Larangan Menejerumuskan Diri ke dalam Kebinasaan

Dari Aslam Abu ‘lmran, ia berkata, “Kami berangkat dari Madinah menuju Kostantinopel. Pasukan tersebut dipimpin oleh ‘Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid. Pada saat itu pasukan Romawi merapatkan punggung mereka ke dinding kota (benteng). Lalu salah seorang anggota pasukan melemparkan dirinya ke tengah-tengah musuh. Orang-orang berkata, ‘Wah, wah, laa ilaaha Illallah ia telah melemparkan dirinya dalam kebinasaan!’ Abu Ayyub berkata, ‘Sesungguhnya ayat tersebut turun kepada kami kaum Anshar, ketika Allah menolong Nabi-Nya dan memenangkan Dienul Islam, kami berkata, ‘Marilah kita urus harta benda kita!’ Lalu Allah menurunkan ayat ini, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan… (Al-Baqarah: 195).

Maksud melemparkan diri ke dalam kebinasaan adalah mengurus harta benda dan meninggalkan jihad.”

Abu ‘Imran berkata, “Abu Ayyub senantiasa berjihad fi sabilillah hingga beliau dimakamkan di Konstantinnopel,” (Shahih, HR Abu Dawud [2512], an-Nasa’i dalam al-Kubraa [11029], al-Hakim [11/275]).

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian mengambil kebun sehingga kalian mencintai dunia’.”

Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya meninggalkan infaq fi sabilillah azza wajalla dan condong kepada dunia serta bermegah-megah dengan harta. Karena hal itu akan memalingkan seseorang dari melaksanakan kewajiban yang paling puncak daripadanya adalah kewajiban jihad fi sabilillah.

    Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiirnya (1/236), “Kandungan ayat ini adalah perintah untuk berinfaq fi sabilillah dalam seluruh amal-amal taqarrub dan amal-amal ketaatan. Khususnya membelanjakan harta untuk memerangi musuh dan untuk memperkuat kaum Muslimin dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Ayat tersebut juga berisi khabar tentang akibat meninggalkan kewajiban tersebut yaitu kebinasaan dan kehancuran atas orang yang terus-menerus melakukannya sehingga menjadi kebiasaannya.” 

  2. Tidak akan berkumpul antara cinta dunia dan jihad fi sabilillah. Jika hati cinta dunia telah melekat dalam hati seseorang, maka akan keluar-lah cinta jihad dari hatinya. Dan akan merasuk penyakit wahn yang disebutkan dalam hadits Tsauban r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Hampir tiba saatnya seluruh ummat manusia akan mengerumuni kalian sebagaimana para penyantap mengerubuti makanan di atas piring besar.” Salah seorang hadirin ada yang bertanya, “Apakah saat itu jumlah kami sedikit?” Rasulullah menjawab, “Tidak, bahkan jumlah kalian sangat banyak namun kalian tak lebih seperti buih air banjir. Allah akan mencabut rasa takut terhadap kalian dari dada musuh-musuh kalian dan akan Allah hujamkan ke dalam hati kalian penyakit wahn!” Seorang hadirin bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah penyakit wahn itu?” Rasulullah saw. menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,” (Shahih, HR Abu Dawud [4297], Ahmad [V/278], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [1452], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [I/182]).

Faidah:

Pertama: Membatasi ayat di atas hanya dalam masalah yang disebutkan dalam satu pembahasan saja perlu dikoreksi lagi, karena yang menjadi ukuran adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebabnya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (VIII/185) dan asy-Syaukani dalam Nailul Autbaar (VIII/29), silahkan melihatnya.

Kedua: Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Adapun masalah melemparkan diri ke tengah-tengah kumpulan musuh yang banyak jumlahnya, maka dalam hal ini jumhur ulama telah menetapkan bahwa apabila tindakan itu dilakukan karena hebatnya keberanian orang itu dan keyakinannya bahwa tindakannya itu dapat membuat musuh takut atau menambah keberanian kaum muslimin atau maksud-maksud lain yang dibenarkan syari’at, maka hal itu dipandang bagus. Namun, bila tindakan itu dilakukan atas dasar ketidak tahuan, maka hal itu dilarang. Apalagi bila tindakan tersebut dapat menyebabkan kelemahan dalam pasukan kaum muslimin, wallaahu a’lam”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/462-465.