Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia mengalami pasang surut. Sejak kemerdekaan sampai jatuhnya Soekarno dan dilanjutkan oleh Soeharto bangsa Indonesia tetap tidak merasakan nikmatnya kemerdekaan. Boleh jadi benar apa yang dikatakan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and the absolut power corrupt absolutely (kekuasaan cenderung untuk melakukan korupsi, dan kekuasaan yang mutlak, korupsi secara mutlak pula).”
Kedua tokoh itu semula mendapat dukungan rakyat yang cukup luar biasa, tetapi ternyata mereka telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya, sehingga justru hanya menyengsarakan bangsa saja. Sejarah itu sumber pelajaran yang sangat berharga, sehingga kita perlu menggali lebih jauh perjalanan panjang Orde Baru yang diperankan oleh sang diktator berdarah dingin (Soeharto) dalam upayanya membungkam lawan-lawan politiknya, terutama umat Islam yang dianggap sebagai ancaman utama bagi kelangsungan kekuasaannya, yang biasa dia sebut sebagai ancaman ekstrem kanan.
Dia sebagai panglima tertinggi ABRI memanfaatkan kekuasaannya sebagai alat memberangus hak politik umat Islam melalui beberapa tahapan. Sepuluh tahapan awal (1966–1976) sebagai tahap pengkondisian, menurut Dr. Din Syamsuddin, “Dapat dicatat bahwa respon umat Islam terhadap perubahan politik selama sepuluh tahun pertama orde baru (1966–1976) yang dalam hubungannya dengan agenda depolitisasi Islam dapat dipandang sebagai suatu pengkondisian hubungan antara Islam dengan negara Pancasila dan politik.”
Adapun tahapan kedua, antara tahun 1976–1986 merupakan masa uji coba. Rezim menguji depolitisasi Islam secara formal dengan menetapkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi swasta mencantumkan Pancasila sebagai asas. Menurut Donald Emerson, hal itu justru membangkitkan respon umat Islam. Kebangkitan Islam ada kalanya tergantung pada pengamatan. Tetapi, yang jelas di Indonesia telah berlangsung dalam tahun 80-an, di kota-kota, terutama kota besar di pulau Jawa, bukti-bukti adanya kebangkitan Islam tidak bisa dipungkiri. Marilah kita melihat lebih jelas sepak terjang Soeharto pada kedua periode tahapan tersebut.
Sekilas tentang Soeharto
Sejak 1951 Soeharto sudah menunjukkan sikap keras terhadap semua pihak yang memperjuangkan idiologi Islam. Maka, ketika ditengarai bahwa TNI 426 di Jawa Tengah mengadopsi idiologi Islam karena mereka mantan pasukan Hizbullah dan Sabilillah, dia tumpas habis. Soeharto naik ke puncak kekuasaan sebagai presiden RI adalah melalui kup yang tidak berdarah. Soekarno digulingkan oleh ABRI dan angkatan 66 karena dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan sebagai seorang diktator. Untuk menarik simpati tahap awal, begitu berkuasa, Soeharto membebaskan sejumlah mantan tokoh Masyumi, seperti Muhammad Natsir, Kasman Singodirejo, Prawoto Mangkusaswito, dan Hamka yang ditahan oleh Soekarno.
Rezim Orde Baru keberatan untuk memenuhi tuntutan rehabilitasi Masyumi dan PSI, karena partai-partai itu dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 45. Menurut Dr. Masykur Hakim, kelakuan kekejaman kepemimpinan militer pimpinan Soeharto terhadap Islam politik dapat dilihat dari dua dimensi: politik dan keagamaan. Dari segi politik, ABRI masih dendam kepada Masyumi karena partai ini diizinkan kembali berkiprah di pentas politik nasional, maka menjadi ancaman serius bagi kekuatan Orde Baru dan militer. Bias keagamaan dengan jelas terlihat pada pernyataan 21 Desember yang merupakan hasil keputusan rapat komando militer regional ABRI yang dipimpin oleh Jenderal Panggabean. Tetapi, sayangnya Dr. Masyur tidak menyebutkan isi dokumen itu. Tetapi, David Jenkins mencatat pernyataan Soeharto yang berbunyi, “Our common every is Islam.” Bahkan, Hartono Ahmad Jaiz menyatakan, “Hantaman terhadap politik Islam masa Orde Baru yang masih tersisa sampai Orde Reformasi telah melebihi kadar yang dicanangkan arsitek penjajah, yakni Snock. Kalau Snock hanya mengkhawatirkan politik Islam, justru Orde Baru telah membabat pula norma-norma syariat, jilbab dilarang di sekolah dan perkantoran.”
Tahapan Pertama 1966–1976
Pada sidang MPRS, antara tahun 1966–1967, umat Islam mengajukan tuntutan agar presiden orang Islam dan negara berdasar Islam muncul kembali dan bisa dipastikan akhirnya ditolak. Melihat gelagat politik Orde Baru yang tidak beres, akhirnya para tokoh Islam menggunakan dakwah sebagai alat perjuangan dengan mengangkat slogan “Mengulamakan sarjana dan menyarjanakan ulama”. M. Natsir pada tanggal 9 Mei 1967 mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Pada tanggal 15 Februari 1968 Presiden Soeharto memberitahukan bahwa tidak seorang pun bekas Masyumi diizinkan untuk memimpin dan mengambil peranan dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Dan, Pemilu 1968 ditunda sampai dengan tanggal 1971 disebabkan karena beberapa faktor:
- Usaha pemerintah untuk memperoleh jaminan agar persoalan dasar negara tidak diubah dan tidak menjadi program partai serta tidak muncul dalam kampanye.
- Usaha pemerintah untuk membuat keseimbangan antara anggota DPR dari luar Jawa dengan Jawa.
- Usaha pemerintah untuk mengangkat 100 orang dari 460 DPR oleh pemerintah dan 307 anggota MPR dari 920 anggota, termasuk 100 orang yang mewakili golongan fungsional: tentara, politisasi, intelektual.
Menjelang pemilu 1971, dukungan pemerintah untuk memenangkan Golkar dalam pemilu terlihat sangat jelas. Persiapan yang efektif dan strategis mengakibatkan Golkar–ketika itu masih disebut Sekber Golkar–jauh mengungguli partai-partai lainnya. Golkar berhasil meraih suara 62,80%, NU mendapat suara 18,418,67% (perolehan ini lebih banyak ketimbang hasil pemilu 1955 yang hanya 18,4%). Tetapi, Parmusi yang sering disebut pengganti Masyumi hanya mendapat suara 5,36% (padahal, pada pemilu 1955 Masyumi memperoleh suara 20,9%). Dua partai Islam kecil lainnya (PSSI dan Perti) juga kehilangan dukungan, karena masing-masing hanya mendapat suara 2,9% dan 1,39% pada Pemilu 1955, dan mendapat suara 2,39% dan 1,70% pada Pemilu 1971.
Pada Januari 1973 pemerintah Orde Baru melakukan restrukturisasi sistem kepartaian. Kecuali terhadap Golkar, pemerintah melakukan tekanan terhadap sembilan partai politik yang ada. Dalam plot politik ini, empat partai Islam digabung menjadi satu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lima lainnya, yang terdiri dari nasionalis dan partai-partai Kristen digabung menjadi satu partai, yakni Partai Dekomrasi Indonesia (PDI). Fusi yang artificial ini segera melahirkan konflik internal, terutama di tubuh PPP, yang akhirnya mempengaruhi penampilan politiknya di masa-masa berikutnya.
Tahap Kedua (1976–1986)
Agenda politik rezim Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Proyek ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Ada beberapa orang di kalangan elit pemerintah yang kecewa dengan kualitas dan kemampuan para pemimpin Islam tradisional. Lepas dari masalah phobia Islam tertentu di antara kebanyakan anggota kelompok yang berkuasa, yang secara kebetulan terdiri dari para intelektual sekuler (elit militer, sosialis, dan Kristen), pandangan demikian mengandung logika politiknya sendiri, yakni bahwa dengan mendepolitisasi Islam, mereka akan mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka.
Dengan mempertimbangan asumsi tersebut, orang dapat melihat dimensi politik tertentu dari idiologi modernisasi atau pembangunan yang dijalankan oleh rezim. Penerapan idiologi ini merupakan keputusan strategis yang sekurang-kurangnya mempunyai dua implikasi politik.
Pertama, rezim Orde Baru akan mempunyai suatu basis idiologis yang kuat yang menyentuh kebutuhan pokok rakyat, sehingga rakyat akan memberikan dukungan dan partisipasi dalam politik, atau seperti yang ditulis Alfian bahwa pembangunan menjadi salah satu simbol legitimasi politik.
Kedua, dukungan politik dan partisipasi rakyat pada gilirannya akan mempertahankan kontinuitas proses pembangunan dan kekuasaan rezim. Interaksi dinamis antara partisipasi politik dan pelembagaan politik kemudian diharapkan terjadi melalui rekayasa politik, termasuk depolitisasi Islam bisa diimplementasikan.
Setelah pemerintah Orde Baru berhasil memaksakan partai-partai Islam berfusi menjadi PPP, terlihat dari dokumen partai itu masih berjuang bagi kepentingan umat Islam dengan tanda gambar Ka’bah. Pada tahun 1977 pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud dan Sekjen Departemen Agama, Bahrun Rangkuti, sangat keberatan terhadap penggunaan tanda gambar Ka’bah dalam pemilu tahun 1977. Tampilnya PPP sebagai partai Islam dianggap pemerintah sebagai ancaman. PPP dituduh mendapat bantuan dari Libya dan dihubung-hubungkan dengan komando jihad. Akhirnya, diciptakan isu SARA dengan membuat tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984. Klimaksnya, rezim Orde Baru pada tahun 1985 memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh parpol dan ormas. Inilah pohon buruk bernama Orde Baru dengan konsep Dwifungsi ABRI-nya.
Referensi:
- Di Bawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto, Hartono Ahmad Jaiz
- Dosa-Dosa Politik, K.H. Firdaus
- Islam and Regine Imam Nasa’i Indonesia, Donald K. Emeson
- Islam & Politik Era Orde Baru, M. Din Syamsuddin
- Pergolakan Reformasi dan Strategi HMI, Dr. Masykur Hakim
- Perubahan Perilaku Politik dan Politisasi Umat Islam, Abdul Munir Mulkan
- Soeharto and His General, David Jenkins