Kita sebagai hamba Allah, diajarkan untuk mampu mengendalikan diri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang kuat bukanlah mereka yang selalu mengalahkan lawannya dalam pergulatan (perkelahian), tetapi (hakikat) orang yang kuat adalah mereka yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
Tidak semua orang mampu mengendalikan dirinya, namun para salafus-shaleh telah memberikan contohnya kepada kita, salah satunya Ibnu Umar Radliyallahu ‘anhu, ketika beliau hendak berbuka puasa, tiba-tiba datang seorang peminta-minta. Lantas beliau mengambil jatah berbuka beliau, dan memberikannya kepada peminta-minta tersebut.
Begitu pula yang dialami oleh Imam Ahmad Rahimahullah, ketika beliau sudah menyiapkan dua roti untuk berbuka, kemudian datang seorang peminta-minta yang kelaparan. Maka kemudian Imam Ahmad memberikan dua buah roti tersebut kepada peminta-minta tersebut. Sehingga beliau tidak makan hingga waktu sahur tiba. Dan terus keadaan demikian hingga waktu puasa hari berikutnya tiba.
Jika kita mampu mengendalikan diri terhadap makanan, meskipun kita sedang lapar, lantas ada orang lain yang lebih membutuhkan, kemudian kita berikan makanan tersebut kepada yang lebih membutuhkan. Maka ini adalah bagian dari kesabaran dan pengendalian diri.
Di antara kesabaran yang lain, adalah sabar dalam menghadapi pergaulan manusia. Dalam pergaulan dengan manusia, janganlah kita melihat hanya dari penampilan saja. Namun yang lebih penting adalah apa dibalik penampilan tersebut. Sehingga untuk mengetahui karakteristik dari manusia ini, diperlukan pengetahuan yang cukup tentang berbagai kepribadian manusia. Karena jika kita mengetahui kepribadian manusia, hal ini dapat memudahkan kita untuk merubahnya menjadi lebih baik. Sebab, orang yang mengajar manusia bertahun-tahun, belum tentu ia dapat merubah kepribadian orang tersebut menjadi lebih baik. Karena ia adalah pekerjaan yang paling berat. Hal inilah yang ditekankan oleh Allah dalam kitab-Nya, dan diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita harus bisa melihat hikmah, dari pergaulan kita dengan manusia.
Cara kita bersikap, cara kita berdakwah, dan cara kita menghadapi orang lain, agar mereka dapat menerima kebenaran tanpa keberatan. Kalaupun mereka menanggapi dengan sikap kasar, maka janganlah kita berlaku kasar terhadapnya. Inilah salah satu pengendalian diri di dalam berdakwah. Sebagaimana yang Allah firmankan,
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (Fusshilat: 34)
Sikap inilah yang menjadi pedoman kita dalam membawa misi Islam, dengan akhlak yang mulia, dan jiwa yang terhormat.
Inilah pentingnya mengetahui pribadi seseorang dengan baik sehingga dapat memperlakukannya dengan cara yang terbaik. Dapat merubah mereka menjadi lebih baik dari yang susah menerima kebenaran, menjadi pribadi yang lapang dalam menerima kebenaran. Dari penentang kebenaran menjadi pembela kebenaran, yang awalnya gemar terhadap kebatilan, menjadi benci terhadap kebatilan.
Karenanya, penolakan terhadap hal-hal buruk, jangan dilakukan dengan keburukan yang serupa. Sehingga, ketika seseorang mampu mengendalikan dirinya, membalas keburukan dengan kebaikan, ia akan berpengaruh terhadap jiwa orang lain.
Inilah akhlak mulia, yang diajarkan oleh Allah di dalam al-Qur’an,
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (Fusshilat: 34)
Menolak perbuatan buruk seseorang dengan jalan yang baik
Pada zaman Rasulullah, orang-orang yang beriman karena dakwah Rasulullah, baik melalui sikap beliau yang lemah lembut atau pun tutur kata beliau, jumlahnya lebih banyak daripada mereka yang memeluk Islam karena berperang melawan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam menghadirkan perubahan, ada dua jalan yang bisa ditempuh. Yang pertama adalah mudaroh dan yang kedua adalah mudahanah. Mudaroh adalah memperlakukan orang lain dengan cara apapun sehingga ia berubah, tanpa mengakibatkan orang tersebut tersinggung, atau shock (terguncang). Juga tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Adapun Mudahanah, adalah memperlakukan seseorang, namun berakibat pada penistaan terhadap Islam. Biasanya hal ini terjadi dalam ranah politik.
Sehingga dalam memperlakukan manusia, kita tidak dianjurkan untuk menempuh cara mudahanah, yang berakibat pelanggaran terhadap syari’at Islam. Sehingga, jangan sampai kita mengatasnamakan agama Islam, namun justru melanggar syari’at Islam yang kita junjung. Mudahanah adalah bagian dari nifaq. Karena berakibat pada manipulasi agama hanya untuk mendapatkan dukungan orang banyak.
Allah mengajarkan agar setiap kaum mukminin memiliki kesabaran. Karena kesabaran itu akan menghalanginya untuk bertindak secara emosional, dalam berdakwah, dalam berdiskusi, dan dalam berdebat. Karena sifat emosional akan menutupi kebenaran, sehingga sulit bagi orang lain untuk menerima kebenaran. Janganlah kita mudah terpancing emosi. Kesabaran berperan penting dalam pengendalian emosi. Sehingga kita tidak membawa kebenaran secara emosional.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah, memiliki sikap lapang dada dalam menghadapi pihak yang belum paham. Karena penolakan dan penentangan muncul dari ketidaktahuan mereka, sehingganya kita harus lapang dada. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan ketika datang seorang arab badui masuk ke dalam masjid, dan kemudian kencing didalamnya.
Akhirnya, yang menjadikan jiwa itu dewasa dan matang, adalah sikap mudah memaafkan. Jiwa yang bersih adalah anugerah yang luar biasa.