Larangan Riya’ dalam Berjihad

Dari Abu Musa al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, ‘Seorang laki-laki berperang untuk memperoleh ghanimah (harta rampasan), yang lain berperang untuk disebutsebut dan yang lain berperang untuk dipandang kedudukannya, manakah yang disebut fisabilillah? Rasul menjawab, ‘Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka itulah yang disebut fisabilillah’,” (HR Bukhari [2810] dan Muslim [1904]).

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari Kiamat nanti adalah seorang laki-laki yang mati syahid, lalu ia pun dibawa dan Allah menerangkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah Dia berikan kepadanya dan ia pun mengakuinya, lalu Allah berfirman kepadanya, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat tersebut?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Aku telah berperang karena-Mu hingga aku mati syahid.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta, akan tetapi engkau berperang agar disebut pemberani dan begitulah kenyataannya. Kemudian Allah memerintahkan agar menyeret wajahnya lalu dilemparkan ke dalam api Neraka’,” (HR Muslim [1514]).

Dari Mu’adz bin Jabal r.a. dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Perang ada dua jenis, adapun orang yang berperang mengharapkan ridha Allah, menaati imam, membelanjakan harta yang berharga, memudahkan teman seperjalanan, menjauhi berbuat kerusakan, maka bangun dan tiduraya seluruhnya dihitung pahala baginya. Adapun orang yang berperang karena sombong, riya, sum’ah, mendurhakai imam dan berbuat kerusakan di bumi, maka ia kembali tanpa membawa hasil apapun,” (Hasan lighairihi, HR Abu Dawud [2515], an-Nasa’i [VI/49-50, dan VII/155], Ahmad [V/234], ad-Darimi [II/208-209], Ibnu Adi [II/511], al-Hakim [II/85], al-Baihaqi [IX/168] dan dalam Syu’abullimaan [4265], ath-Thabrani dalam al-Kabiir [XX/77/176], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [V/220]).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki ingin berjihad fi sabilillah sedangkan ia mengharapkan sesuatu dari materi dunia?” Rasulullah menjawab, “Tidak ada pahala untuknya.” Gegerlah orang-orang mendengarnya. Mereka berkata kepada laki-laki yang bertanya itu, “Temui kembali Rasulullah barangkali engkau belum memahami perkataannya.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, seorang laki-laki ingin berjihad fi sabilillah sedangkan ia mengharapkan sesuatu dari materi dunia?” Rasulullah kembali menjawab, “Tidak ada pahala untuknya.” Mereka berkata kepadanya, “Temui kembali Rasulullah.” Maka laki-laki itu bertanya kembali untuk yangketiga kali. Namun, Rasulullah tetap menjawab, “Tidak ada pahala untuknya,” (Hasan, HR Abu Dawud [2516], Ahmad [II/290, 366], al-Hakim [II/85], al-Baihaqi [1X/169] dan Ibnu Hibban [4637]).

Dari Abu Umamah r.a, ia berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. dan bertanya, ‘Bagaimana menurut Anda tentang seorang laki-laki yang berperang mencari pahala dan ingin disebut-sebut, apakah yang ia peroleh?’ Rasulullah menjawab, la tidak memperoleh apa-apa!’ la mengulangi pertanyaannya tiga kali, namun Rasulullah saw. tetap menjawab, la tidak memperoleh apa-apa!’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali yang ikhlas karena Dia semata dan hanya mengharapkan wajah-Nya’,” (Jaid, HR An-Nasa’i (VI/25).

Dari ‘Ubadah bin Shamit r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berperang dan yang ia niatkan hanyalah untuk mendapatkan ‘iqal (tali untuk mengikat unta), maka baginya apa yang dia niatkan,” (Hasan lighairihi, HR an-Nasa’i [VI/24 dan 25], Ahmad [V/315, 320 dan 329], al-Hakim [II/109], al-Baihaqi [VI/331], Ibnu Hibban [4638]).

Kandungan Bab:

  1. Perang adakalanya dilakukan karena motivasi mencari ghanimah (harta rampasan perang), untuk menunjukkan keberanian, untuk membela fanatisme kesukuan dan karena marah, semua itu terpulang kepada riya’ dan hal itu tercela. 
  2. Pada dasarnya jihad dilakukan hanya untuk meninggikan kalimat Allah, yaitu dakwah kepada Islam. Apabila disertai dengan salah satu dari motivasi tersebut di atas, maka akan merusaknya. 
  3. Apabila niat asalnya adalah meninggikan kalimat Allah kemudian masuk dalam hatinya sesuatu dari perkara tersebut, maka itu tidaklah merusak niatnya.

    Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata dalam Fathul Baari (VI/29), “Ibnu Abi Jamrah berkata, ‘Para muhaqqiq berpendapat bahwa apabila niat awalnya adalah meninggikan kalimat Allah, maka apa-apa yang menyertai niat tersebut tidaklah merusaknya.

    Dalil yang menunjukkan bahwa apabila keinginan selain meninggikan kalimat Allah yang menyertai tidaklah merusak jika niat asalnya adalah me-ninggikan kalimat Allah adalah hadits ‘Abdullah bin Hawalah r.a, ia berkata, ‘Rasulullali saw. mengirim kami dengan berjalan kaki untuk memperoleh harta rampasan perang. Kemudian kami kembali tanpa memperoleh apa-apa. Maka Rasulullah berdo’a, ‘Ya Allah, janganlah Engkau serahkan (pemberian pahala untuk) mereka kepadaku’,” (Shahih, HR Abu Dawud [2535]).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/455-458.

Baca Juga