Sekelumit Kisah Kelahiran Nabi
Sebagaimana kita ketahui bahwa Abdullah bin Abdul Muthallib menikah dengan Aminah binti Wahab dari kabilah Zuhrah. Kemudian Abdullah pergi ke Syam (Gazza) bersama dengan kafilah dagang Quraisy. Sepulang dari niaga, mereka mampir ke Madinah, Abdullah mampir di rumah saudara dari ibunya dari kabilah an-Najjar karena mengeluh sakit, yang akhirnya ia meninggaal dan dikuburkan di Madinah pada waktu itu. Sedangkan Rasulullah masih dalam kandungan dan umur Abdullah pada waktu itu adalah 25 tahun.
Tempat Kelahiran Nabi
Pendapat yang benar menurut mayoritas ulama adalah, beliau dilahirkan di Mekkah. Ada yang mengatakan di sebuah rumah yang ada di Syi’ib Bani Hasyim, ada juga yang mengatakan di sebuah rumah dekat Shafa. Dan yang membantu persalinan adalah Ibunda dari Abdurrahman bin Auf Radliyallahu ‘anhu.
Tahun Kelahiran
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun Gajah dan inilah yang terkenal di kalangan mayoritas ulama. Ibrahim bin al-Mundzir berkata, ‘Dan yang tidak diragukan oleh seorang pun dari ulama kita adalah beliau dilahirkan pada tahun Gajah, tahun 571 Miladiyyah.’” Dari Abu Umamah Radliyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibuku telah bermimpi melihat ada cahaya keluar dari dirinya yang menerangi istana-istana yang ada di Syam.”
Setelah kelahiran beliau, ibunda beliau mengirimkan beliau kepada kakek beliau, Abdul Muthallib. Abdul Muthallib menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah. Pada hari ketujuh, Abdul Muthallib mengundang orang-orang Quraisy makan-makan dan berkata, “Aku namakan dia Muhammad.”
Orang-orang bertanya, “Bagaimana kamu menamakan anakmu dengan nama yang bukan nama dari kakekmu dan juga bukan nama yang dikenal pada kaummu?”
Abdul Muthallib berkata, “Aku berharap penduduk bumi memujinya dan penduduk langit pun memujinya.”
Hikmah Kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dalam keadaan yatim. Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Ini adalah kondisi yatim dalam urutan yang tinggi (beliau ditinggal mati sang ayah sebelum beliau lahir).” Hikmah yatimnya beliau adalah, agar tidak menjadi alasan bagi mereka yang menolak dakwah Rasulullah untuk berkata, “Muhammad melakukan dakwahnya itu karena arahan dari ayahnya, atau sebagai warisan ayahnya. Karena ayahnya telah meninggal sebelum beliau lahir dan sama sekali belum bertemu. Dengan demikian alasan sebagai warisan kepemimpinan, arahan, dan permintaan dari seorang ayah telah tertolak.
- Keadaan yatim menjadikan beliau lebih peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena orang yang telah merasakan berbeda jauh dengan yang belum pernah melalui masa itu. Anak orang kaya bagaimanapun proses sosialnya, tidak akan bisa merasakan perihnya kemiskinan. Kondisi kehidupan seperti itu yang telah dilalui oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan beliau pengalaman dalam menempuh dakwah tatkala diutus.c.
- Keadaan beliau yang berada dalam pengasuhan ibunda tercinta sama persis dengan keadaan sebagian Nabi yang dibesarkan oleh ibunya. Ini menunjukkan besarnya peran seorang ibu dalam mendidik anak-anak mereka. Sebagaimana Ismail ‘Alaihissalaam yang hidup bersama ibundanya jauh dari ayahnya, dan ketika ia bertemu sang ayah Ismail ‘Alaihissalaam sudah menjadi seorang pemuda yang shaleh. Begitu juga Nabi Isa bin Maryam ‘Alaihissalaam dan juga Nabi Musa ‘Alaihissalaam.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memilih istri yang shalehah. Karena dialah yang akan melakukan tarbiyyah dan pemeliharaan anak-anak itu. Arahan yang mereka berikan kepada anak-anak pada masa kecil akan berkesan dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang. Bahkan masa depan satu generasi.
- Pelajaran dakwah yang menunjukkan bahwa kekayaan, martabat, dan kemuliaan tidak ada hubungannya dengan anak yatim. Tidak ada kaitannya dengan orang tua yang masih hidup, karena begitu banyak di antara kita yang gelisah disebabkan memiliki tanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya, takut sedekah karena khawatir anak-anaknya akan kekurangan.
Mereka berdalih dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Meninggalkan anak-anak kalian dengan harta lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan berharap belas kaih manusia.” Jika datang panggilan berjihad, mereka khawatir dengan masa depan anak-anak mereka jika ia mati dalam medan jihad. Maka hal telah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya anak bisa menjadi penyebab kikir dan penakut.”
Perlu kita ingat bersama, jika kita menjaga Allah, maka Allah akan menjaga kita dan anak-anak kita. Sebagaimana kisah Nabi Musa dan Nabi Khaidir ‘Alaihimassalaam, ketika Nabi Musa melakukan perjalanan bersama Nabi Khaidir dan bertemu dengan dua anak yatim, di sisi mereka ada dinding milik mereka yang hendak roboh kemudian Nabi Khaidir membangunnya kembali. Allah ta’alaa berfirman,
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka kedua, sedang ayah mereka adalah seorang yang shaleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai pada kedewasaan mereka dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukan itu menurut keinginanku sendiri. Yang demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi: 82)
Sa’id bin Musayyib Rahimahullah berkata kepada anaknya, “Aku akan menambah jumlah shalatku karena kamu, wahai anakku, dengan harapan semoga Allah menjagamu.” Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidak ada seorang mukmin shalih yang meninggal, kecuali Allah akan menjaga anak-anaknya dan cucu-cucunya.”
Sumber: Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, “Fiqh Sirah Nabawiyyah”, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2016