Surah Al-Fatihah Bag. 6

Cover Tafsir

الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, (QS. 1:2)

Al-Qurra’ as-Sab’ah (tujuh ahli qira’ah) membacanya dengan memberi harakat dhammah pada huruf dal pada kalimat alhamdulillah, yang merupakan mubtada’ dan khabar.

Abu Ja’far bin Jarir mengatakan, alhamdulillah berarti syukur kepada AllahTa’ala semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang telah diciptakan-Nya, atas segala nikmat yang telah Dia anugerah-kan kepada hamba-hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya, dan tidak ada seorang pun selain Dia yang mengetahui jumlahnya. Berupa kemudahan berbagai sarana untuk menaati-Nya dan anugerah kekuatan fisik agar dapat menunaikan kewajiban-kewajiban-Nya. Selain itu, pemberian rizki kepada mereka di dunia, serta pelimpahan berbagai nikmat dalam kehidupan, yang sama sekali mereka tidak memiliki hak atas hal itu, juga sebagai peringatan dan seruan ke-pada mereka akan sebab-sebab yang dapat membawa kepada kelanggengan hidup di surga tempat segala kenikmatan abadi. Hanya bagi Allah segala puji, baik di awal maupun di akhir.

Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, alhamdulillah merupakan pujian yang disampaikan Allah untuk diri-Nya sendiri. Di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka memuji-Nya. Seolah-olah Dia mengatakan, “Ucapkanlah, alhamdulillah.

Lebih lanjut Ibnu Jarir menyebutkan, telah dikenal di kalangan para ulama mutaa’khkhirin, bahwa al-Hamdu adalah pujian melalui ucapan kepada yang berhak mendapatkan pujian disertai penyebutan segala sifat-sifat baik yang berkenaan dengan dirinya maupun berkenaan dengan pihak lain. Adapun asy-syukru tiada lain kecuali dilakukan terhadap sifat-sifat yang berkenaan dengan lainnya, yang disampaikan melalui hati, lisan, dan anggota badan. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair:

أَفَادَتُكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّى ثَلاَثَـةٌ * يَدِيْ وَلِسَانِىْ وَالضَّمِيْرُ الْمُحَجَّبَا

Nikmat paling berharga, yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam.

Yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini.

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai mana yang lebih umum, al-hamdu ataukah asy-syukru. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat. Dan setelah diteliti antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Al-hamdu lebih umum daripada asy-syukru, karena terjadi pada sifat-sifat yang ber-kenaan dengan diri sendiri dan dengan pihak lain, misalnya anda katakan, “Aku memujinya (al-hamdu) karena sifatnya yang kesatria dan karena kedermawanan-nya.” Tetapi juga lebih khusus, karena hanya bisa diungkapkan melalui ucapan. Sedangkan asy-syukru lebih umum daripada al-hamdu, karena ia dapat diungkap-kan melalui ucapan, perbuatan, dan juga niat. Tetapi lebih khusus, karena tidak bisa dikatakan bahwa aku berterima kasih kepadanya atas sifatnya yang kesatria, namun bisa dikatakan aku berterima kasih kepadanya atas kedermawananan dan kebaikannya kepadaku.

Demikian itulah yang disimpulkan oleh sebagian ulama muta’akhkhirin. Wallahu a’lam.

Diriwayatkan dari al-Aswad bin Sari’, (katanya):

قُلْتُ: يَارَسُولَ اللهِ أَلاَ أُنَشِّدُكَ مَحَامِد حَمِدْتُ بِهَا رَبِّـى تَبَرَكَ وَتَعَالَى؟ فَقَالَ: (أَمَّا إِنَّ رَبَّكَ يُحِبُّ الْحَمْدَ).

Aku berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Ya Rasulullah, maukah engkau aku puji dengan berbagai pujian seperti yang aku sampaikan untuk Rabb-ku, Allah Tabaraka wa Ta’ala.” Maka beliau bersabda: “Adapun, (sesungguhnya) Rabb-mu menyukai pujian (al-hamdu).” (HR. Imam Ahmad dan Nasa’i)

Diriwayatkan Abu Isa, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( أَفْضَلُ الذِّكْـرِ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ.)

“Sebaik-baik dzikir adalah kalimat Laa ilaaha illaa Allah, dan sebaik-baik doa adalah alhamdulillah.

Menurut at-Tirmidzi, hadits ini hasan gharib. Dan diriwayatkan Ibnu Majah dari Anas bin Malik t, katanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( مَا أَنْعَمَ اللهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فَقَالَ اَلْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي أُعْطِىَ أَفْضَلَ مِمَّا أُخِذَ.)

“Allah tidak menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia mengucapkan, alhamdulillah, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik dari pada yang diambil-Nya.

“ا” dan “ل” pada kata “الْحِـمْدُ” dimaksudkan untuk melengkapi bahwa segala macam jenis dan bentuk pujian itu, hanya untuk Allah semata.

“الرَّبُّ” adalah pemilik, penguasa dan pengendali. Menurut bahasa, kata Rabb ditujukan kepada tuan dan kepada yang berbuat untuk perbaikan. Semua-nya itu benar bagi Allah Ta’ala. Kata ar-Rabb tidak digunakan untuk selain dari Allah kecuali jika diberikan tambahan dengan kata lain setelahnya, misalnya “رَبُّ الدَّارِ” (pemilik rumah). Sedangkan kata ar-rabb (secara mutlak), maka hal itu hanya boleh digunakan untuk Allah Ta’ala.

Ada yang mengatakan, bahwa ar-rabb itu merupakan nama yang agung (al-Ismul A’zham). Sedangkan “الْعَلَمِيْنَ” adalah bentuk jama’ dari kata “عَالَمٌ” yang berarti segala sesuatu yang ada selain Allah Ta’ala. “عَـالَمٌ” merupakan jama’ yang tidak memiliki mufrad (bentuk tunggal) dari kata itu. “الْعَوَالِمُ” berarti berbmacam makhluk yang ada di langit, bumi, daratan, lautan. Dan setiap angkatan (pada suatu kurun/zaman) atau generasi disebut juga alam.

Bisyr bin Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq dari adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas, “Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Artinya, segala puji bagi Allah pemilik seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi serta apa yang ada di antara keduanya ini adalah kepunyaan-Nya, baik yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui.”

Az-Zajjaj mengatakan, “الْعَالَمُ” berarti semua yang diciptakan oleh Allah di dunia dan di akhirat.

Sedangkan al-Qurthubi mengatakan, apa yang dikatakan az-Zajjaj itulah yang benar, karena mencakup seluruh alam (dunia dan akhirat).

Menurut penulis (Ibnu Katsir) “الْعَالَمُ” berasal dari kata “الْـعَلاَمَةُ”, karena alam merupakan bukti yang menunjukkan adanya Pencipta serta keesaan-Nya. Sebagaimana Ibnu al-Mu’taz pernah mengatakan: Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin seorang bisa mendurhakai Rabb, atau mengingkari-Nya, padahal terdapat dalam segala sesuatu, ayat untuk-Nya yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)