يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُواْ نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ , وَاتَّقُواْ يَوْماً لاَّ تَجْزِي نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ شَيْئاً وَلاَ يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلاَ تَنفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلاَ هُمْ يُنصَرُونَ
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugerahkan kepada-mu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat. (QS. 2:122) Dan takut-lah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan orang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfa’at suatu syafa’at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong. (QS. 2:123)
Ayat yang serupa dengan ayat ini telah dikemukakan penafsirannya pada bagian awal dari surat al-Baqarah. Diulangnya ayat ini di sini dimaksudkan untuk memberikan penegasan sekaligus perintah untuk mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, seorang nabi yang ummi (tidak bisa baca-tulis).
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَاماً قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (pe-rintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Ses-ungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim”. (QS. 2:124)
Allah Ta’ala berfirman dalam mengingatkan akan kemuliaan Nabi Ibrahim, kekasih-Nya, Î وَإِذ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبَّهُ بِكَلِمَاتٍ Ï “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan).” Artinya, wahai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik dan Ahlul Kitab yang mengaku sebagai penganut agama Ibrahim, padahal mereka tidak mengikuti agama itu. Bahwa sesungguhnya yang berada pada agama Ibrahim dan tegak di atasnya adalah engkau dan orang-orang mukmin yang bersamamu, maka ceritakanlah kepada mereka ujian yang ditimpakan Allah Ta’ala kepada Ibrahim berupa berbagai perintah dan larangan.
Î فَأَتَمَّهُنَّ Ï “Kemudian Ibrahim menunaikannya.” Maksudnya, maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun menjalankan semuanya itu, sebagaimana firman Allah Ta’ala, Î وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى Ï “Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An-Najm: 37) Maksudnya, dia صلوات الله عليه melaksanakan setiap apa yang dibebankan kepadanya.
Dan firman-Nya, Î بِكَلِمَاتٍ Ï “Dengan beberapa kalimat,” yaitu dengan seluruh syariat (ketetapan), perintah, dan larangan-Nya. Karena kalimat, bisa dimaksudkan kalimat qadariyah (kalimat Allah yang berupa ketetapan takdir-Nya), seperti halnya firman Allah Ta’ala mengenai Maryam عليـها السـلام:
Î وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ Ï “Dan ia (Maryam) membenarkan kalimat-kalimat Rabb-nya dan kitab-kitab-Nya, dan adalah ia termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim: 12)
Yang dimaksud dengan kalimat pada ayat ini adalah kalimat syar’iyyah, sebagaimana firman-Nya: Î وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً Ï “Sempurna sudah kalimat Rabb-mu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil.” (QS. Al-An’am: 115)
Maksudnya adalah kalimat-kalimat (ketentuan-ketentuan) Allah Ta’ala yang bersifat syari’at, dan itu bisa berupa berita yang benar maupun perintah untuk berbuat adil, jika itu berupa perintah atau larangan. Sebagaimana pada ayat ini, Î وَإِذ ابْتَلَى إِبْرَاهِيـمَ رَبَّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ Ï “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan). Kemudian ia menunaikannya.”
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, Î إِنِّـي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا Ï “Sesungguhnya Aku akan menjadikamu imam bagi seluruh umat manusia.” Yaitu sebagai balasan atas apa yang telah dikerjakannya. Karena ia telah menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, maka Allah menjadikannya sebagai panutan dan imam bagi manusia yang selalu diikuti jejaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kalimat-kalimat yang diujikan Allah Ta’ala kepada Ibrahim ‘alaihissalam. Mengenai hal itu telah diriwayatkan beberapa riwayat dari Ibnu Abbas.
Abdur Razaq menceritakan dari Mu’mmar, dari Qatadah, Ibnu Abbas mengatakan, artinya: “Allah mengujinya dengan manasik haji.” Dan mengenai firman Allah Ta’ala, Î وَإِذ ابْتَلَـى إِبْرَاهِيمَ رَبَّهُ بِكَلِمَاتٍ Ï “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan).” Abdur Razaq juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Allah mengujinya dengan Thaharah, yaitu lima hal di bagian kepala, dan lima hal lagi di bagian badan. Di bagian kepala itu adalah, pemotongan kumis, madhmadhah (berkumur) istinsyaaq (menghirup air ke dalam hidung), bersiwak, dan menyela-nyela rambut (dengan air). Dan lima hal di bagian badan adalah memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak, serta mencuci bekas buang air besar dan bekas buang air kecil dengan air
Berkenaan dengan hal tersebut, aku (Ibnu Katsir) katakan, yang hampir sama dengan pendapat ini adalah apa yang terdapat dalam sebuah hadits dalam Kitab Shahih Muslim dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia bercerita, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ، قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ.
“Sepuluh hal yang termasuk fitrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, istinsyaqul maa (menghirup air ke dalam hidung), memotong kuku, menyela-nyela (menyuci jari-jemari), mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan dan intiqhasul maa (menghemat dalam penggunaan air).” Mush’ab bin Syaibah mengatakan: dan aku lupa yang kesepuluh, mungkin hal itu adalah madhmadh (berkumur).” (HR. Muslim)
Berkenaan dengan hadits di atas, Waqi’ mengatakan: “اِنْتِقَاصُ الْمَاءِ istinja‘”.
Sedangkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اْلفِطْرَةُ خَمْسٌ: اْلخِتَانُ، وَاْلإِسْتِحْدَادُ، وَقَصَّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ.
“Fitrah itu ada lima; berkhitan, mencukur rambut kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” Lafadz hadits ini dari Imam Muslim.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah, ia menceritakan, Hasan al-Bashri pernah menuturkan: “Demi Allah, Allah telah menguji Ibrahim dengan suatu masalah, lalu ia bersabar atasnya. Diuji dengan bintang, matahari, dan bulan dan ia mampu melampauinya dengan baik. Ia tahu bahwa Rabb-nya tidak akan pernah lenyap, kemudian ia mengarahkan wajahnya kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan dia bukan dari golongan orang-orang musyrik. Setelah itu, Allah mengujinya dengan hijrah, di mana ia pergi dari negeri dan kaumnya dengan niat hijrah karena Allah Ta’ala, hingga ia sampai ke Syam. Kemudian dia diuji dengan api (yaitu dibakar) sebelum hijrah, dia pun menghadapinya dengan penuh kesabaran. Selain itu, Allah memerintahkan menyembelih putranya (Ismail), dan berkhitan, lalu ia pun bersabar atasnya.”
Al-Qurthubi mengemukakan, di dalam kitab al-Muwattha’ dan juga kitab-kitab lainnya, dari Yahya bin Sa’id, di mana ia pernah mendengar Sa’id bin Musayyab berkata: “Ibrahim ‘alaihissalam adalah orang yang pertama kali berkhitan, menjamu tamu, memotong kuku, mencukur kumis, dan yang pertama kali beruban rambutnya. Dan ketika melihat uban di rambutnya, maka ia pun bertanya: ‘Apa ini?’ Ia pun berkata: ‘Ini adalah kewibawaan.’ ‘Ya Rabb, tambahkanlah ubanku,’ ujar Ibrahim.”
Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, “Kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kalimat-kalimat itu adalah seluruh apa yang disebutkan atau boleh juga sebagian darinya. Tetapi tidak boleh memastikan bagian tertentu darinya kecuali berdasarkan hadits atau ijma‘. Dalam hal ini, tidak ada khabar shahih yang dinukil baik oleh satu ahli hadits ataupun oleh beberapa ahli hadits.”
Firman Allah Ta’ala, Î قَالَ وَمِن ذُرِّيَتِي Ï “Ibrahim berkata, (dan aku mohon juga) dari keturunanku,” Allah Ta’ala pun menjawab, Î لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ Ï “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim.” Ketika Allah Ta’ala, menjadikannya sebagai imam, Ibrahim memohon kepada Allah agar para imam sepeninggalnya berasal dari keturunannya. Maka permohonannya itu dikabulkan dan Allah Ta’ala memberitahukan bahwa di antara keturunannya itu akan ada orang-orang yang zhalim, dan mereka ini tidak akan termasuk dalam janji-Nya dan tidak akan menjadi imam (pemimpin) sepeninggalnya yang patut dijadikan teladan. Dalil yang menjadi dasar dikabulkannya permohonan Ibrahim itu adalah firman Allah Ta’ala dalam surat al-Ankabut: Î وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النَّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ Ï “Dan Kami berikan kenabian dan al-Kitab kepada keturanannya.” (QS. Al-Ankabut: 27)
Dengan demikian, setiap nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala sepeninggalnya adalah berasal dari keturunan Ibrahim, dan setiap kitab yang diturunkan-Nya adalah turun pada keturunannya pula.
Sedangkan mengenai firman-Nya yang berbunyi, Î قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ Ï “Allah berfirman, ‘Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zhalim,’” para ulama masih berbeda pendapat. Khashif meriwayatkan dari Mujahid, mengenai firman-Nya, Î قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِيـنَ Ï “Allah berfirman, ‘Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zhalim,’” ia mengemukakan, Allah Ta’ala menyampaikan, bahwasannya akan ada di antara keturunanmu itu orang-orang yang zhalim.
Masih berkenaan dengan ayat ini, Î قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ Ï “Allah berfirman, Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zhalim,” Ibnu Abi Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, artinya, Allah berfirman: “Aku tidak memiliki pemimpin yang zhalim.” Dan dalam sebuah riwayat disebutkan, “Aku tidak akan menjadikan pemimpin yang zhalim untuk diikuti.”
Juga berhubungan dengan firman-Nya, Î لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ Ï “Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zhalim,” Sa’id bin Jubair mengatakan, “Maksudnya adalah bahwa orang musyrik itu tidak akan menjadi pemimpin.”
Sedangkan Rabi’ bin Anas mengatakan: “Janji Allah yang diikatkan kepada hamba-hamba-Nya adalah agama-Nya. Artinya, agama-Nya tidak akan mengenai orang-orang yang zhalim. Tidakkah anda mendengar Dia telah berfirman, Î وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِن ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ مُبِينٌ Ï “Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishak. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada pula yang zhalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” Artinya, Hai Ibrahim, tidak semua keturunanmu itu berada dalam kebenaran.”
Demikian juga yang diriwayatkan dari Abu al-‘Aliyah, Atha’, dan Muqatil bin Hayyan. Masih mengenai firman-Nya, Î لاَ يَنَـالُ عَهْدِي الظَّالِمِيـنَ Ï “Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zhalim,” as-Suddi mengatakan, “عَهْدِى” (janji-Ku berarti “نُبُوَّتِـى” (kenabian dari-Ku).
Ibnu Jarir memilih berpendapat bahwa ayat ini meskipun secara lahiriyah merupakan berita bahwa janji Allah yang akan mengangkat pemimpin, tidak akan mencakup orang yang zhalim, namun ayat itu juga mengandung pemberi-tahuan dari Allah Ta’ala bagi Ibrahim ‘alaihissalam bahwasanya akan ada di antara keturunannya itu orang yang zhalim kepada dirinya sendiri, sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya dari Mujahid dan lain-lainnya. Wallahu a’lam.
Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki mengatakan, “Orang yang zhalim tidak patut menjadi khalifah, hakim, mufti (pemberi fatwa), saksi, dan tidak juga perawi hadits.”
Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)