Setelah dilahirkan, Muhammad disusui oleh sang ibu selama tiga atau tujuh hari. Beliau juga pernah diasuh oleh Ummu Aiman dan Barakah al-Khabsyiyyah. Dan setelah itu disusui oleh Tsuwaibah, mantan budak Abu Lahab selama beberapa hari. Dari Tsuwaibahlah Beliau dan Abu Salamah menjadi saudara sepersusuan,
“Saya dan Abu Salamah telah disusui oleh Tsuwaibah.”
Kemudian datanglah setelah itu, rombongan wanita yang mencari bayi untuk disusui. Di antara mereka adalah Halimah as-Sa’diyah. Namun setiap wanita yang ditawari untuk menyusui Muhammad menolak, karena beliau anak yatim. Setelah semua wanita mendapatkan bayi untuk disusui, tinggallah Halimah yang belum mendapatkan bayi susuan. Maka ia mendatangi Aminah dan membawa Muhammad pulang. Dalam Shahih Muslim telah dijelaskan tentang penyusuan ini.
Setelah dua tahun berlalu, Halimah datang bersama Muhammad untuk menemui ibunda beliau, dan menyampaikan keinginannya agar beliau tetap bersamanya, karena keberkahan yang mengiringi beliau selama tinggal bersama Halimah. Aminah pun menyanggupi, dan beliau tetap bersama Halimah hingga batas waktu yang disepakati.
Hikmah yang bisa dipetik
Pertama, masa menyusiui di pedalaman yang jauh dari kota untuk menghindari polusi pergaulan kota dan untuk menghirup udara segar pedesaan, apalagi kota Mekah pada waktu itu didatangi oleh banyak pengunjung yang berasal dari penjuru dunia dengan beragam jenis manusia. Mereka datang untuk menunaikan haji, kunjungan, untuk melakukan perdagangan, dan lain-lainnya. Kondisi tersebut berpotensi mengotori pergaulan dan moral.
Oleh karena itu, orang tua yang memiliki peran sebagai pendidik, pembimbing anak-anaknya, hendaknya menjaga kesehatan anak dan membiasakan mereka keluar untuk menghirup udara yang segar. Karena hal tersebut berpengaruh baik dari sisi kesehatan den kejiwaan anak ke depannya.
Kedua, pada masa itu, bayi-bayi yang baru lahir diasuh ke pedalaman dimaksudkan untuk membiasakan mereka berbahasa arab yang bagus dan untuk menghindari kesalahan dalam berbahasa arab.
Hal ini menunjukkan besarnya perhatian mereka terhadap bahasa ibu mereka, yaitu bahasa arab. Hal tersebut adaah sebuah pelajaran bagi kita untuk senantiasa menjaga bahasa arab, bahasa Qur’an dan bahasa Sunnah yang mulia.
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bahasa arab adalah bagian dari agama ini, mempelajari bahasa arab adalah fardhu ‘ain, karena mempelajari al-Qur’an dan Sunnah hukumnya fardhu ‘ain. Dan mempelajari al-Qur’an dan Sunnah tidak mungkin terjadi, kecuali apabila mengetahui bahasa arab, sementara kaidah berbunyi, ‘Sesuatu yang wajib yang tidak bisa terpenuhi, kecuali dengan adanya penyebab, maka penyebab tersebut hukumnya juga wajib.’”
Abdul Malik bin Marwan pernah berkata, “Kecintaan kami kepada al-Walid menjadi fitnah kepada kami. Karena al-Walid suka melakukan kesalahan dalam berbahasa, sementara Sulaiman bahasanya fasih. Itu disebabkan karena al-Walid tinggal bersama ibunya, sementara Sulaiman dan saudara-saudaranya tinggal di pedalaman yang menyebabkan mereka fasih berbahasa arab, dan mereka mengajarinya etika dan moral.”
Ketiga, Allah menakdirkan Halimah menyusui Muhammad dengan cara yang tidak mudah baginya. Karena awalnya tidak suka, karena beliau yatim, dan ia beranggapan siapakah yang akan memberinya upah. Bagaimana kondisi Halimah yang mengambil beliau dalam kondisi yang tidak tulus. Ia lalai dari kebaikan yang telah disiapkan baginya. Fenomena inilah yang banyak terjadi disekitar kita, tergesa-gesa dalam memohon dan mengharapkan sesuatu, padahal kita tidak mengetahui dimana letak kebaikan dari keinginan kita. Allah mengingatkan kita,
“..Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa: 19)
“..Boleh jadi kamu membenci sesuatu. Padahal ia amat baik bagimu..” (Al-Baqarah: 216)
Ibnu Mas’ud Radliyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya seorang hamba yang mengharap sesuatu dari perniagaan atau kepemimpinan hingga dimudahkan baginya, kemudian Allah memalingkan nikmatnya itu kepadanya. Kemudian Allah berkata kepada malaikat, ‘Palingkan dia dari keinginannya itu, karena jika Aku mengabulkan keinginannya, maka Aku akan memasukkannya ke dalam neraka.’ Oleh karena itu, Alah pun menjauhkannya dari keinginannya itu, tetapi hamba itu masih saja berkata, ‘Fulan telah mengalahkan saya, sungguh untunglah fulan dibandingkan saya.’ Walaupun pada hakikatnya itu adalah karunia dari Allah ‘Azza wa Jalla.”
Keempat, Syaikh Abdurrahman as-Shaqali berkata, “Setiap manusia mendapatkan jatah kebaikan dari namanya, hal ini berlaku di dunia, bagitu juga kehidupan selanjutnya.”
Nama Rasulullah adalah Muhammad, beliau terpuji di sisi Allah, terpuji disisi malaikat, terpuji di sisi pada nabi, dan terpuji di sisi penghuni alam semesta. Beliau dilahirkan pada bulan Rabiul Awwal dan itu mengisyaratkan bahwa nikmat Allah telah dimulai, ibunda beliau bernama Aminah (yang aman), yang membantu kelahiran beliau bernama asy-Syifa (kesembuhan) ibunda dari Abdurrahman bin Auf, beliau diasuh oleh Barakah (keberkahan), disusui oleh Tsuwaibah (pahala) dan Halimah (santun) as-Sa’diyah.
Asy-Syami berkata, “Pada tatanan itu terdapat keteraturan yang telah disiapkan Allah untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui nama-nama para pengasuh beliau. Pada nama ibu dan bidan terdapat keamanan dan pelipur lara, pada nama pengasuh beliau terdapat keberkahan, dan pada kedua ibu yang menyusui beliau terdapat ganjaran pahala, kesantunan, dan kebahagiaan.”
Sumber: Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, “Fiqh Sirah Nabawiyyah”, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2016