Beberapa Kata Kiasan dalam Talak
Pertama, yang ada nashnya, misalnya “kembalilah kepada keluargamu”, “Tidak ada jalan bagiku menuju dirimu”, “Kamu haram bagiku”, “Pergilah dan jika mau menikahlah”, “tutuplah rambutmu”, atau “Kamu bebas”.
Semua kata kiasan di atas jika disertai dengan niat, maka ada yang menganggap sebagai talak tiga, dan ada pula yang mengembalikan hal itu kepada niat pengucapnya, jika ia tidak meniati dengan jumlah tertentu, maka yang berlaku adalah talak satu, sebagaimana halnya dengan kata kiasan lainnya.
Kedua, tidak ada nashnya. Meskipun kata-kata itu tidak ditetapkan berdasarkan nash, tetapi secara fungsional, kata kiasan tersebut mempunyai kedudukan hukum yang sama.
Ketiga, kata kiasan dengan menggunakan kata-kata yang masih samar, misalnya: keluarlah, pergilah, aku serahkan kamu kepada keluargamu dan kata-kata lainnya yang menunjukkan perpisahan suami istri.
Jika seorang suami mengucapkan kata-kata tersebut dan disertai niat talak tiga, maka telah jatuh talak tiga. Demikian juga jika diniati talak dua, maka jatuh talak dua, atau satu, maka jatuh talak satu. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad. Sedangkan Abu Hanifah berkata, “Jika diniati dengan talak dua, maka yang berlaku adalah talak satu.”
Hukum Niat dalam Talak Sharih
Talak sharih tidak memerlukan adanya niat, bahkan talak tersebut dianggap sah meskipun tanpa niat. Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Karena perkataan yang jelas dan lugas tidak memerlukan niat lagi, sebagaimana halnya dengan jual beli, baik dimaksudkan untuk bercanda maupun serius. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw,
“Ada tiga perkara, seriusnya dianggap serius dan kelakarnya pun dianggap serius, yaitu: nikah, talak, dan rujuk.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Jika ada orang non-Arab mengatakan kepada istrinya, “Anti Thaliq” sedang ia tidak memahami arti kalimat tersebut, maka tidak ada talak di antara mereka, karena suaminya itu tidak bermaksud menjatuhkan talak, sehingga talak tersebut tidak berlaku, sebagaimana talak orang yang berada dalam paksaan.
Beberapa Permasalahan Mengenai Talak
Jika ada orang ditanya, “Apakah Anda sudah beristri?” Lalu ia menjawab, “Tidak, belum.” Yang dengan itu ia berbohong, maka tidak berarti bahwa ia telah menceraikan istrinya. Tetapi jika ia mengatakan, “Aku telah menceraikannya,” meskipun diniati berbohong, maka telah jatuh talak karenanya.
Jawaban “tidak berisri” itu tidak menyebabkan jatuhnya talak. Karena, jawaban itu merupakan ungkapan kiasan yang menuntut adanya niat talak. Sehingga jika ia berniat berbohong saja dan tidak berniat talak, maka tidak terjadi talak di antara keduanya.
Jika ditanyakan kepada seorang suami, “Apakah kamu mentalak istrimu?” Lalu ia menjawab “Ya”. Atau ditanyakan kepadanya, “Apakah telah jatuh talak kepada istrimu?” Dan ia pun menjawab, “Ya”, maka dengan itu ia telah menceraikan istrinya meskipun ia tidak berniat untuk itu. Demikian menurut para penganut madzhab Hambali, dan itu pula yang benar dari madzhab Imam Syafi’i, serta menjadi pilihan al-Muzni.
Menyerahkan Talak Kepada Istri
Seorang suami memiliki dua pilihan, menjatuhkan talak sendiri atau mewakilkannya kepada orang lain atau menyerahkannya kepada istrinya. Dibolehkannya penyerahan talak ke tangan istri itu didasarkan pada dalil yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah memberikan pilihan kepada istri-istri beliau, maka mereka pun menentukan pilihannya masing-masing.
Hukum Orang yang Menyerahkan Talak ke Tangan Orang Lain
Jika seorang suami menyerahkan urusan istrinya kepada orang lain selain istrinya, maka hal itu tetap sah dan hukum yang berlaku padanya adalah hukum jika ia menyerahkan urusannya itu kepada istrinya sendiri. Demikian yang dikemukakan oleh para pengikut Madzhab Hanbali dan disetujui oleh Syafi’i, di mana mereka membolehkan pernyerahan hal tersebut kepada orang lain, karena dalam hal ini berlaku perwakilan. Dengan uacapan yang mana saja, baik ia mengatakan kepada orang itu, “Aku serahkan urusan istriku kepadamu,” atau “Aku berikan pilihan kepadamu mengenai talak istriku, ” atau mengatakan, “Ceraikanlah istriku” maka hukumnya sama.
Namun demikian, suami yang ingin melakukan hal itu tidak boleh menyerahkan urusan istrinya kecuali kepada orang-orang yang boleh mewakilinya, yaitu orang yang sudah berakal. Sedangkan anak kecil dan orang gila tidak sah menerima penyerahan tersebut. Dan jika diserahkan kepada orang yang tidak boleh diserahi, lalu salah seorang dari mereka menjatuhkan talak, maka talak tersebut tidak berlaku. Tetapi para pengikut madzhab Hanafi berpendapat, bahwa tindakan itu tetap sah.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 288 – 296