Larangan Keras Meninggalkan Sunnah, Melakukan Bid

Allah SWT berfirman, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa,” (Al-An’aam: 153).

Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami ini yang bukan terasmasuk darinya, maka ia tertolak’,” (HR Bukhari [1697] dan Muslim [1718]).

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah r.a., “Jika Rasulullah saw. sedang berkhutbah, kedua mata beliau memerah, suara beliau meninggi, dan memuncak kemarahan baliau, hingga seakan-akan baliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan perang, kemudian beliau bersabda, ‘Pasukan musuh akan menyerang kalian setiap saat’!”

Beliau bersabda, “Antara diutusnya aku dan hari Kiamat seperti dua jari ini (beliau mengisyaratkan dua jari telunjuk dan tengah).”

Selanjutnya Rasulullah saw. bersabda, “Amma ba’du. Sesengguhnya, sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara baru yang diada-adakan (dalam agama) dan seluruh bid’ah adalah sesat,” (HR Muslim [867]).

Diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah r.a. berkata, “Suatu hari, Rasulullah saw. memberi nasihat yang menggetarkan hati dan mambuat air mata kami berlinang. Maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! sepertinya ini adalah nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat?” Beliau bersabda, “Aku wasiatkan agar kalian tetap bertakwa kwpada Allah, selalu patuh dan taat meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyi (Ethiopia). Barang siapa yang hidup sepeninggalku, ia pasti melihat perselisihan yang amat banyak. Maka dari itu, berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaa-ur Raasyidiin (para Sahabat) yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah dengan gigi geraham kalian (maksudnya, peganglah Sunnah itu erat-erat). Dan hati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan. Karena seluruh perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat,” (Shahih, HR Abu Dawud [4607], at-Tirmidzi [2676], Ibnu Majah [43 dan 44]).

Saya katakan, “Dia adalah seorang tabi’i, sejumlah perawi tsiqah telah meriwayatkan darinya. Telah dinyatakan tsiqah oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Muwaafiqaatul Khubrul Khabar [I/137]. Adz-Dzahabi berkata dalam kitab al-Kasyif [II/158].

Diriwayatkan dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Ketahuilah, Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah menjadi tujuh puluh dua millah. Dan sesungguhnya, ummat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga. Tujuh puluh dua masuk Neraka dan satu masuk Surga. Dan bahwasanya akan muncul dari ummat ini beberapa kaum yang menjalar hawa nafsu di dalam tubuh mereka seperti menjalarnya virus rabies di dalam tubuh penderitanya. Tidak tersisa urat dan persendian kecuali telah dijalarinya," (Hasan, HR Abu Dawud [4597], Ahmad [IV/102], ad-Darimi [11/429], dan Hakim [1/128]).

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad r.a. berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Aku akan mendahului kalian tiba di Haudb (telaga al-Kautsar). Siapa saja yang tiba di sana, pasti minum dan siapa saja yang minum darinya, pasti tidak akan dahaga selama-lamanya. Akan datang kepadaku sejumlah kaum, aku mengenali mereka dan mereka mengenaliku. Kemudian aku dipisahkan dari mereka’,"

Abu Hazim berkata, "An-Nu'man bin Abi 'Ayyasy mendengarnya ketika aku sedang menyampaikan hadits ini kepada mereka. Beliau berkata, 'Begitukah engkau mendengarnya dari Sahl bin Sa'ad?' 'Benar!' kataku. la lalu berkata, 'Aku bersaksi bahwa aku mendengar Abu Sa'id al-Khudri r.a. menambahkan, ‘Sesungguhnya mereka dari ummatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu!' Maka aku katakan, 'Semoga Allah menjauhkannya dari rahmat-Nya bagi yang menukar agamanya sepeninggalku’!" (HR Bukhari [6582-6584] dan Muslim [2290 dan 2291]).

Kandungan Bab:

  1. Setiap Muslim wajib berpegang kepada hadits yang telah shahih dari Rasulullah saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau. Sebab, beliau adalah teladan yang shalih dan baik bagi siapa saja yang mengharapkan pahala dari Allah dan hari akhirat. Oleh sebab itu, semua jalan menuju Allah adalah buntu, kecuali yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. melalui perintah dari Allah SWT. 
  2. Haram hukumnya melakukan bid'ah dan mengikuti hawa nafsu. Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perkataan Salafush Shalih telah sepakat mengecamnya, memperingatkan ummat dari bahayanya dan melarang mendekatinya. Sebab, bid'ah merupakan jalan menuju syirik. Bid'ah lebih disukai iblis daripada maksiat, karena maksiat dapat diharapkan bertaubat darinya. Sementara bid'ah dan hawa nafsu, terus mengalir dalam tubuh pelakunya seperti virus rabies yang menjalar dalam tubuh penderitanya, tidak tersisa satu pun urat dan persendian melainkan telah dijalarinya. 
  3. Bid'ah yang diharamkan di sini adalah tata cara yang diada-adakan dalam agama yang bentuknya menyerupai syari'at. Maksud dari pelaksanaannya adalah agar lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dan tidak ada dalil syar'i yang shahih yang mendukungnya, baik yang mendukung asal-muasal ataupun bentuk dan sifatnya. 
  4. Sebagian orang mengira, bid'ah yang dilarang adalah yang bertentangan dengan kaidah-kaidah. agama, dan menyelisihi pokok-pokok dasar agama dan kaidah umumnya. Adapun perkara baru dalam agama yang ada dasarnya atau masuk dalam kaidah umum, bukanlah termasuk bid'ah.

Namun, sangkaan di atas terbantahkan dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Yala dalam Musnadnya [4594] dan Abu 'Awanah dalam Mustakbrijnya [IV/18]. Beliau bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami yang tidak ada di dalamnya, maka ia tertolak."

Dengan demikian, riwayat yang shahih dari 'Aisyah r.a. memiliki tiga lafazh:

  1. (Laisa minhu) bukan berasal darinya. 
  2. (Laisa ‘alaihi) tidak ada dalil atasnya. 
  3. (Laisa fiihi) tidak ada di dalamnya.

Lafazh pertama kandungannya lebih umum untuk membantah semua perkara bid'ah yang diada-adakan. Meliputi bid'ah haqiqiyyah dan bid'ah idhafiyyah. Lafazh kedua lebih terfokus pada bid'ah idhafiyyah. Dan lafazh yang ketiga lebih jelas lagi keterangan dan perinciannya. Jadi, seluruh perkara yang tidak ada asal, karakter dan perinciannya dalam agama, maka ia tertolak.

Terlebih lagi, pemahaman Salaf dalam masalah ini menunjukkan terlarangnya seluruh perkara bid'ah yang diada-adakan dalam agama, baik bid'ah haqiqiyyah, [1] bid'ah idhafiyyah [2] ataupun bid'ah tarkiyyah, [3] wallaahu a'lam.

………………………………………..

[1] Yakni, bid'ah yang sama sekali tidak ada asal usulnya dan dasarnya dalam agama.

[2] Yakni, bid'ah dalam tata cara dan kaifiyat ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama. Pada asalnya terdapat dalilnya dalam agama, namun kaifiyat pelaksanaannya tidak ada contohnya dalam agama.

[3] Yakni, bid'ah dalam bentuk melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. padahal terdapat alasan kuat untuk beliau lakukan atau sebaliknya, meninggalkan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah saw dengan keyakinan meninggalkannya lebih utama dan lebih bagus.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/249-254.

Baca Juga