Pertanyaan:
Ketika saya sedang masa puber, kadang di bulan Ramadhan saya melakukan masturbasi. Akan tetapi, tidak saya biarkan mani keluar dari kemaluan dengan menghalanginya. Hanya saja saya merasakan kenikmatan dan syahwat.
Apa hukum puasa saya, bagaimana saya dapat menghapus dosa besar tersebut. Saya tidak mengetahui jumlah hari saya melakukan perbuatan tersebut.
Jawaban:
Alhamdulillah
Ketahuilah bahwa perbuatan onani diharamkan berdasarkan syariat, sebagaimana ditunjukkan dalam Kitabullah Ta’ala dan sunah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana perbuatan tersebut dianggap buruk baik secara fitrah maupun akal. Tidak layak seorang muslim mendekati perbuatan ini.
Kemudian ketahuilah, maksiat mendatangkan penderitaan bagi seseorang, baik cepat yakni di dunia, atau lambat yakni di akhirat, jika orang tersebut tidak bertaubat dan mencari rahmat Allah. Adapun hukum dari masalah yang dinyatakan dalam pertanyaan, yaitu apabila dia melakukan masturbasi dan tidak keluar mani dengan sebab apapun, maka puasanya tetap sah berdasarkan pendapat shahih dari beberapa pendapat para ulama. Karena standar dalam masalah ini adalah keluarnya mani. Jika dia keluar, maka batallah puasanya dan dia wajib qadha, jika tidak keluar, maka puasanya tidak batal. Akan tetapi anda diharuskan bertaubat ketika itu kepada Allah Azza wa Jalla serta istighfar karena menyiar-nyiakan puasa dengan perbuatan semacam ini.
Boleh jadi, mani akan keluar setelah beberapa lama anda berupaya menahannya. Maka jika keluar, ketika itu puasa anda batal dan anda harus qadha. Jika anda tidak mengetahui jumlah hari puasa anda batal, maka kira-kiralah dengan teliti hingga anda mencapai dugaan terkuat, lalu dengan sejumlah hari itu anda melakukan qadha.
Syekh Ibnu Utsaimin berkata dalam Syarh Zadul-Mustaqni, “Mungkinkah mani berpindah tanpa keluar (dari kemaluan)?” Ya, mungkin, hal itu dengan melemasnya syahwat setelah mani berpindah dengan sesuatu sebab, sehingga mani tidak keluar.”
Mereka mencontohkan dengan contoh lain; Misalnya dia memegang kemaluannya agar mani tidak keluar. Meskipun contoh yang dikemukakan para ahli fiqih ini sangat berbahaya, namun mereka hanya hendak memberikan contoh, tanpa pertimbangan bahaya atau tidak bahaya. Akan tetapi, kemungkinan besar, kondisi seperti ini seseorang tetap akan keluar maninya apabila kemaluannya dilepas.
Sebagian ulama berpendapat, tidak wajib mandi dengan perpindahan air mani, dan ini merupakan pilihan pendapat Syaikhul Islam. Inilah yang benar. Dalilnya adalah sebagai berikut;
1- Hadits Ummu Salamah, di dalamnyat terdapat (sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam), “Ya, jika dia melihat mani.” Beliau tidak mengatakan, “Jika dia merasakan ada perpindahan mani. Seandainya perpindahan mani menyebabkan wajib mandi, niscaya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskannya, karena terdapat kebutuhan untuk menjelaskannya.
2- Hadits Abu Saad al-Khudry, “Sesungguhnya air (mandi janabat) adalah karena air (keluar mani).” Sedangkan dalam kondisi seperti ini (perpindahan mani) tidak terdapat mani. Hadits ini menunjukkan bahwa jika tidak ada air (keluar mani), maka tidak ada air (kewajiban mandi).
3- Asalnya adalah tetapnya suci dan tidak ada kewajiban mandi. Kedudukan asal ini tidak dapat dialihkan kecuali dengan dalil.
(Asy-Syarhul-Mumti’, 1/280, lihat al-Furu, 1/197, al-Mabsuth, 1/67, al-Mughni, 1/128, al-Majmu, 2/159. al-Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiah, 4/99).
Wallahu a’lam.
Sumber: https://islamqa.info/ar/40664