Pengertian Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain.
Hukum Nafkah
Nafkah merupakan kewajiban seorang suami terhadap istrinya, dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini. Bahkan al-Qur’an sendiri telah mewajibkan hal itu melalui fimran Allah ta’ala dalam surah at-Thalaq ayat 7.
Dan Allah ta’ala juga telah berfirman tentang hal ini dalam surah an-Nisaa’ ayat 5.
Demikian juga dengan hadits Rasulullah saw, beliau pernah memberikan izin kepada Hindun binti Utbah untuk mengambil harta suaminya, Abu Sufyan demi mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya dengan cara yang ma’ruf. (Muttafaqun Alaih).
Nafkah yang Harus Diberikan kepada Istri
Disebutkan dalam kitab ar-Raudhah an-Nadiyyah, “Yang benar adalah pendapat yang menyatakan tidak diperlukan adanya ukuran tertentu. Yang demikian itu disebabkan adanya perbedaan waktu, tempat, keadaan dan kebutuhan dari setiap individu. Di mana ada keluarga yang membiasakan keluarganya makan hanya dua kali sehari, atau tiga kali, atau bahkan ada yang sekali sehari. Dan antara individu pun mempunyai kondisi yang berbeda. Ada sebagian orang yang kebutuhan makannya hanya sau sha’ atau lebih, ada juga yang setengah sha’, dan sebagian lainnya kurang dari itu.
Berdasarkan perbedaan tersebut, maka penetapan ukuran tertentu terhadap pemberian nafkah merupakan suatu hal yang tidak benar. Selain itu, tidak ada ketentuan syariat yang menetapkan ukuran tertentu terhadap nafkah itu. Rasulullah saw menggunakan istilah secukupnya dalam pemberian nafkah ini dan dilakukan dengan cara yang baik. Dalil yang mendasarinya adalah riwayat dari Aisyah ra, bahwa Hindun pernah menuturkan kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Ia memberikan kepadaku nafkah yang tidak mencukupi diriku dan anak-anakku, kecuali aku mengambil sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya.”
Lalu beliau bersabda, “Ambillah hartanya sehingga dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Muttafaqun Alaih)
Jika ada larangan mencampuri istrinya karena suatu penyakit atau tengah haid atau sedang menjalani masa nifas, maka suami masih tetap wajib memberikan nafkah. Dan jika istrinya masih kecil dan belum memungkinkan bercampur, maka pihak suami masih belum berkewajiban memberikan nafkah. Sebaliknya, jika istrinya sudah tua sedang suaminya masih kecil, maka suami itu tetap berkewajiban memberi nafkah.
Pemberian Nafkah Kepada Anak dan Kaum Kerabat
Allah ta’ala berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 233 yang intinya menyatakan bahwa pemberian nafkah itu diwajibkan karena adanya anak yang lahir karena hubungan mereka.
Dari Aisyah ra, bahwa Hindun pernah menuturkan kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Ia memberikan kepadaku nafkah yang tidak mencukupi diriku dan anak-anakku, kecuali aku mengambil sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya.”
Lalu beliau bersabda, “Ambillah hartanya sehingga dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Muttafaqun Alaih)
Hadits tersebut menunjukkan adanya keharusan suami memberi nafkah kepada istri yang diukur dengan kata “secukupnya”. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama dan juga Syafi’i.
Hadits tersebut juga mengisyaratkan bahwa seorang wanita juga mempunyai andil dalam mengurus, memelihara dan memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Dari Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya, dan sesungguhnya anaknya itu termasuk dari hasil usahanya.” (Hadits ini ber-isnad shahih).
Seluruh ahli fiqih mewajibkan memberi nafkah kepada mereka ketika mereka dalam keadaan sulit, tanpa memberikan syarat waktu. Dan tidak ada keharusan memberikan nafkah kepada selain istri dan anak.
Dan memberi nafkah kepada kaum kerabat itu dengan menggunakan takaran “secukupnya” dan tidak menjadi utang jika tidak dibayarkan.
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi saw seraya berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai harta dan anak, sedang orang tuaku juga memerlukan hartaku itu.” Maka beliau berkata, “Kamu dan hartaku adalah milik orang tuamu. Sesungguhnya anak-anak kalian merupakan hasil usaha kalian yang baik. Makanlah dari hasil usaha anak-anak kalian.”
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 440 – 448