95. Al-Mannaan (Yang Maha Pemberi, Maha Pemurah).
Al-Mannaan sebagian dari asma’-Nya yang indah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menamakan-Nya dengan nama ini. Dari Anas bin Malik Radliyallahu ‘anhu, ia berkat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang laki-laki berkata,
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, bahwasanya hanya bagi-Mu lah segala pujian, tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Engkau, Maha Esa tiada sekutu bagi-Mu, Yang Maha Pemberi (al-Mannaan), pencipta langit dan bumi, Yang memiliki kebesaran dan keagungan, wahai, Yang Hidup, Wahai Yang mengurus perkara makhluk dengan sendiri. Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa Neraka.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh dia telah memohon dengan nama-Nya Yang Maha Agung, yang apabila diminta dengan-Nya, Dia akan memberi apabila dimohon dengannya, Dia akan mengabulkan.”
Di dalam kitab an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnul Atsir berkata, “Al-Mannaan, Dia yang memberi nikmat. Diambil dari kata al-mann, pemberian, bukan berasal dari lafazh (al-minnah). Banyak lafazh al-mann dipakaikan dalam perkara mereka (orang Arab) dengan arti (ihsan) berbuat baik kepada orang yang tidak mengharap balasan dan tidak meminta balasan atasnya. Lafazh al-Mannaan berasal dari kalimat yang memberikan makna yang sangat/lebih seperti lafazh al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi). Dari Anas Radliyallahu ‘anhu juga hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan yang lainnya, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih memberi nikmat terhadapku pada dirinya dan hartanya selain dari Abu Bakar bin Abi Quhafah Radliyallahu ‘anhu. Jika aku menjadikan seseorang khaliil (orang yang dikasihi) dari kalangan manusia, aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khaliil, tetapi persaudaraan dalam Islam lebih utama.”
Al-Mannaan, Dia-lah yang besar pemberian-Nya, sesungguhnya Dia memberikan kehidupan, akal, dan ucapan. Dia membuat rupa dan membaguskannya. Dia memberi nikmat lalu memperbanyak. Dia memperbanyak pemberian dan bantuan.
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat memperkirakannya. Sesungguhny manusia itu, sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)
Sebesar-besar nikmat, bahkan merupakan sumber segala nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah diutus-Nya para Rasul, yang melalui mereka Allah menyelamatkan dari kesesatan dan memelihara mereka dari kebinasaan.
Allah ta’alaa berfirman,
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara meeka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali-‘Imran: 164)
Allah, Dia-lah yang memberikan nikmat (karunia) kepada hamba-Nya dengan menciptakan, memberi rizki, memberi kesehatan badan, dan keamanan di dalam negeri, Dia melimpahkan kepada mereka nikmat yang tampak dan yang tersembunyi. Sebagian dari pemberian nikmat yang paling besar, yang paling sempurna, yang paling bermanfaat, bahkan merupakan asal dari segala nikmat, adalah petunjuk islam dan anugerah iman. Ini yang paling utama dari segal hal.
Allah, Dia-lah al-Mannaan yang tiada bandingnya. Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sangat besar pemberian-Nya. Dia memberikan hidup, akal, dan kemampuan berbicara. Dia memberi rupa dan membaguskan. Dia memberi nikmat yang besar, dan banyak pemberian-Nya. Dia menyelamatkan hamba-Nya yang beriman, memberi karunia kepada mereka dengan mengutus para Rasu dan menurunkan Kitab-Kitab, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan nikmat dan karunia-Nya. Dia memberikan karunia kepada semua hamba-Nya dengan menciptakan rizki, kesehatan, dan rasa aman bagi mereka yang beriman. Dia melimpahkan nikmat kepada hamba-Nya, padahal mereka berbuat durhaka dan dosa.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.