Allah SWT berfirman, ‘Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain serta tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,” (At-Taubah: 38-39).
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mati sedang ia belum berperang dan belum pernah meniatkan dirinya untuk berperang, maka ia mati di atas salah satu dari cabang kemunafikan’,” (HR Muslim (1910).
Dari Abu Umamah r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa belum pernah berperang atau mempersiapkan bekal untuk seorang mujahid atau menjaga baik-baik keluarga mujahid yang keluar berperang, maka Allah akan menimpakan musibah besar atasnya se-belum hari Kiamat,” (Hasan, HR Abu Dawud [2503], Ibnu Majah [2762], al-Baihaqi [IX/48], Ibnu Abi Ashim dalam kitab al-Jihaad [99], ath-Thabrani [7747]).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya meninggalkan jihad, karena meninggalkannya termasuk salah satu cabang kemunafikan.
- Meninggalkan jihad termasuk sebab turunnya kehinaan yang menimpa manusia.
- Barangsiapa tidak mampu berperang, maka hendaklah ia meniatkan dirinya untuk berperang, salah satu tandanya adalah mempersiapkan bekal dan diri. Persiapan ini ada dua macam: Pertama: Persiapan maknawi. Kedua: Persiapan materi.
Adapun persiapan maknawi adalah persiapan aqidah dan tarbiyah. Inilah persiapan yang paling penting dan merupakan dasar dari seluruh persiapan. Adapun persiapan lainnya merupakan cabang dari persiapan ini. Allah SWT berfirman, “Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu… “ (At-Taubah: 46).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/459-460.