Larangan Menerima Kesaksian Orang yang Dicurigai dan Orang yang Menyimpan Dendam

Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Tidak boleh diterima kesaksian dzu hinah dan dzu zhannah,” (Hasan lighairihi, HR al-Hakim [IV/99], al-Baihaqi [X/201]).

Kandugan Bab: 

  1. Tidak boleh diterima kesaksian dzu hinah, yaitu orang yang terlibat permusuhan dengan yang bersangkutan. Maksudnya adalah seteru atau lawannya. Makna ini didukung oleh sabda Nabi saw. dalah hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya yang telah kami sebutkan dalam bab terdahulu, “Tidak diterima kesaksian dzu ghamar atas saudaranya seislam.” 
  2. Tidak boleh diterima kesaksian orang yang dicurigai, telah diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab r.a, bahwa ia berkata, “Tidak boleh diterima kesaksian dari orang yang terlibat permusuhan (dengan tersangka) atau orang yang dicurigai),” (HR Malik [II/720/4]).

    Dan telah diriwayatkan secara shahih dalam kitab al-Qadha’ yang dikirim oleh ‘Umar kepada Abu Musa al-Asy’ari r.a. berbunyi, “Kaum Muslimin dapat saling dipercaya satu sama lainnya kecuali orang yang sudah dicambuk karena hukum pidana, atau orang yang telah terbukti pernah bersaksi palsu atau orang yang dicurigai karena mengharapkan loyalitas dan kedekatan.”

    Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab I’laam al-Muwaqqi’iin (I/111) ketika menjelaskan perkataan di atas, “Allah telah menjadikan ummat ini sebagai ummat wasath (ummat yang adil) agar mereka menjadi saksi atas ummat manusia. Wasath artinya terpercaya dan terpilih. Maka dari itu mereka dapat dipercaya satu sama lainnya. Kecuali orang-orang yang memiliki cacat sebagai saksi, yaitu orang-orang yang pernah terbukti memberikan kesaksian palsu, maka kesaksiannya tidak dapat lagi dipercaya setelah itu. Atau orang yang dicambuk karena hukum pidana, karena Allah telah melarang kita menerima kesaksiannya. Atau seseorang yang dicurigai akan mengambil keuntungan pribadi dari kesaksiannya seperti kesaksian seorang tuan kepada budak yang telah dibebaskannya dalam masalah harta atau kesaksian seorang budak kepada bekas tuannya dalam masalah keluarganya. Atau kesaksian orang yang ingin mengambil keuntungan. Demikian pula kesaksian kerabat dekat, tidak diterima apabila dicurigai dan dapat diterima bila tidak ada kecurigaa, inilah pendapat yang shahih.”

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 2/428-429.