Larangan Mengklaim Diri Paling Berilmu dan Paling Tahu Tentang Al-Qur

Firman Allah SWT, "Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali 'Imran: 188). 

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab r.a. dari Rasulullah saw. bersabda, "Suatu kali Nabi Musa as berkhutbah di hadapan Bani Israil, lalu ia ditanya, 'Siapakah orang yang paling berilmu.' Lalu Allah menegurnya, karena tidak mengembalikan perkara ilmu tersebut kepada-Nya. Lalu Allah mewahyukan kepadanya bahwa salau seorang hamba-Nya yang bertempat dipertemuan antara dua lautan. Hamba itu lebih berilmu daripadamu. Nabi Musa As berkata, 'Wahai Rabbi, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?' Lalu diwahyukan kepadanya, 'Bawalah seekor ikan dalam sebuah keranjang, di mana engkau kehilangan ikan tersebut, maka di situlah ia berada…" (HR Bukhari [122] dan Muslim [2380]).

Diriwayatkan dari 'Umar bin Khaththab r.a. berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Dinul Islam ini akan jaya sehingga para pedagang hilir mudik di lautan dan kuda-kuda dipacu demi menegakkan agama Allah. Kemudian akan muncul satu generasi yang membaca Al-Qur’an, lalu berkata, 'Kamilah yang paling mahir Al-Qur’an! Kamilah yang paling berilmu dan kamilah yang paling paham!' jawab para Sahabat. Rasulullah saw. berkata, 'Mereka berasal dari ummat ini dan mereka adalah bahan bakar api Neraka’," (Hasan lighairihi, HR Thabrani dalam al-Ausath [6238] dan al-Bazzar [173] lihat Kasyful Astaar). Kandungan Bab:

  1. Haram hukumnya mengaku paling berilmu dan paling paham tentang Al-Qur’an, karena sesungguhnya orang yang mengakui sesuatu yang tidak ia miliki ibarat orang yang mengenakan dua pakaian palsu. 
  2. Pengakuan akan terbukti dengan keterangan-keterangan yang nyata. Jika telah terbongkar kedoknya, hendaklah orang yang mengaku-ngaku itu tidak mencela kecuali dirinya sendiri. Sungguh elok perkataan berikut ini, "Barangsiapa mengaku-ngaku apa yang tidak ia miliki. Bukti-bukti akan membongkar kedustaan pengakuannya itu. Berlaku dalam masalah ilmu seperti kuda yang telah bertanding. Ditinggalkan oleh kuda-kuda yang lain pada hari perlombaan." 
  3. Salah satu bentuk klaim itu adalah menyudutkan ulama dalam majelis-nya, maka kamu lihat para ahli fiqih itu mengerumuni ulama. Apabila ulama tersebut ditanya tentang sebuah masalah, maka salah seorang dari mereka mendahuluinya memberi jawaban. Jika jawaban ulama itu tidak memuaskan maka mereka pun mencibirnya.

Diriwayatkan dari Abu 'Ashim an-Nabil, ia berkata, "Saya mendengar bahwa di majelis Sufyan ats-Tsauri hadir seorang pemuda dari kalangan ahli ilmu. Pemuda itu menganggap dirinya lebih tinggi, berusaha menguasai pem-bicaraan dan takabbur dengan ilmu yang dimilikinya terhadap ahli ilmu yang lebih tua darinya. Maka Sufyan pun marah dan berkata, 'Tidaklah demikian perangai generasi Salaf. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengaku dirinya imam dan tidak pula berusaha menguasai majells, sehingga ia menuntut ilmu ini selama tiga puluh tahun. Adapun engkau bersikap angkuh terhadap orang yang lebih tua darimu. Menyingkirlah dariku dan janganlah coba-coba mendekati maj elisku’. "

Aku juga pernah mendengar Sufyan at-Tsauri berkata, "Jika engkau lihat seorang pemuda berbicara di hadapan masyaaikh -meskipun ia telah mencapai derajat ilmu yang tinggi-, maka jangan harapkan kebaikan darinya, sebab ia adalah orang yang tidak punya malu." (Lihat kitab al-Madkhal ilas Sunanil Kubra karangan al-Baihaqi [679]).

Kemudian engkau dapat lihat sekarang salah seorang dari mereka duduk sambil menongkrongkan kakinya, kadangkala tapak kakinya tepat di hadapan seorang ulama. Sekiranya salah seorang dari mereka ditanya tentang sebuah masalah, maka ia hanya bisa tertawa terkekeh-kekeh. Seolah-olah Abu Yazid ad-Dabuusi menyindir mereka lewat bait syairnya:

"Mengapa ia hanya bisa tertawa dan terbahak-bahak Bila aku ajukan kepadanya hujjah-hujjah yang nyata, sekiranya tertawa itu adalah bukti kedalaman fiqih seseorang. Maka betapa dalamnya fiqih beruang gurun sahara," (Lihat al-Fawaa-idul Bahiyyahfi Taraajimil Hanafiyah halaman [109]).

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/205 – 207.