A. Nama, Nasab, dan keutamaan
Nama sekaligus nasabnya adalah Sa’ad bin Abu Waqash, nama asli Abu Waqash adalah Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Nama panggilan atau kuniyahnya adalah Abu Ishaq Al-Qurasyi Az-Zuhri Al-Makki.
Sa’ad bin Abu Waqash termasuk salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surge. Dan ia juga termasuk orang-orang yang pertama-tama masuk islam. Sahabat ini ikut serta dalam Perang Badar dan dalam peristiwa Hudaibiyah, serta merupakan anggota dari tim enam ahli syura. (Siyar A’lamin Nubala’ III/58)
Umar bin Khathab menunjuk Sa’ad sebagai Qadhi di Kuffah, namun orang-orang Kuffah mengadukannya kepada Umar. Terkait pengaduan ini, Jabir bin Samurah bercerita: “Umar berkata kepada Sa’ad: “Orang-orang Kuffah itu telah mengadukanmu mengenai segala hal, bahkan hingga dalam masalah shalat.” Sa’ad berkata: “Aku hanya memanjangkan dua reka’at pertama dan meringankan dua rekaat terakhir. Sungguh aku tidak akan melewatkan satu haripun tanpa mengikuti shalat Rasulullah.” Umar lantas menanggapi: “apa yang kamu katakan itu sesuai dengan dugaan kami atau itulah dugaan kami terhadapmu. (H.R Bukhari (no. 775), Muslim (no. 453), Abu Dawud (no. 803) dan Ahmad (no. 1510)
B. Semangat dalam Menuntut Ilmu dan Berbuat Kebaikan
Dalam hal ini Sa’ad bin Abu Waqash sendiri mengisahkan: “Aku melewati Ustman bin ‘Affan di dalam masjid, lalu aku mengucapkan salam kepadanya. Namun, Utsman mengalihkan pandangannya dariku, kemudian tidak menjawab salamku. Aku pun mendatangi Umar bin Khathab, lalu aku bertanya kepadanya: “Wahai Amirul Mu’minin, adakah salah dalam mengucapkan salam?” Umar menjawab : “Tidak ada, memang kenapa?” Aku menjelaskan: “Tidak apa-apa. Hanya tadi ketika aku melewati Ustman kemudian mengucapkan salam kepadanya, ia malah mengalihkan pandangannya dariku dan tidak menjawab salamku.”
Maka Umar dan Aku segera menemui Utsman, lalu dia bertanya: “Apa yang menghalangimu dalam menjawab salam saudaramu?” Utsman menjawab: “Aku tidak pernah melakukan demikian.” Aku menyela pembicaraan mereka: “Sungguh dia benar-benar melakukannya.” Hingga akhirnya dia bersumpah dan Aku pun bersumpah.
Setelah itu, Utsman baru teringat akan kejadian tersebut, lantas dia berseru: “Benar aku memang tidak menjawab salamnya! Sesungguhnya aku memohon ampunan Allah dan bertaubat kepada-Nya karna itu. Kamu memang melewatiku tadi. Saat itu aku hendak berdo’a untuk diriku dengan do’a yang pernah kudengar langsung dari mulut Rasulullah. Demi Allah kesulitanku dalam mengingat lafazh do’a itu telah menjadikan mata dan hatiku tertutup.”
Kemudian Aku berkata kepada Utsman: “Aku akan beritahukan perihal do’a itu kepadamu. Sesungguhnya Raulullah pernah menyebutkan kepada kami sebuah do’a pertama, lalu tiba-tiba (sebelum selesai) datanglah seorang Arab Badui dan kedatangan ini membuat beliau sibuk dengan urusannya.
Sesudah itu Rasulullah berdiri, maka aku mengikuti beliau. Khawatir beliau akan mendahuluiku sampai ke rumahnya, aku pun menghentak-hentakkan kakiku ke tanah. Rasulullah kemudian menoleh kepadaku, setelahitu beliau bertanya: “Abu Ishaq?” Aku menjawab: “Benar, wahai Rasulullah.” Beliau kembali bertanya: “Ada apa?” Aku menjawab: “Tidak ada apa-apa, demi Allah, hanya saja engkau tadi menyebutkan kepada kami do’a pertama. Namun, orang Arab Badui dating sehingga membuatmu sibuk dengan urusannya. Beliau pun bersabda: “Ya Aku ingat. Yang tadi ingin aku sebutkan adalah do’a Dzun Nun (Nabi Yunus) :
لا إِ لَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ
“Tiada Illah selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang dzalim.” (H.R Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Hakim)
C. Jihad dan Kesabaran dalam Menanggung Beban di Jalan Allah.
Sa’ad bin Abu Waqash pernah menyatakan: “Raulullah tidak menyebutkan kedua orang tuanya untuk seorangpun sebelumku. Aku benar-benar mendengar seruan beliau kepadaku (ketika Perang Uhud): “Hai Sa’ad, lesatkanlah anak panahmu! Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu.” (H.R Bukhari (no. 4055 dan 4056), Muslim (no. 2411), dan Ahmad (no. 1174)
Sa’ad bin Abu Waqash juga menyatakan: “Akulah orang pertama melesatkan anak panah ke arah kaum musyrikin. Aku menyaksikan diriku bersama Nabi sebagai oran ketujuh dari tujuh orang, dan saat itu kami tidak memiliki makanan apapun kecuali dedaunan. Sampai-sampai kotoran kami mirip seperti kotoran kambing. Setelah itu, Bani Asad memberiku pelajaran tentang agama islam. Ternyata selama ini aku keliru menilai mereka. (H.R Bukhari (no. 3728), Muslim (no. 2966), Tirmidzi (no. 2366) dan Ahmad (no. 1498)
Al-Qasim bin Abdurrahman menegaskan: “Orang pertama yang melesatkan anak panah kea rah orang-orang kafir adalah Sa’ad bin Abu Waqash dan Dia merupakan paman Nabi dari pihak ibu.” (Siyar A’lamin Nubala’ III/62)
Dari Amir bin Sa’ad dari ayahnya, ia menceritakan bahwa Rasulullah menyebut kedua orang tua beliau dalam sumpah. Tatkala melihat salah seorang kaum musyrikin yang sangat bengis terhadap kaum muslimin, Rasulullah pun berseru: “Hai Sa’ad lesatkan panahmu! Ayah dan Ibuku menjadi jaminan bagimu.” Sa’ad bertutur: “Aku melesatkan anah panah tanpa ujung besi ke orang musyrik itu dan aku berhasil mengenai bagian keningnya. Orang it punjatuh dan auratnya tersingkap. Melihat hal itu Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya.” (H.R Muslim (no. 2412)
Dari Az-Zuhri ia menuturkan: Bahwasanya Rasulullah mengirimkan satu kelompok pasukan kecil, dan Sa’ad bin Abu Waqash termasuk dalam anggota pasukan ini. Beliau mengirim pasukan kecil itu ke pinggiran Hijaz yang disebut dengan Rabigh, daerah yang terletak di sisi Juhafah.
Kemudian kaum musyrikin berhasil dipukul mundur oleh pasukan muslim ini. Pada saat itu Sa’ad melindungi kaum muslimin dengan panah-panahnya. Dan perang tersebut adalah perang pertama dalam islam. Sa’ad berkata: “Adakah kabar yang dating pada Rasulullah bahwa aku melindungi para sahabatku dengan panah-panahku ?? taka da seorang pemanahpun tampil dengan kumpulan anak-anak sebelumku, wahai Rasulullah.” (Tarikh Ad-Dimasyq (IX/258), ath-Thabaqatul Kubra (III/142), al-Isti’ab fii Ma’rifatil Ashhab(II/20), al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah (II/34), dan Siyar A’lamin Nubala’ (III/64)
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia bercerita: “Pada suatu malam, Rasulullahtidak bisa tidur beliau pun berkata: “Mudah-mudahan ada seorang laki-laki sholeh dari sahabatku yang bersedia menjagaku mala mini.” Tidak lama kemudian, kami mendengar suara pedang. Maka Rasulullah bertanya: “Siapa disitu?” Sa’ad menjawab: “Aku wahai Rasulullah, aku datang untuk menjagamu.” Rasulullah akhirnya tidur, hingga aku mendengar dengkurannya. (H.R Bukhari (no. 2885), Muslim (no. 2410) dan Tirmidzi (no. 3756)
D. Sifat Wara’ , Zuhud, dan Maqbulnya do’a Sa’ad
Dari Amir bin Sa’ad dia menuturkan Ayahnya Sa’ad bin Abu Waqash tengah menggembala kambing-kambing miliknya. Lantas Umar, anaknya yang lain datang menemui Sa’ad. Melihat kedatangan anaknya Sa’ad berseru: “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan yang dibawa penunggang kuda ini.” Saampai di hadapannya, anak itu bertanya: Wahai ayahku, apakah rela menjadi seperti orang Badui dengan menggembalakan kambingmu ini? Padahal orang-orang tengah memperebutkan kekuasaan di Madinah?
Mendengar pernyatan tersebut Sa’ad langsung memukul dada Umar seraya berseru: “Diamlah! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasululah bersabda:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertaqwa, kaya hati, lagi tidak menyukai popularitas.” (H.R Muslim (no. 2965) dan Ahmad (no. 1441)
Sa’ad bin Abu Waqash menceritakan: “Aku melihat dua orang disisi kanan Rasulullah saat perang Uhud. Mereka memakai pakaian berwarna putih. Mereka berperang dengan begotu semangat dalam melindungi beliau. Sungguh aku belum pernah melihat mereka baik sebelum maupun sesudahnya.” (H.R Bukhari (no.4045) Muslim (no. 2306)
Dari Aisyah bin Sa’ad, dari ayahnya ia menuturkan bahwa Nabi duduk di masjid selama tiga malam sambil berdo’a: “Ya Allah masukkanlah dari pintu ini seorang hamba yang mencintai-Mu dan Engkau mencintainya.” Tidak lama kemmudian yang masuk adalah Sa’ad. (H.R Al-Hakim (III/6117) Al-Hakim menshahihkanhadits ini dan Adz-Dzahabi menyepakatinya.
Sa’ad bin Abu Waqash termasuk diantara sahabat yang menghindar dari fitnah (yang melanda umat islam sejak masa kekhalifahan Ustman bin ‘Affan). Oleh karena itulah dia tidak ikut serta dalam peperangan, baik dalam Perang Jamal atau Perang Shiffin, dan tidak pula terlibat dalam peristiwa tahkim.
Terkait dengannya Sa’ad menjelaskan: “Aku tidak berfikir bahwa aku, dengan baju ini, lebih berhak menjadi khalifah. Aku sudah ikut berjihad, dan dengan jihad itulah aku dikenal. Aku pun tidak akan menyengsarakan diriku sendiri jika ada orang yang lebih baik dari pada aku. Aku tidak akan berperang hingga mereka (kaum muslimin) datang kepadaku dengan membawa pedang yang memiliki dua mata dan lisan, kemudian pedang itu berkata: “ini mukmin dan itu kafir.” (Siyar ‘Alamin Nubala’ (III/74) aht-Thabaqatul Kubra (III/43) dan Majma’uz Zawa-id (VII/18)
E. Keteguhan dalam Agama
Abu Utsman menukilkan pernyatan Sa’ada bin Abu Waqash: “Ayat ini turun berkaitan denganku yang artinya:
“…Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentangnya, maka janganlah engkau patuhi keduannya…” (Q.S Al-Angkabut: 8)
Sa’ad pun lalu bercerita: “Aku amat berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk islam, ibuku berseru: “Agama apa yang baru saja akmu peluk ini? Kamu tinggalkan agama barumu itu, atau aku tidak kan makan dan minum sampai mati!” Aku benar-benar bingung dengan pilihan yang diajukannya. Ibuku berseru lagi: “Hai pembunuh ibunya sendiri.” Aku menjawab: “Wahai ibuku, janganlah engkau berbuat demikian aku tidak ka pernah meninggalkan agamaku ini dengan alasan apapun.”
Sehari semalam ibu diam saja, tidak makan dan minum. Dan pada pagi harinya kondisi ibu melemah. Melihat hal itu aku berusaha menenangkannya: “Wahai ibuku, demi Allah, engkau tahu bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa sekalipun, kemudian nyawa itu satu demi satu keluar, sungguh aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku ini. Jika engakau mau, silahkan engkau makan atau engkau tidak makan. Mengetahui kenyatan tersebut ibuku langsung jatuh pingsan.” (H.R Muslim (no. 1748) Abu Dawaud (no. 3740)
F. Wafat
Sa’ad bin Abu Waqash sahabat yang berpostur pendek dan berkulit merah menyala, masuk islam pada usia 17 tahun. Alu pada tahun 55 H, Sa’ad wafat di lembah Aqiq, yaitu rumahnya yang berjarak sekitar tujuh mil dari Madinah. Jenazahnya kemudian di bawa ke Madinah
Sumber: Al-‘Asyarah Al-Mubasysyaruuna bil Jannah, Muhammad Ahmad Isa, edisi bahasa Indonesia 10 Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, penerjemah: Fajar Kurnianto, S.Th.I, Penerbit Pustaka Imam Syafii, Jakarta