Adapun shalat di belakang ahlul ahwa,dan ahlul bid’ah atau di belakangi mam yang fajir maka ada perselisihan di antara ulama’secara masyhur. Adapun perinciannya bukan di sini tempat untuk memaparkannya. Akan tetapi sebagai pertengahan di antara pendapat- pendapat tersebut adalah-bahwa seseorang tidak diperbolehkan mengangkat imam dari golongan tersebut jika ada kemampuan untuk mengangkat imam selain mereka. Jika tampak suatu kefajiran atau bid’ah maka wajib untuk mencegah dan melarang darinya.
Dan tingkatan minimal dalam mencegah kemungkaran adalah dengan memboikotnya agar ia berhenti dari perbuatan fajir dan bid,ah. Untuk itulah jumhur ulama, membedakan antara penyeru kebid’ahan dengan orang yang berbuat bid’ah namun tidak menyeru kepada yang lain. Jika dia sebagai penyeru bid’ah maka berarti dia menampakkan kemungkaran maka sudah selayaknya untuk dicegah.
Lain halnya dengan orang yang diam, kedudukannya sebagaimana orang yang melakukan dosa secara tidak terang-terangan, berarti ia tidak dicegah dengan cara yang dhahir, sebab maksiat jika disembunyikan maka tidak mendatangkan madharat melainkan terhadap dirinya sendiri akan tetapi jika dia melakukannya secara terang-terangan maka dapat menimbulkan madharat bagi yang lain. Untuk itulah orang-orang munafik tetap di perlakukan baik secara dhahir, kemudian urusan batinnya di serahkan kepada Allah Ta’alla.
Berbeda dengan orang yang menampakkan kekafirannya, maka apabila dia sebagai penyeru maka tidak boleh berwala kepadanya, mengangkatnya sebagai imam, mengambil kesaksian dan riwayatnya. Hal itu dilandaskan atas dasar mencegah kemungkaran, bukan karena rusaknya shalat atau celaannya terhadap kesaksian atau periwayatannya. Jika seseorang mampu untuk tidak mengangkat orang yang menampakkan kemungkaran sebagai imam, maka wajib untuk mengerjakannya. Akan tetapi jika orang lain mengangkatnya sebagai imam dan tidak memungkinkan baginya untuk menggantinya dengan yang lain atau imam tersebut tidak dapat di ganti melainkan oleh orang yang lebih jahat dan lebih madharatnya daripada kemadharatan yang ditimbulkan imam tersebut, maka tidak boleh mencegah kerusakan yang kecil dengan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Jika tidak mungkin mencegah imam yang menampakkan kebid’ahan dan fajir melainkan dengan yang lebih rusak, maka tidak boleh mencegah imam tersebut, bahkan hendaknya ia tetap shalat di belakangnya selagi tidak memungkinkan untuk shalat jama’ah melainkan di belakangnya. Seperti ketika shalat jum’at, shalat ied dan shalat lima waktu, jika tidak ada imam selainnya.
Untuk itulah para sahabat shalat di belakang Al-Hajaj bin Yusuf Ats-tsaqafi dan Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi dan selain keduaya tatkala shalat Jum’at atau pun Shalat di Jama’ah. Sebab kehilangan Shalat Jum’at dan Shalat Jama’ah lebih Besar kerusakannya daripada sahalat di belakang imam yang fajir. Apalagi jika ia meniggalkan shaat jama’ah tidak dapat merubah kefajiran imam tersebut maka berarti ia telah meninggalkan mashlahat shalat jama’ah tanpa dapat mencegah mafsadat.
Namun jika memungkinkan shalat Jum’at dan shalat Jam’ah di belakang imam yang baik jelas hal ini diutamakan. Dalam kondisi seperti ini hukum bagi orang yang shalat di belakang orang yang fajir tanpa udzur ada beberapa ijtihad ulama’ diantara mereka ada yang berpendapat “Dia harus mengulangi shalatnya, karena dia telah mengerjakan apa yang tidak di syariatkan, yang mana dia meninggalkan kewajiban untuk mencegah kemungkaran dan shalat di belakang imam yang fajir, maka shalat di belakangnya dilarang dan harus mengulangi shalatnya.
Ada pula yang berpendapat “Dia tidak perlu mengulangi shalatnya, karena shalatnya sendiri tetap sah, sedangkan perkara dia meninggalkan kewajiban mencegah kemungkaran adalah perkara lain, yang terpisah dari shalat. Dia bagaikan seorang yang berjual beli ketika ada panggilan shalat Jum’at.
Namun jika tidak memungkinkan baginya untuk shalat melainkan di belakang imam yang fajir, seperti ketika shalat Jum’at maka ia tidak perlu mengulang shalatnya karna shalatnya sudah sah dan ini pendapat Jumhur Ulama’. Adapun shalat di belakang ahlul ahwa, yang melakukan bid’ah yang dianggap menyebabkan kekafiran, para ulama’berbeda pendapat dalam hal shalat Jum’at. Barang siapa mengatakan “dia kafir”, maka dia harus mengulang shalatnnya, sebab tidak boleh shalat di belakang orang kafir. Tetapi persoalan ini berkaitan dengan takfir (vonis kafir) terhadap ahlul ahwa’, sedangkanpara ulama, banyak berselisih dalam hal ini. Diriwayatkan bahwa Imam Malik memiliki dua pendapat, Imam Syafi,i memiliki dua pendapat pula, Imam Ahmad demikian
pula, termasuk juga ahli kalam, mereka mengatakan bahwa Al-Asy’ari memiliki dua pendapat. Pada umumnya masing-masing madzhab memberikan perinciannya. Wallahu A’lamu bis Shawab.
Sumber: Qa’idah Ahlus Sunnah wa Jama’ah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.