Allah SWT berfirman, ‘Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu ituy kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lainy maka, sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah meraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya,” (Al-Anfaal: 15-16).
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Jauhilah tujuh perkara mubiqat (yang mendatangkan kebinasaan).” Para Sahabat bertanya, “Apakah ketujuh perkara itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan syari’at, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita Mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa dan tidak tahu menahu dengannya,” (HR Bukhari [2766] dan Muslim [89]).
Masih dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw. bersabda, “Sifat yang paling buruk pada diri seseorang adalah kebakhilan disertai dengan sifat rakus dan selalu berkeluh kesah serta takut berlebihan’,” (Shahih, HR Bukhari dalam Taarikh al-Kabiir [VI/8-9], Abu Dawud [2511], Ahmad [II/302 dan 320], Ibnu Hibban [3250], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [IX/50], al-Baihaqi [IX/170], Ibnu Abi Syaibah [IX/98-6660]).
Kandungan Bab:
- Larangan keras melarikan diri dari medan pertempuran saat bertemunya pasukan muslim dengan pasukan kafir. Oleh karena itu, Allah me-ngancam pelakunya dengan api Neraka dan kemurkaan-Nya.
- Bagi yang lari dari hadapan pasukan kafir untuk melakijkan tipu daya untuk menunjukkan seolah-olah ia takut kepada mereka kemudian ia melakukan manuver untuk membunuh mereka, maka hal itu diboleh-kan. Itulah yang dimaksud dari firman Allah, “Kecuali berbelok untuk (siasat) perang.” Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim (IV/306).
- Bagi yang lari dari suatu arah untuk bergabung dengan pasukan Muslimin lainnya dari arah lain dan untuk saling memberikan bantuan, maka hal itu dibolehkan. Hingga walaupun ia berada dalam sebuah pasukan kecil lalu ia lari untuk menemui amir atau imam yang lebih tinggi, maka perbuatannya itu termasuk dalam dispensasi tersebut. Demikianlah yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir.
- Dianjurkan meminta perlindungan kepada Allah dari terbunuh saat melarikan diri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abul Yasar bahwa Rasulullah saw. berdo’a, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari al-hadam (mati tertimpa reruntuhan), at-taraddi (mati terjatuh dari tempat yang tinggi), al-haram (kepikunan), mati tenggelam, mati terbakar dan aku berlindung kepada-Mu dari gangguan syaitan saat aku mati atau mati terbunuh dalam keadaan melarikan diri dari medan pertempuran atau mati karena disengat binatang berbisa,” (Shahih, HR Abu Dawud [552], an-Nasa’i [VIII/282-283], Ahmad [III/ 427])
- Dianjurkan berlindung dari sipat pengecut dan dianjurkan melatih generasi muda untuk bersikap berani. Dari ‘Amr bin Maimun al-Azdi ia berkata, “Sa’ad mengajari anak-anaknya kalimat-kalimat sebagaimana seorang guru mengajari anak muridnya menulis. Sa’ad berkata, ‘Sesungguh-nya Rasulullah saw. berlindung diri dari perkara-perkara berikut ini setiap kali selesai shalat. Beliau berdo’a, ‘Ya Allah, aku berlindting kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari dikembalikan kepada usia lanjut, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur’,” (HR Bukhari [2822]).
Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. sering membaca do’a ini, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah, malas, pengecut, kepikunan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur’,” (HR Bukhari [2823] dan Muslim [2706]).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/469-472.