Bab Talak 8

Keluarga Sakinah

Hukum Talak dengan Menggunakan Isyarat atau Tulisan

Suatu talak itu tidak akan jatuh kecuali dengan lafazh talak, baik secara sharih maupun kiasan, kecuali dalam dua hal, yaitu:

Pertama, bagi orang yang tidak mampu berbicara, misalnya orang bisu. Oleh karena itu, jika ia menjatuhkan talak dengan isyarat, maka telah jatuh talak kepada istrinya.

Kedua, jika seorang suami menjatuhkan talak tiga melalui tulisan dan ia menyertai dengan niat talak, maka telah jatuh talak pada istrinya.

Tetapi jika penulisan talak itu tanpa disertai dengan niat, maka terdapat dua pendapat:

Pertama, telah jatuh talak. Demikian pendapat Sya’bi, an-Nakha’i, az-Zuhri, dan al-Hakam, sebagaimana yang telah kami sebutkan.

Kedua, tidak jatuh talak kecuali disertai dengan niat talak. Demikian yang menjadi pendapat Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i.

Tulisan yang menyatakan talak itu tidak sah dan tidak berlaku kecuali jika dihadiri oleh dua orang saksi yang adil.

Menggantungkan Talak pada Kehendak Allah

Jika ada seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Kamu akan kujatuhi talak InsyaAllah (jika Allah menghendaki).” Atau, “Kamu akan bebas insyaAllah.” Maka dengan ucapan tersebut tidak berlaku talak sama sekali. Demikian menurut pendapat Imam Syafi’i. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Thawus, al-Hakam, Abu Hanifah dan para sahabat Hanbali.

Hukum Talak Mu’allaq

Yang dimaksud dengan talak mu’allaq adalah talak yang digantungkan oleh suami dengan suatu perbuatan yang akan dilakukan oleh istrinya pada masa mendatang.

Jika seorang suami menggantungkan talak istrinya dengan suatu syarat yang mustahil dikerjakan, maka talak itu tidak berlaku sebelum adanya syarat. Baik syarat itu sudah pasti ada, misalnya ucapannya, “Jika matahari terbit, maka telah jatuh talak kepadamu.” Maupun syarat itu bisa ada dan bisa tidak ada, misalnya ucapan, “Jika si Fulan datang dari bepergiannya, maka kamu aku cerai.”

Yang demikian itu merupakan pendapat para penganut madzhab Syafi’i. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Abu Hanifah, ats-Tsaur, Ahmad dan Ishak.

Beberapa Macam Penggantungan Talak

Jika ada seorang suami berkata kepada istrinya, “Jika si Fulan datang, maka kamu telah kucerai.” Lalu orang itu benar-benar datang, sedang ia dalam keadaan sunnah, maka berlaku baginya talak sunnah. Dan jika ia berada dalam keadaan bid’ah, maka berlaku baginya talak bid’ah. Namun demikian, ia tidak berdosa, karena ia tidak bermaksud demikian.

Dan jika ia mengatakan kepada istrinya, “Jika kamu menjalani haid, maka kamu kucerai.” Dan jika hal itu diucapkan ketika ia dalam keadaan suci, maka tidak jatuh talak di antara mereka berdua sehingga istrinya itu haid, lalu suci lagi. Dan jika diucapkan ketika ia sedang haid, maka tidak ada talak yang jatuh baginya sehingga ia suci, lalu hadi, dan kemudian suci lagi.

Hukum Mengaitkan Talak dengan Waktu dan Suatu Hal Tertentu

Jika seorang suami mengaitkan talak dengan waktu tertentu atau suatu hal tertentu, maka talak itu tidak akan pernah jatuh sehingga tiba waktu atau hal tersebut benar-benar terjadi.

Hukum Pengingkaran Talak

Jika ada seorang istri mengaku bahwa suami telah menceraikannya, lalu suaminya mengingkarinya. Atau ia mengaku bahwa suaminya telah menjatuhkan talak tiga kepadanya, lalu suaminya mengatakan, “Tidak, tetapi aku hanya menjatuhkan talak satu atau dua saja,” tetapi tidak ada bukti-bukti yang memperkuatnya, maka yang dipegang adalah ucapan suami yang disumpah. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw sebagai berikut,

“Bukti itu menjadi kewajiban orang yang mengajukan dakwaan sedangkan sumpah itu menjadi kewajiban bagi orang yang mengingkari.

Karena yang menjadi hukum pokok adalah tidak adanya talak.

Hukum Memberikan Kuasa kepada Anak-anak, Orang Tidak Waras, Orang Kafir dan Budak untuk Menalak

Suatu urusan itu tidak boleh diserahkan kecuali kepada orangg yang boleh menerimanya, yaitu orang yang berakal. Sedangkan anak-anak dan orang tidak waras tidak sah menerima kuasa talak. Kalau toh masih juga ada yang menyerahkan kuasa kepada mereka, kemudian ia menjatuhkan talak satu kepada istri orang yang memberi kuasa itu, maka talak itu tidak sah. Sedangkan ashabur ra’yi berpendapat bahwa yang demikian itu tetap sah dan berlaku.

Jika hak talak itu diserahkan kepada orang kafir atau budak, maka talak itu tetap sah, karena keduanya termasuk orang yang dianggap sah untuk menjatuhkan talak, sehingga mereka bisa diberi kuasa untuk mejatuhkan talak.

Bahkan jika kuasa talak itu diberikan kepada perempuan, maka hal itu pun tetap sah, karena wanita juga dapat diserahi kuasa untuk memerdekakan budak, sehingga ia bisa juga diberi kuasa untuk menjatuhkan talak, sebagaimana laki-laki.

Jika kuasa talak itu diserahkan kepada anak kecil yang sudah mengerti talak, maka hal itu juga sah, karena juga boleh menjatuhkan talak kepada istrinya.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 296 – 306