Bab Talak 3

Keluarga Sakinah

Hukum Talak Tiga dengan Satu Kata atau Dengan Tiga Kata Secara Terpisah-pisah

Jika seorang suami menceraikan istrinya dengan tiga talak dengan satu kata, msalnya dengan mengatakan kepadanya, “Engkau aku jatuhi talak tiga.” Atau dengan menggunakan tiga kata yang berulang-ulang, misalnya dengan mengatakan kepadanya, “Kamu aku talak, kamu aku talak, kamu aku talak.” Dan semuanya itu dilakukannya ketika istrinya dalam keadan haid atau pada masa suci, namun ia telah becampur dengannya, maka dengan demikian, ia telah melakukan dua bid’ah dan terjatuh dalam dua hal yang diharamkan,

Pertama, menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan tidak boleh dijatuhi talak.

Kedua, ia menggabungkan tiga talak dalam satu waktu tanpa diselangi dengan rujuk atau masa suci.

Sebagian ahli fiqih, di antaranya empat imam madzhab berpendapat bahwa talak macam ini berlaku sebagai talak tiga, baik dilakukan pada saat istrinya dalam keadaan suci yang ia telah bercampur di dalamnya atau di luar waktu tersebut.

Sebagian ulama lainnya berpendapat, bahwa dengan talak seperti itu tidak terjadi talak sama sekali, karena talak tersebut tidak sesuai engan yang telah ditetapkan Allah dalam syariat-Nya.

Sebagian ulama yang lain lagi berpendapat bahwa talak tersebut terjadi jika sang istri dalam keadaan suci dan belum dicampuri oleh suaminya, dan terhitung sebagai talak satu, yakni talak raj’i. Dan pendapat terakhir inilah yang ditarjih oleh Imam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim, asy-Syaukani serta al-Qanauji di dalam bukunya, ar-Raudhah an-Nadiyyah.

Penulis kitab ar-Raudhah an-Nadiyah menyebutkan, asy-Syaukani mengemukakan, jumhur ulama berpendapat bahwa talak tersebut berlaku sebagai talak tiga, karena satu talak mengikuti talak sebelumnya. Dan hal tersebut sejalan dengan ucapan seseorang, “Kamu kutalak, kamu kutalak, kamu kutalak,” dalam satu majelis (pertemuan).

Dalam hal ini, jumhur ulama melandasinya dengan hadits Rukanah bin Abu Yazid, bahwa ia pernah menceraikan istrinya, Suhaimah dengan talak tiga (ba’in). Kemudian Nabi saw diberitahu mengenai hal tersebut, maka Rukanah berkata, “Demi Allah, aku tidak menghendakinya kecuali sebagai talak satu.” Maka beliau bersabda, “Demi Allah, apa benar kamu tidak menghendakinya kecuali sebagai talak satu?” Rukanah menjawab, “Demi Allah, aku tidak menghedakinya kecuali sebagai talak satu.” Maka Rasulullah saw mengembalikan istrinya itu kepadanya.

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rukanah pernah menceraikan istrinya dengan talak tiga dalam satu majelis. Lalu ia merasa benar-benar sedih karenanya. Lalu Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu menceraikannya?

Ia menjawab, “Aku telah menceraikannya dengan talak tiga.”

Apakah hal itu berlangsung di satu majelis?” tanya Rasulullah.

“Ya,” jawabnya.

Hal senada juga diriwayatkan oleh Abdurrazak dan Abu Dawud, hadits dari Ibnu Abbas.

Lebih lengkapnya, masalah ini dapat dilihat dalam kitab I’lamul Muwaqii’in dan Ighatsatul Lahfan, karangan al-Hafizh Ibnu Qayyim. Juga terdapat dalam sebuah risalah yang ditulis oleh as-Syaukani. Dan kami juga menguraikannya dalam kitab Miskul Khitam.

Secara singkat dapat dikatakan, jika seorang suami menceraikan istrinya dengan tiga talak dalam satu kata, misalnya mengatakan kepadanya, “Kamu tertalak tiga,” atau menjatuhkan talak tiga yang diucapkan tiga kali secara berluang-ulan, misalnya mengatakan kepadanya, “Kamu tertalak, kamu tertalak, kamu tertalak,” baik di satu majelis atau beberapa tempat, maka para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Mayoritas ulama yang di antaranya imam empat madzhab mengemukakan, “Bahwa talak seperti itu berlaku sebagai talak tiga.” Namun sebagian ahli fiqih berkata, “Talak tersebut berlaku sebagai talak satu saja, karena, yang demikian itu sebagai talak bid’ah. Karena, talak tiga pada zaman Nabi saw berlaku sebagai talak satu. Hal yang sama juga berlangsung pada masa Abu Bakar ash-Siddiq dan dua tahun pertama kekhalifahan Umar bin Khaththab.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 261 – 269