Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA*
Salah satu masalah yang sering ditanyakan masyarakat adalah hukum menyalurkan zakat untuk kegiatan dakwah, seperti; pembangunan markas dakwah, pengiriman da’i-da’I ke pedalaman, pembinaan para kader dakwah dan para muallaf, pembentengan umat dari kristenisasi dan gerakan permurtadan, penyaluran al-Qur’an dan buku-buku Islam pada umat Islam yang masih awam dan lain-lain.
Bagaimana pandangan para ulama kontemporer dalam masalah ini? Tulisan di bawah ini menjelaskannya:
Dasar pijakan dalam masalah ini adalah firman Allah:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah: 60)
Mayoritas ulama memahami bahwa makna “fi sabilillah” pada ayat di atas adalah jihad (berperang) di jalan Allah melawan orang-orang kafir.
Sementara sebagian ulama memahami bahwa jihad di jalan Allah mencakup jihad dengan senjata dan jihad dengan ilmu, seperti menerangkan kebenaran Islam, dan kebatilan orang-orang kafir dan musyrik. Begitu juga mencakup gerakan dakwah dengan tujuan menegakkan kalimat Allah.
Di antara dalil-dalil yang menjelaskan hal di atas adalah sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah Subhanahu Wata’ala:
فَلَا تُطِعْ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar. “(Qs al-Furqan: 5)
Berkata Ibnu Abbas: “( وَجَاهِدْهُمْ بِهِ) maksudnya adalah (berjihad) dengan al-Qur’an )”. (Tafsir Ibnu Katsir: 3/311)
Berkata Ibnu Taimiyah dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah (8/86):
“Surat ini (al-Furqan) turun di Mekkah, sebelum Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berhijrah ke Madinah, dan sebelum diperintahkan berperang, dan sebelum diijinkan berperang. Maka, maksud jihad (pada ayat di atas) adalah jihad dengan ilmu, hati, penjelasan dan dengan dakwah, bukan dengan berperang“.
Kedua: Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian“ (HR. Abu Daud, no: 2504 , Shahih)
Ketiga: Fatwa syekh Muhammad bin Ibrahim Ali Syekh dalam Majmu’ Fatawa-nya (4/142). Beliau berkata:
“Di sini ada masalah penting bahwa zakat sah jika diberikan untuk penguatan dana kegiatan dakwah kepada Allah dan dalam rangka mengungkap kekeliruan dalam pemahaman agama. Ini semua termasuk dalam katagori jihad dan termasuk hal-hal penting di jalan Allah.
Keempat: Keputusan al-Majma’ al-Fiqh al-Islamy di Rabithah Alam Islami, pada pertemuannya yang ke –8 di Makkah al-Mukarramah pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir – 8 Jumadal Ula 1405 H, yang di antara isinya sebagai berikut:
“Mengingat bahwa tujuan dari jihad dengan senjata adalah menegakkan kalimat Allah dan tegaknya kalimat Allah, selain terwujud dengan perang, juga bisa terwujud dengan cara berdakwah kepada Allah dan menyebarkan ajaran agama-Nya, dengan cara mempersiapkan para da’I serta mendukung dan membantu mereka di dalam menjalankan tugas mereka. Oleh karenanya, kedua cara tersebut dikatagorikan jihad. Ini berdasarkan apa yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Nasa-I dan dishahihkan oleh Hakim, dari Anas radhiyallahu ‘anha bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lisan kalian“ (HR. Abu Daud, no : 2504 , Shahih)
Mengingat bahwa Islam telah diperangi melalui Ghozwul al-Fikr wa al-‘Aqadi (perang pemikiran dan keyakinan) yang dilancarkan oleh orang-orang Atheis, Yahudi dan Nashara serta musuh-musuh Islam lainnya, di belakang mereka ada para pendukung secara materi dan maknawi. Oleh karenanya, wajib bagi kaum muslimin melawan mereka dengan senjata yang mereka pakai untuk menyerang Islam dan dengan senjata-senjata lain yang lebih mengena.
Mengingat bahwa urusan–urusan perang di Negara-negara Islam telah mempunyai kementrian khusus yang mempunyai anggaran khusus dalam Negara. Ini berbeda dengan urusan dakwah, yang biasanya tidak mendapatkan anggaran khusus dari mayoritas Negara-negara tersebut, begitu juga tidak ada bantuan-bantuan .
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Majlis telah memutuskan -dengan dukungan mayoritas anggotanya – bahwa dakwah kepada Allah berikut hal-hal yang bisa membantu dan mendukung kegiatan –kegiatannya masuk dalam katagori ( fi sabilillah) pada ayat di atas“.
Kelima: Al-Haihah Asy-Syari’yah al-Alamiyah li az-Zakat Kuwait melalui Pertemuan Pertama yang diadakan di Kairo Mesir pada tanggal 13-16 Rabi’ul Awal 1409 M / 25-27 Oktober 1988 M mengeluarkan Fatwa dan Rekomendasi yang isinya sebagai berikut :
“Bahwa, yang dimaksud bagian fi sabilillah adalah jihad dalam arti yang luas sebagaimana ditetapkan oleh para fuqaha, yang muaranya pada penjagaan agama dan tegaknya kalimat Allah. Maka, tercakup di dalamnya, selain berperang secara fisik, juga kegiatan Dakwah Islam, gerakan penegakkan syariat, membantah syubhat yang dihembuskan musuh-musuh Islam, serta menghalangi munculnya aliran-aliran yang memusuhi Islam”.
Dengan demikian, Jihad tidaklah terbatas pada gerakan bersenjata saja. Maka jihad dengan pemahaman seperti ini meliputi hal-hal di bawah ini:
1. Pendanaan gerakan jihad militer yang mengangkat bendera Islam dan melawan serangan-serangan yang dilancarkan terhadap umat Islam di seluruh Negara-negara mereka.
2. Pendaan untuk Pusat-Pusat Dakwah Islam yang dikelola oleh orang-orang yang jujur di Negara- Negara non Islam dengan tujuan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dengan berbagai cara yang dibenarkan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Ini juga berlaku bagi masjid-masjid yang didirikan di Negara non Islam yang berfungsi sekaligus sebagai Pusat-Pusat Dakwah Islam.
3. Pendanaan untuk usaha-usaha yang bisa menguatkan Islam di lingkungan minoritas Islam yang hidup di bawah kekuasaan orang-orang non muslim, di mana mereka menjadi target pemberangusan eksistensi umat Islam di Negara-negara tersebut. “ Wallahu A’lam
Jatiwarna, 9 Ramadhan 1434 H/ 18 Juli 2013 M
*Direktur Pesantren Tinggi Al-Islam, Pondok Gede, Bekasi. (ahmadzain.com)