Larangan Mencukupkan Diri Dengan Al-Qur

Diriwayatkan dari al-Miqdam bin Ma'di Karib al-Kindi r.a. berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya [1] bersamanya. Ketahuilah, hampir tiba saat munculnya seorang lelaki dalam keadaan kenyang, bersandar di atas sofanya,[2] lalu berkata, ‘Hendaklah kalian mengikuti Al-Qur’an ini. Halalkanlah perkara halal yang kalian dapati di dalamnya dan haramkanlah perkara haram yang kalian dapati di dalamnya. Ketahuilah, sesungguhnya keledai piaraan tidak halal bagi kalian. Demikian pula setiap binatang buas yang memiliki taring. Tidak halal bagi kalian barang (temuan) milik kafir mu'ahid yang tercecer, kecuali si pemilik tidak membutuhkannya lagi. Barangsiapa singgah di tempat suatu kaum, hendaklah mereka menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya, maka ia boleh membalasnya sama seperti perbuatan mereka’," (Shahih, HR Abu Dawud [4604], Ahmad [IV/130-131], Ibnu 'Abdil Barr dalam at-Tamhiid [1/149-150], al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqiih walMutafaqqih [1/89] dan al-Kifaayah [halaman 8], Ibnu Nashr al-Marwazi dalam as-Sunnah [halaman 116], dan al-Ajurri dalam asy-Syarii'ah [halaman 51], al-Baihaqi dalam Dalaailun Nubuwwah [VL/549]).

Kandungan Bab: 

  1. Ini merupakan salah satu tanda Nubuwwah Rasulullah saw. Apa yang beliau katakan itu benar-benar telah terjadi. Kita telah menyaksikan sendiri kebenarannya.

    Al-Baihaqi rhm. berkata dalam kitab Dalaailun Nubuwwah [1/25], "Ini merupakan kabar dari Rasulullah saw. tentang munculnya kaum ahli bid'ah yang menolak hadits beliau. Lalu kebenarannya dapat ditemui sepeninggal beliau."

    Kemudian, beliau melanjutkan [VI/549], "Bab, sabda Rasulullah saw. bahwa 'akan muncul seorang lelaki dalam keadaan kenyang di atas sofanya berusaha menolak Sunnah beliau dan merasa cukup dengan perkara halal dan haram yang disebutkan dalam Al-Qur’an tanpa mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Apa yang beliau sabdakan itu benar-benar terjadi. Dengan alasan mencukupkan diri dengan Al-Qur’an, bermunculanlah orang-orang yang berbuat bid'ah dan muncullah kesesatan-kesesatan."

    Al-Mubarakfuri berkata dalam kitab Tuhfatul Ahwaadzi [VII/425], "Hadits ini merupakan salah satu tanda kebenaran Nubuwwah Rasulullah saw, sungguh apa yang beliau kabarkan benar-benar terjadi. Sekarang ini, muncul seorang lelaki di Punjab, Pakistan yang menamakan dirinya ahli Al-Qur’an. Pengakuannya itu sungguh jauh berbeda, sebenarnya ia adalah ahli ilhad. Sebelumnya dia adalah seorang yang shalih, namun kemudian syaitan menyesatkannya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus. Lalu ia melontarkan perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh kaum Muslimin terdahulu. la menolak seluruh hadits Rasulullah saw. Katanya, seluruh hadits tersebut adalah dusta dan kebohongan terhadap Allah! Menurutnya, yang wajib diamalkan adalah apa yang tercantum dalam Al-Qur’an, bukan yang tercantum dalam hadits, meskipun hadits tersebut shahih mutawatir. Tidak boleh mengamalkan kecuali apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an, barangsiapa tidak melakukannya, maka akan terkena ancaman, 'Barangsiapa yang tidak memutuskan furusan) menurut apa yang diturun-kun Allahy maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’, (Al-Maa’idah: 44).

    Dan masih banyak lagi perkataan-perkataan kufurnya. Lalu orang-orang jahil mengikuti perkataannya tersebut dan menjadikannya imam mereka. Para ulama telah mengeluarkan fatwa atas kekafiran lelaki ini dan mengeluarkannya dari Islam. Dan memang, kenyataannya seperti yang mereka katakan itu.”

    Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Syaikh Abul Hasan 'Ubaidullah bin Muhammad ar-Rahmani dalam kitab Mir'aatulMafaatih [1/258], ia berkata, "Hadits ini merupakan salah satu tanda Nubuwwah Rasulullah saw. Apa yang beliau katakan itu benar-benar terjadi sebagaimana yang telah disaksikan oleh penduduk India dan sekitarnya, terutama penduduk di wilayah Punjab Pakistan."

    Al-'Azhim al-Abadi berkata dalam kitab 'Aunul Ma'buud [XII/357], "Mukjizat Rasulullah saw ini telah tampak kebenarannya dan apa yang beliau kabarkan benar-benar telah terjadi. Telah muncul seorang lelaki di wilayah Punjab India.," kemudian ia menyebutkan seperti yang dikatakan oleh al-Mubarakfuri.

    Pengaruh mukjizat Nabawi ini terlihat jelas pada dua perkara penting:

    • Mukjizat ini menegaskan keabsahan eksistensi As-Sunnah Ash-Shahihah dengan sangat gamblang tanpa dapat dihapus oleh syubhat apa pun yang dihembuskan oleh musuh-musuh as-Sunnah. 
    • Mukjizat ini menegaskan bahwa As-Sunnah Ash-Shahihah merupakan wahyu yang diturunkan Allah SWT. Kebenaran mukjizat ini terbukti setelah (lewat/berakhirnya) zaman Nubuwwah. Nyatalah kebenaran perkara ghaib yang beliau katakan. Rasulullah SAW tidaklah mengetahui perkara ghaib kecuali apa yang Allah perlihatkan kepada beliau.
    • Oleh sebab itu, seorang Muslim harus memegang teguh Sunnah Nabi ini. la harus membelanya dengan seluruh harta, jiwa dan raganya.

     

  2. Hadits tersebut menjelaskan kedudukan As-Sunnah dalam Islam, menjelaskan bahwa tidak cukup hanya berpegang dengan Al-Qur’an saja tanpa As-Sunnah. Juga menjelaskan bahwa syari'at Islam bukanlah hanya Al-Qur’an saja, namun Al-Qur’an dan As-Sunnah. 
  3. Hadits tersebut juga menetapkan bahwa as-Sunnah kedudukannya sama dengan al-Qur’an dalam perkara berikut:
    • Sebagai pedoman dan standar. 
    • Kewajiban mentaati isinya. 
    • Keharusan menjalankan kewajiban yang ditetapkan di dalamnya. 
    • Sebagai wahyu dari sisi Allah SWT.

    Ibnu Hazm berkata dalam kitab al-Ihkaam fi Ushuulil Ahkaam [11/22], "Benarlah Rasulullah, As-Sunnah sama seperti Al-Qur’an. Tidak ada perbedaan antara keduanya, yakni wajib ditaati isinya. Dan Mahabenar Allah yang telah mengatakan, "Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah," (An-Nisaa': 80).

    As-Sunnah sama seperti Al-Qur’an, yakni keduanya merupakan wahyu dari Allah. Allah SWT berfirman, "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wabyu yang diwahyukan (kepadanya)," (An-Najm: 3-4).

    Jadi, As-Sunnah merupakan:

    • Tafsir bagi Al-Qur’an. 
    • Membatasi perkara-perkara yang mutlak dalam Al-Qur’an. 
    • Mengkhususkan perkara-perkara yang umum dalam Al-Qur’an. 
    • Merinci perkara-perkara yang global dalam Al-Qur’an. 
    • Menjelaskan perkara-perkara yang mubham (samar) dalam Al-Qur’an. 
    • Menasakh (menghapus) beberapa hukum dalam Al-Qur’an. 
    • Menerangkan perkara-perkara yang musykil dalam Al-Qur’an. 
  4. Wajib hnkumnya mentaati Rasulullah saw. Sebab, hadits beliau secara tersendiri merupakan hujjah. Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah [1/21], "Hadits tersebut merupakan dalil bahwa hadits tidak perlu dikonfirmasikan lagi dengan Al-Qur’an. Sebab hadits itu sendiri merupakan hujjah." 
  5. Sunnah Nabawiyyah datang dengan membawa hukum-hukum syar'i sebagai tambahan dari hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an. 
  6. As-Sunnah ash-Shahihah mencakup penetapan hukum Islam yang lima, yakni; wajib, haram, mustahab, makruh dan mubah.
  7. Khabar ahad merupakan hujjah dengan sendirinya dalam penetapan hukum syari'at ataupun dalam penetapan kaedah.

Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam kitab Mukbtashar ash-Shawaa'iqul Mursalah [11/402], "Hadits Abu Rafi' yang shahih dari Rasulullah saw. yang berbunyi, ‘Jangan sampai aku mendapati seorang dari kamu duduk bersandar di atas sofanya, sampai kepadanya sebuah perkara dariku.’ lalu ia berkata, ‘Aku tidak tahu apa rnaksudnya ini?’ Di hadapan kami dan di hadapan kalian terdapat Al-Qur’an!' Ketahuilah, sesungguhnya aku telah diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya."

Bentuk pengambilan dalil dari hadits di atas; Bahwasanya larangan tersebut berlaku umum meliputi semua orang yang sampai kepadanya hadits shahih dari Rasulullah saw, lalu menyelisihinya atau mengatakan, "Aku hanya menerima Al-Qur’an saja!" Sesunggubnya, menerima hadits dan Sunnah beliau merupakan sebuah keharusan dan kewajiban. Hadits ini merupakan berita dari Rasulullah saw, bahwa As-Sunnah merupakan wahyu yang Allah turunkan kepada beliau. Seandainya As-Sunnah tidak memberi faidah ilmu, tentu orang-orang yang sampai kepadanya As-Sunnah ini akan mengatakan, "la hanyalah khabar ahad, tidak memberi faidah ilmu. Aku tidak wajib menerima berita yang tidak kuketahui keshahihannya. Allah tidak membebankan diriku untuk meyakini sesuatu yang beluin dapat kuketahui kebenarannya."

Bahkan, ucapan seperti itulah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah saw. Sesungguhnya orang yang mengatakan, "Hadits Nabi tidak memberi faidah ilmu (belum dapat diyakini keotentikannya dan keabsahannya)," pada hakikatnya sama seperti orang yang mengatakan, "Aku tidak tahu apa maksudnya hadits-hadits ini?" Pendahulu mereka sebelumnya telah mengatakan, "Di hadapan kita ada Al-Qur’an" dan sekarang mereka mengatakan, "Di hadapan kita ada argumentasi-argumentasi akal!" Dan benar, mereka telah menyatakan demikian. Mereka mengatakan, "Kita mendahulukan kaidah akal daripada hadits-hadits ini, baik yang mutawatir maupun ahad. Kita mengedepankan analogi akal daripadanya."

……………………………..

[1] Yaitu as-Sunnah, kedudukannya sama seperti Al-Qur’an, sebagai pedoman dasar, wajib ditaati dan dilaksanakan kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalamnya.

[2] Yakni di atas dipannya yang dialas dengan perhiasan dan pakaian-pakaian. Ini merupakan sifat orang-orang kaya dan berharta yang tinggal dalam rumah mereka dan tidak menuntut ilmu, sebagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang takabbur dan sombong.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/249-254.