Bab Penyusuan

Keluarga Sakinah

Jumlah Penyusuan yang Menjadikan Seseorang Haram Menikah atau Dinikahi

Aisyah ra, ia bercerita, Rasulullah saw bersabda,

“Sekali dua kali hisapan itu tidak mengharamkan (pernikahan).(HR. Muslim).

Hadits di atas menunjukkan bahwa isapan satu atau dua kali yang dilakukan oleh seorang anak terhadap seorang wanita tidak menjadikan anak itu haram dinikahi atau menikahi wanita yang menyusuinya tersebut juga keluarganya. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat.

Pertama, penyusuan yang mencapai tiga kali isapan atau lebih, maka sudah termasuk dalam kategori yang haram dinikahi atau menikahi wanita yang menyusuinya dan orang-orang yang mempunyai hubungan dengannya baik karena keturunan maupun penyusuan.

Hal itu didasarkan pada pemahaman hadits yang diriwayatkan Muslim di atas yang memberikan pengertian diharamkannya jumlah hisapan atau sedotan lebih dari dua kali.

Kedua, pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok ulama salaf dan khalaf. Mereka menyatakan bahwa penyusuan itu baik sedikit maupun banyak dapat mengharamkan pernikahan. Yang menjadi landasan pendapat ini adalah bahwa yang menjadi batasannya adalah sampainya air susu ke dalam perut. Ada sebuah ijma’ yang diakui telah menyatakan bahwa batasan penyusuan yang mengharamkan adalah sebatas apa yang membatalkan orang yang berpuasa.

Ketiga, bahwa penyusuan itu tidak mengharamkan pernikahan kecuali lima kali susuan. Demikianlah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair dan sebuah riwayat dari Ahmad. Dalam hal ini mereka mendasari pendapat tersebut dengan hadits Aisyah ra, yang menyebutkan lima kali penyusuan yang berbunyi,

Aisyah ra bercerita, “Pada awal-awal turunnya Al-Qur’an, sepuluh kali menyusu menjadi haram, kemudian ayat itu di-nasakh (dihapuskan) oleh ayat yang menyatakan lima kali saja sudah menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw meninggal dunia, dan ayat al-Qur’an itu masih tetap dibaca (dianggap) sebagai bagian al-Qur’an.” (HR. Muslim)

Dalam kitab Subulussalam disebutkan, yang dimaksud dengan radha’ah adalah satu kali susuan. Jadi, jika seorang bayi telah meletakkan mulutnya di tetek ibunya dan mengisapnya, lalu dibiarkan melakukan apa yang dikehendakinya tanpa adanya halangan, maka yang demikian itu sudah dikategorikan satu kali susuan. Dan pemotongan oleh helaan nafas atau untuk beristirahat sejenak atau untuk sesuatu dan tidak lama kemudian ia mengisapnya kembali, maka hal itu masih tetap disebut sebagai satu kali susuan.

Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai masalah penyusuan anak yang sudah besar/baligh.

Jumhur ulama dari kalangan sahabat maupun tabi’in, juga para ahli fiqih berpendapat, bahwa penyusuan itu tidak mengharamkan pernikahan melainkan yang dilakukan pada waktu masih kecil. Lalu mereka berbeda pendapat dalam memberikan batasan “kecil” tersebut. Tetapi jumhur ulama mengatakan, yaitu penyusuan ketika anak belum sampai usia dua tahun, maka penyusuan tersebut dapat mengharamkan. Sedang penyusuan ketika anak sudah lebih dari dua tahun tidak dapat mengharamkan pernikahan. Mereka bersandar pada firman Allah surah al-Baqarah ayat 233.

Jumhur ulama melandasi pendapat mereka dengan hadits dari Aisyah, yang menceritakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda,

“Perhatikanlah, siapa saudara-saudara kalian (sepersusuan) kalian, karena tidak ada penyusuan melainkan karena rasa lapar.(Muttafaqun alaih)

Sebagaimana bahwa persusuan tidak berlaku kecuali saat anak sedang lapar, dan karena hanya susu yang menjadi makanan anak kecil, sehingga hal itu tidak berlaku bagi anak yang sudah besar.

Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah penggabungan antara hadits Shahlah binti Suhail dengan yang bertentangan dengannya, seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ia berkata, “Yang dianggap penyusuan adalah yang dilakukan oleh anak bayi, kecuali jika memang hal itu dibutuhkan, misalnya penyusuan orang besar yang setiap hari bertemu dan sulit bagi seorang wanita untuk berhijab darinya. Laki-laki yang sudah besar seperti ini, jika disusui karena adanya suatu hal yang mendesak, maka penyusuannya itu mendapatkan dispensasi. Sedangkan yang lainnya, harus pada saat masih kecil.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 222 – 238