melakukan dosa-dosa besar, ia tidak akan kekal dalam Neraka. Meskipun ia disiksa selama beberapa masa dalam Neraka namun tempat kembalinya adalah Surga. Itulah pendapat yang shahih menurut kaidah Salaf Ahli Hadits.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/524-527.