“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis karena termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kami mendapat keberuntugan.” (Al-Maidah: 90)
Beberapa saat yang lalu penulis mendapatkan sms dari salah seorang jama’ah pengajian yang isinya sebagai berikut; “Ustadz saya berobat totok syaraf, dia kasih obat yang bahannya dari arak, lalu obat dioleskan ke bagian tubuh, apa boleh ustadz?”
Arak, Najis atau Tidak?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, harus dipelajari dahulu apakah itu najis atau tidak? Jawabannya bahwa arak adalah himpunan minuman keras seperti khamr. Sedang khamr sendiri para ulama berbeda pendapat tentang kenajisannya. Marilah kita lihat terlebih dahulu firman Allah Subhanahu wa ta’alaa yang menjelaskan tentang khamr,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis karena termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kami mendapat keberuntugan.” (Al-Maidah: 90)
Ayat di atas menjelaskan bahwa khamr adalah rijsun karena termasuk perbuatan setan. Apa arti rijsun di sini? Para ulama berbeda pendapat;
- Pendapat pertama, makna rijsun di sini adalah najis hissiyyah, maksudnya bahwa khamr adalah barang najis secara lahir, kalau tersentuh tangan, maka tangan tersebut harus dicuci, seperti kencing atau kotoran manusia. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Dalil mereka adalah ayat di atas.
- Pendapat kedua, bahwa rijsun dalam ayat di atas adalah najis maknawi, yaitu orang yang memegangnya tidak diharuskan untuk bersuci. Inilah pendapat Robi’ah, al-Laits, al-Muzani, asy-Syaukani, ash-Shan’ani, Ahmad Syakir, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Syaikh al-Albani. Dalil mereka sebagai berikut;
- Ayat 90 surat al-Maidah di atas menjelaskan empat perkara, khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, bahwa semuanya najis. Telah diketahui bahwa tiga hal selain khamr adalah suci secara lahir, tetapi najis secara maknawi atau najis amali, karena termasuk amalan dan perbuatan setan. Oleh karena itu, khamr juga dikatakan najis maknawi, dan bukan najis secara lahir, karena keempat hal tersebut disebutkan bersamaan dalam satu ayat. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa ta’laa,
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang rijsun (najis) itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (Al-Hajj: 20)
Yang dimaksud dengan kenajisan berhala pada ayat di atas adalah najis maknawi.
- Hadits dari Anas bin Malik Radliyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata,
“Aku pernah menjamu suatu kaum dengan minuman di rumah Abu Thalhah. Saat itu khamr mereka adalah al-Fadhikh (arak yang terbuat dari buah kurma). Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan bahwa khamr telah diharamkan.” Anas berkata, “Maka Abu Thalhah berkata kepadaku, ‘Keluar dan tumpahkanlah.’ Maka aku keluar lalu aku tumpahkan. Maka khamr mengalir di jalan-jalan kota Madinah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa khamr tidak najis secara hissiyyah, tetapi najis secara maknawi, karena dua alasan;
- Bahwa hadits di atas menjelaskan bahwa khamr ditumpahkan di jalan-jalan kota Madinah. Jika seandainya khamr tersebut najis hissiyyah, tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan para sahabatnya untuk membersihkannya, karena jalan-jalan tersebut akan dilewati orang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa khamr tidaklah najis secara lahiri, tetapi najis secara maknawi.
- Setelah turunnya ayat khamr, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerinthakan untuk membuang khamr, tetapi tidak memerintahkan untuk mencuci botol-botol, atau kendi-kendi, atau gelas-gelas yang pernah diisi khamr, tetapi beliau membiarkan saja. Hal ini menunjukkan bahwa khamr tidak najis secara lahir tetapi najis secara maknawi.
- Hadits Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata,
“Suatu ketika seorang laki-laki menghadiahkan sekantung khamr kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bersabda kepadanya,
‘Belum tahukah kamu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Belum.’ Kemudian ia berbisik kepada orang yang ada disampingnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Apa yang kamu bisikkan kepadanya?’ Dia menjawab, ‘Saya memerintahkan supaya menjualnya.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Dzat yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.’ Kemudian laki-laki tersebut membuka kantung khamr dan menumpahkan semua isinya.” (Riwayat Muslim)
Hadits di atas menunjukkan bahwa khamr adalah najis maknawi, bukan najis secara lahir, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang tersebut untuk menyuci kantung yang tadinya berisi khamr.
- Pada dasarnya, segala sesuatu adalah suci, sampai ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya, maka hukumnya kembali kepada asal, yaitu suci. Maka khamr itu suci secara lahir, walaupun secara maknawi adalah kotor dan haram untuk dikonsumsi karena perbuatan setan.
Dan tidak setiap yang haram pasti najis, tetapi setiap yang najis pasti diharamkan, seperti racun haram untuk dikonsumsi tetapi tidak najis, begitu juga mas dan kain sutra diharamkan bagi laki-laki untuk memakainya, tetapi keduanya tidaklah najis, tetapi tetap suci. Begitu juga rokok hukumnya haram, tetapi jika kita memegangnya tidaklah tangan kita menjadi najis.
Begitu juga kita diharamkan untuk menikahi ibu-ibu kita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’alaa,
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu.” (An-Nisaa’: 23)
Walaupun kita haram menikahi ibu kita, bukan berarti badan ibu itu najis, tetapi ibu itu tetap suci secara lahir. Begitu juga ketika kita bersalaman dengan orang kafir atau orang musyrik, tangan kita tidaklah najis, karena kenajisan orang musyrik adalah kenajisan maknawi.
Allah ta’alaa berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (At-Taubah: 28)
Kesimpulan
Kesimpulannya bahwa khamr menurut pendapat yang benar bukanlah barang najis secara lahir, tetapi najis secara maknawi, karena termasuk perbuatan setan. Jika kita sudah mengetahui bahwa kenajisan khamr hanya bersifat maknawi, maka bisa kita simpulkan bahwa arak pun hukumnya tidak najis, tetapi tetap haram untuk diminum. Pertanyaannya adalah; Apakah boleh mengoles tubuh dengan arak?
Perlu kita ketahui bahwa mengoles tubuh dengan arak dalam keadaan sakit, merupakan salah satu bentuk pengobatan. Para ulama sendiri berbeda pendapat dalam menghukumi boleh tidaknya kita berobat dengan sesuatu yang haram. Lepas dari perbedaan pendapat para ulama tersebut, dan agar kita menjadi tenang di dalam beribadah, maka sedapat mungkin kita hindari pengobatan dengan mengoleskan tubuh dengan arak.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: http://ahmadzain.com/read/karya-tulis/256/hukum-mengoles-tubuh-dengan-arak/