Talak Orang yang Berada dalam Paksaan
Ada pendapat yang bersumber dari Imam Ahmad yang menyatakan bahwa talak orang yang berada dalam paksaan dan tekanan itu tidak berlaku. Dan hal yang sama juga diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Jabir bin Samurah.
Tetapi Abu Qilabah, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, az-Zuhri, ats-Tsauri, dan Abu Hanifah menganggap talak yang dilakukan oleh orang yang berbeda dalam tekanan dan paksaan itu tetap berlaku.
Dalil yang menjadi landasan pendapat pertama adalah sabda Rasulullah saw sebagai berikut,
“Sesungguhnya Allah memberikan maaf kepada umatku atas kesalahan dan kealpaan serta atas sesuatu yang ia dipaksa melakukanya.” (HR. Ibnu Majah).
Dari Aisyah ra, ia bercerita, Rasulullah saw bersabda
“Tidak ada talak dalam keadaan ighlaq.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah dan al-Atsram).
Abu Ubaid dan Qutaibi berkata, “Kata ighlaq berarti paksaan.”
Hal ini merupakan pendapat para sahabat dan tidak ada seorang yang hidup pada masa mereka yang menentangnya, sehingga hal tersebut menjadi ijma’. Dan karena talak yang diucapkan itu keluar dengan jalan yang tidak benar, sehingga tidak ditetapkan baginya hukum apa pun. Sebagaimana ucapan kafir jika diucapkan seorang yang berada dalam keadaan dipaksa.
Beberapa Sebab yang Karenanya Seseorang Dinyatakan dalam Keadaan Dipaksa
Seseorang tidak disebutkan dipaksa sehingga ia diancam akan mendapatkan siksaan atau perlakuan kasar, misalnya pemukulan, cekikan, pematahan tulang, penenggelaman, penyekapan dan sebagainya.
Yang demikian itu berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa orang-orang musyrik mengambil Ammar, dan mereka menginginkan dirinya musyrik. Kemudian Rasulullah saw mendatanginya ketika ia tengah menangis, lalu beliau mengusap air matanya seraya bersabda,
“Orang-orang musyrik telah menangkapmu dan menenggelamkanmu ke dalam air. Dan mereka juga menyuruhmu untuk musyrik kepada Allah, dan kamu melakukannya. Dan jika mereka menangkapmu sekali lagi, maka lakukanlah hal itu untuk mereka.” (HR. Abu Hafs dengan sanadnya).
Sedangkan mengenai masalah ancaman, terdapat dua pendapat, yaitu:
Pertama, ancaman itu bukan merupakan paksaan, karena yang diberikan rukhsah (keringanan) oleh syariat dalam hal ini adalah pada kasus seperti yang disebutkan dalam hadits Ammar.
Kedua, menyatakan bahwa, ancaman itu sendiri pada dasarnya adalah salah satu bentuk paksaan. Yang menjadi batasan dalam paksaan adalah jika seseorang takut terhadap pembunuhan atau pemukulan yang keras.
Syarat Paksaan
Mengenai paksaan ini terdapat beberapa syarat. Di antaranya adalah:
Pertama, orang yang memaksa mampu melakukan apa yang diancamkan kepada orang yang dipaksa.
Kedua, hendaknya ia memperkirakan bahwa ancaman itu akan benar-benar menimpanya jika ia tidak memenuhi apa yang diminta darinya.
Ketiga, ancaman itu dapat membahayakan dirinya misalnya, pembunuhan, pemukulan yang keras, pengikatan dan penyekapan dalam waktu yang lama.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 275 – 278