Hukum-hukum Seputar Pernikahan 4

Keluarga Sakinah

Masuk Islamnya Salah Seorang dari Pasangan Suami Istri Setelah Bercampur

Jika yang masuk Islam adalah salah seorang dari pasangan suami istri, padahal mereka telah bercampur, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.

Pertama, nikah pasangan ini tergantung kepada habisnya iddah. Jika yang lainnya ikut masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, maka keduanya masih tetap pada pernikahannya. Dan jika ia tidak masuk Islam sampai berakhirnya masa iddah, maka telah terjadi perpisahan antara keduanya sejak adanya perbedaan agama tersebut, sehingga tidak perlu menambah iddah kembali.

Kedua, perlu disegerakannya pemisahan antara keduanya.

Dalil yang menjadi landasan pendapat pertama adalah apa yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitabnya, al-Muwattha’, dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Antara keislaman Shafwan bin Umayyah dengan istrinya, binti al-Walid bin Mughirah berjarak sekitar satu bulan. Istrinya masuk Islam pada hari pembebasan kota Mekah, sementara Shafwan berhasil ikut perang Hunain dan Tha’if, sedang ia masih dalam keadaan kafir, lalu ia masuk Islam. Namun demikian, Rasulullah saw tidak memisahkan antara keduanya, dan istri Shafwan tetap berada di sisinya”

Adapun golongan yang menyegerakan pemisahan antara suami istri itu berhujjah dengan firman Allah ta’ala dalam surah al-Mumtahanah ayat 10.

Jika Telah Habis Masa Iddah, Maka Rusaklah Nikahnya

Jika salah satu dari pasangan suami istri masuk Islam sehingga keduanya berbeda agama, lalu salah satu darinya terlambat masuk Islam hingga pihak istri selesai menjalani masa iddahnya, maka nikah mereka menjadi rusak. Demikian menurut ulama secara keseluruhan.

Tentang Pernikahan Orang-orang Kafir

Dalam pernikahan orang-orang kafir berlaku juga hukum-hukum pernikahan yang benar menurut Islam, yaitu: terjadinya talak, zhihar, ila’, pemberian mahar, sumpah dan lain-lain. Di antara yang memandang sah talak orang-orang kafir adalah Atha’, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, az-Zuhri, Hamad, Ahmad, ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, namun al-Hasan, Qatadah, Rubai’ah dan Malik tidak mensahkannya.

Dalil yang menjadi landasan pendapat pertama adalah, bahwa yang demikian itu merupakan talak seorang yang balig dan berakal dalam pernikahan yang benar, sehingga dapat saja terjadi talak.

Yang menjadi dalil hal itu adalah bahwa Allah swt telah mengakui status kaum wanita kafir sebagai istri bagi suami mereka, sebagaimana yang difirmankan-Nya pada surah al-Lahab ayat 4 dan at-Taubah ayat 11. Demikian juga sabda Nabi saw,

“Aku dilahirkan melalui suatu pernikahan dan bukan dari perzinahan.

Hukum Murtadnya Salah Seorang Pasangan Suami Istri

Jika salah seorang dari pasangan suami istri murtad sebelum bercampur, maka nikahnya batal. Demikian menurut pendapat ulama secara keseluruhan.

Perbedaan agama mengharamkan terjadinya hubungan badan sehingga kemurtadan itu mengharuskan rusaknya nikah, sebagaimana jika seorang istri masuk Islam di bawah suami yang kafir.

Terdapat perbedaan pendapat dalam madzhab Imam Ahmad mengenai kasus jika salah seorang dari suami istri murtad setelah bercampur sesuai dengan kasus jika salah seorang dari pasangan suami istri yang kafir masuk Islam.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa dalam kasus tersebut harus segera dilakukan pemisahan antara keuanya. Karena apa yang mengharuskan batalnya nikah sama saja, baik yang terjadi sebelum maupun setelah bercampur, sebagaimana hal penyusuan.

Kedua, bergantung pada selesainya masa iddah. Jika pihak yang murtad itu kembali memeluk Islam sebelum pihak wanita selesai menjalani iddah, maka keduanya masih tetap dalam nikah mereka. Dan jika ia tidak kembali memeluk Islam sehingga berakhir masa iddah, maka ia telah bercerai sejak terjadinya perbedaan agama. Dan itulah pendapat yang dianut oleh Imam Syafi’i, karena ia merupakan lafazh yang karenanya terjadi perceraian.

Hukum Bercampur Setelah Salah Satu Pihak Murtad

Jika salah seorang dari pasangan suami istri murtad atau keduanya murtad secara bersamaan, maka si suami dilarang mencampuri istrinya tersebut. Jika ia berjima’ pada saat istrinya itu tengah menjalani masa iddah, maka kami katakan bahwa perlu segera dilakukan pemisahan antara keduanya, karena istrinya itu berhak mendapatkan mahar mitsil dari suaminya tersebut karena percampuran tersebut.

Jika salah satu pihak yang murtad atau kedua-duanya masuk Islam pada saat pihak wanita menjalani iddah, sedang kemurtadan itu bersumber dari mereka masing-masing, maka tidak ada mahar yang harus dibayar oleh suami karena hubungan badan ini, karena pernikahan mereka tidak batal, dan pihak suami mencampurinya dalam kedudukannya sebagai istri. Jika kemurtadan itu berasal dari pihak suami dan tidak kembali memeluk Islam sehingga selesai masa iddah, maka si istri berhak mendapatkan mahar mitsil karena hubungan badan tersebut. Karena ia telah becampur dengan seorang wanita tanpa adanya ikatan pernikahan. Sebab sebenarnya perceraian itu sudah terjadi sejak adanya perbedaan agama antara keduanya. Hukum itu juga berlaku pada pasangan yang salah seorang dari keduanya telah bercampur, lalu ia bercampur pada waktu si wanita menjalani iddah dan sebelum ketetapan Islam dari pihak yang lain, maka hukum yang berlaku terhadapnya adalah sama seperti yang berlaku di sini.

Jika salah seorang dari pasangan yang kafir masuk Islam lalu murtad kembali, maka perlu juga diperhatikan di sini. Jika pihak yang satu lagi belum masuk Islam pada saat iddah sedang berlangsung, maka sebenarnya perceraian itu sudah terjadi sejak terjadinya perbedaan agama antara keduanya, dan iddahnya mulai dari sejak salah satu pihak masuk Islam. Dan jika pihak lain masuk Islam pada saat iddah, dan ia masih menjalani iddah saat murtadnya pihak yang pertama, maka permulaan iddah itu dimulai dari sejak pihak pertama itu murtad, karena hukum perbedaan agama dengan keislaman pihak pertama telah hilang dengan masuk Islamnya pihak kedua pada saat iddah sedang berlangsung.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 190 – 196