Target di Balik ILC-TV One Memblowup Terorisme

Abdrahman

Oleh: Harits Abu Ulya

WAJAH mantan Kabakin AM Hendropriono begitu pucat dan badannya kurang nyaman duduk saat disorot kamera ketika pengamat Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya dan Penasihat Indonesia Police Watch (IPW) Johnson Panjaitan mengkritik kerja kepolisian yang sedikit-sedikit menuduh pelakunya “teroris” di acara Indonesia Lawyer Club (ILC), TV One, 17 September 2013 bertema “Kini, Polisi Yang Diteror.”

Bahkan ketika gilirannya berbicara sebagai pamungkas acara, Hendro mengusulkan kepada Editor in Chief TV One Karni Ilyas, yang juga pemandu acara ILC agar tidak lagi mengundang pengamat atau LSM yang menyudutkan polisi.

“Tolong nara sumber-nara sumber yang bisa membuat rakyat tersesat, jangan diundang lagi,” ujarnya.

Di sisi lain, dia mengaku bangga dan memuji-muji 3 nara sumber lain dalam acara itu. Pertama, Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Noor Huda Ismail. Huda pernah menempuh kuliah Jurusan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merangkap kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Ia pernah menjadi wartawan di koran The Washington Post biro Asia Tenggara kemudian melanjutkan studi S2 di Skotlandia.

Penulis buku “Temanku, Teroris?” ini sangat laku bahkan sampai ke luar negeri karena pernah nyantri di Pondok Pesantren al Mukmin Ngruki.

Kedua, Al Chaidar, mantan pentolan Darul Islam/NII, dan ketiga sumber lain adalah Abdul Rahman Ayyub, mantan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) namun kini bersebrangan dengan Ustad Abubakar Ba’asyir.

Kepada ketiga nara sumber ini, Hendro memuji. Bahkan, menyebutnya, apa yang disampaikan mereka adalah informasi A1 dalam intelijen.

“Apa yang disampaikan oleh Noor Huda Ismail, apa yang disampaikan oleh Al Chaidar, itu yang dalam istilah intelijen punya nilai A1. Ini fakta, sumbernya terpercaya, dan dia nyusup ke sana,” ujar Hendro.

Seperti diketahui, informasi A1 adalah informasi yang sudah dipastikan kebenarannya. Agak berbeda dengan C3, masih diragukan karena sumber juga tidak jelas.

“Menurut saya, orang-orang seperti inilah yang layak dijadikan nara sumber. Dan ketika saya memperhatikan, ini hari adalah hari terakhir saya menjadi nara sumber. Karena pengetahuan saya sudah kalah dengan anak-anak ini (Noor Huda Ismail, Al Chaidar), jadi kita mesti tahu diri,” tambah Hendro yang pernah dekat dengan pentolan NII Az Zaitun, Panji Gumilang.

Semua pemirsa ILC tahu bahwa topik utama yang diangkat adalah “Kini, Polisi Yang Diteror”. Dan ketika mengikuti dengan seksama pemirsa juga tahu akhirnya dialog mengerucut bahwa kelompok “teroris” dengan ideologinya menjadi sumber dan akar masalahnya. Sebagaimana kesimpulan Hendro sendiri di ujung acara.

Modus TV One ini sudah yang kesekian kalinya, melakukan penggiringan opini atas satu fakta tindak kejahatan lepas dari TKP. Di mana cenderung membuat kesimpulan gegabah dan dipaksakan.

Dari komposisi peserta ILC saja yang hadir, jelas terlihat sekali hampir 80 persen mereka yang sudah dalam frame pemikiran tendensius bahwa “teroris”lah biang kerok semua aksi-aksi teror pada polisi belakangan ini.

Ini saja sangat bisa dipahami kemana arah kesimpulan dialog dan kemana persepsi publik digiring. Jika publik bertanya-tanya kenapa bisa demikian, analisa saya bahwa dibalik itu semua ada faktor yang sangat mempengaruhi.

Pertama, TV One punya komitmen dengan BNPT untuk menjadi “public relation” dalam kepentingan kontra terorisme. Wajar kalau kemudian diberbagai kasus “terorisme” TV One menjadi salah satu TV terdepan melakukan liputan di tempat operasi Densus 88 dan Satgas BNPT. Dan itu seolah menjadi “kompensasi” yang didapatkan TV One, termasuk menjadi terdepan untuk mem blow up isu-isu terkait terorisme.

Kedua, Dalam kasus teror di dua bulan terakhir ini sikap Mabes Polri cukup proporsional, tidak mudah menarik kesimpulan bahwa ini adalah kasus terorisme. Mereka berangkat dari TKP dan membuka semua perspektif dan kemungkinan. Melakukan analisa berbagai kemungkinanya. Mabes lebih banyak memaksimalkan peran Resmob. Kita yang inten mencermati isu terorisme akan bisa melihat perubahan signifikan sikap Polri yang tidak murah obral tuduhan terorisme dalam dua bulan terakhir ini.

Saya melihat Densus 88 saat ini “terkunci” langkahnya. Apalagi Satgas BNPT yang dipimpin oleh Petrus Golose, seperti tidak punya panggung atas berbagai kasus teror yang terjadi.

Ketiga, Nampaknya ada pengurangan dana yang signifikan bagi Densus 88 dan khususnya untuk Satgas BNPT, dan ini memberi pengaruh mereka makin sulit untuk “bergerak” dan bermanufer sesukanya.

Maka wajar jika kemudian pihak BNPT dan kru perlu memainkan “mindset”, yaitu kepada media seperti TV One untuk membangun propaganda dan tekanan opini agar bisa melabeli aksi-aksi teror selama ini benar adanya adalah terorisme. Ini cukup dimengerti dengan pujian-pujian Hendro pula kepada Karni Ilyas dan TV One.

Boleh jadi, dengan langkah seperti itu bisa diharapkan tergelarnya “karpet merah” bagi Densus 88 dan Satgas BNPT untuk kembali eksis dan mendapat panggung kemudian berikutnya adalah kucuran dana yang lebih besar lagi.

Sesungguhnya, jika dicermati, di balik hiruk pikuk berita aksi penembakan polisi, di sana ada “pertarungan” yang tidak wajar dari pihak BNPT dan Densus 88 yang intinya mereka harus punya “panggung eksistensi”.

Akhirnya di luar upaya pengungkapan kasus yang dilakukan oleh Mabes, justru BNPT di luar sangat kontrproduktif bernafsu membangun opini dan propaganda dengan beragam statemen. Ini dilakukan para pejabat teras BNPT sampai para pengamat binaan mereka dan pengamat patner mereka bahkan para kombatan yang loyal yang ‘menjilat” semua kata mereka.

Wajar saja, karena kerjanya kontra terorisme akhirnya setiap kasus kejahatan dan teror diruang publik disimpulkan adalah aksi terorisme. Padahal dalam kasus teror, tidak menutup kemungkinan adanya langkah-langkah intelijen “ilegal” reproduksi “teror” yang digunakan sebagai pembenaran dan keberlangsungan proyek kontra terorisme.

Di Indonesia, istilah terorisme versi BNPT dan Densus 88 sudah bergeser sedemikian rupa, yang terjadi lebih banyak adalah “teroris opini” dibandingkan terorisme sebagai sebuah aksi, yang sesungguhnya layak dicermati secara obyektif dengan label terorisme.

Semoga masyarakat makin cerdas bisa membedakan manakah media TV yang obyektif dan manakah yang subyektif tendensius menjadi corong kepentingan-kepentingan tertentu yang opuntunir (pembeo).

Mungkin tahun-tahun ke depan, Hendro akan gembira dan bisa tidur nyenyak karena pengamat terorisme yang bisa ikut frame BNPT bukan lagi polisi atau orang intelijen sendiri, tetapi justru anak-anak Muslim seperti Noor Huda, Al Chaidar dan Abdul Rahman Ayyub, lebih kelihatan Islam dan berjenggot, bahkan ucapannya lebih fasih mengucapkan darul harb dan darul Islam atau jihad fi sabilillah. .

Namun yang jelas, ucapan menarik Brigjen Pol Petrus R Golose dari (BNPT), yang mengatakan ia dengan Abdul Rahman Ayyub sekarang berteman baik, sebaiknya wajib kita jadikan pelajaran bersama. Lallahu a’lam bishowab .*

Pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur CIIA