Hukum Menikah dengan Non-Muslim
Lebih rinci dapat dikatakan, bahwa kaum musyrikin terdiri dari tiga macam: Pertama, yang mempunyai kitab, kedua, yang tidak mempunyai kitab, dan ketiga, yang diduga mempunyai kitab. Yang mempunyai kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Mereka yang mengharamkan pernikahan dengan Ahlul Kitab melandaskan pendapat mereka dengan firman Allah surah al-Baqarah ayat 221 dan surah al-Mumtahanah ayat 10.
Sedangkan dalil yang menjadi landasan pendapat yang membolehkan kaum muslimin menikah dengan ahlul kitab adalah firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 5. Ibnu Abbas mengemukakan, bahwa ayat tersebut me-nasakh (menghapus) firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221, karena surah al-Maidah turun setelah surah al-Baqarah.
Sedangkan mereka yang tidak mempunyai kitab, yaitu para penyembah berhala, batu-batuan, binatang, matahari, bulan, api dan lain sebagainya, agama mereka ini tidak layak untuk diakui dan tidak pula wanita mereka boleh dinikahi. Dan jika ada seorang muslim yang mempunyai budak wanita dari kalangan mereka, maka tidak diperbolehkan baginya bercampur dengannya. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10.
Dengan demikian, nikah dengan wanita-wanita musyrik itu diharamkan, kemudian darinya dikecualikan menikah dengan ahlu adz-Dzimmah.
Hukum Menikahi Wanita yang Sedang Menjalani Iddah
Menikah dengan seorang wanita yang sedang menjalani iddah adalah tidak sah. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 235.
Dengan demikian, diharamkan bagi seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang seang menjalani iddah, baik karena perceraian maupun karena kematian suaminya. Dan jika ia tetap menikahinya sebelum selesai masa iddah, maka nikahnya dianggap tidak sah, baik sudah bercampur maupun belum. Dan di antara keduanya tidak saling mewarisi, juga tidak ada kewajiban atas suami untuk memberikan nafkah yang berlaku.
Apabila ia masih tetap ingin menikahi wanita tersebut, maka hendaklah ia menunggu sampai iddahnya selesai, dan ia harus mengulangi akad nikahnya seperti layaknya akad nkah yang berlaku.
Berkenaan dengan keudukan anak orang yang tidak mengetahui adanya larangan menikah dengan wanita yang tengah menjalin iddah, maka Ibnu Hazm mengemukakan, “Anak tersebut tetap sah sebagai anak mereka berdua. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat.”
Tentang Iddah Wanita yang Berzina
Jika ada seorang wanita berzina, maka tidak ada kewajiban baginya menjalani iddah, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Jika tidak hamil, maka dibolehkan bagi laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lainnya menikahi wanita tersebut. Dan jika ia hamil karena perbuatan zina, maka dimakruhkan baginya menikah sebelum melahirka, demikian menurut Imam Syafi’i sekaligus salah satu riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah.
Sedangkan Rabi’ah, Malik, ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa wanita yang berzina itu harus menjalani iddah. Jika tidak hamil, maka masa iddahnya selama tiga quru’, dan jika hamil, masa iddahnya adalah melahirkan. Dan nikah yang dilakukan sebelum melahirkan dianggap tidak sah.
Mengenai Pernikahan yang Diadakan oleh Orang-orang Musyrik
Ibnu Abil Barr mengemukakan, para ulama telah sepakat, jika ada pasangan suami istri yang masuk Islam secara bersamaan dalam satu waktu, maka nikah mereka berdua tetap sah, selama antara keduanya tidak terdapat hubungan yang menyebabkan diharamkannya menikah bagi keduanya. Pada masa Rasulullah saw banyak orang yang masuk Islam bersama-sama dengan istri mereka, dan nikah mereka pun tetap diakui dan dianggap sah. Bahkan Rasulullah saw tidak mempertanyakan kepada mereka tentang syarat dan cara pernikahan yang mereka laksanakan. Yang demikian itu merupakan suatu hal yang diketahui kaum muslimin secara mutawatir dan pasti.
Hukum Jika Salah Seorang dari Kedua Pasangan Suami Istri Masuk Islam Sebelum Bercampur
Imam Malik mengemukakan, “Jika pihak wanita yang masuk Islam, maka ditawarkan kepada suaminya untuk masuk Islam, jika ia mau masuk Islam, maka pernikahan mereka boleh dilanjutkan dan jika tidak, maka keduanya harus dipisahkan. Dan jika pihak suaminya yang masuk Islam, maka disegerakan untuk dipisahkan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah al-Mumtahanah ayat 10.
Jika pemisahan terjadi sebelum suami masuk Islam, maka bagi pihak wanita berhak mendapatkan setengah mahar yang telah disebutkan jika mahar yang diberikan itu bukan dari barang yang haram, atau setengah mahar yang sebanding jika mahar yang diberikan adalah dari barang yang haram, seperti khamr atau babi.
Dan jika yang masuk Islam adalah pihak istri, maka ia tidak berhak mendapatkan sesuatu apa pun, karena pemisahan itu bermula dari pihaknya. Pendapat inilah yang dikemukakan oleh al-Hasan, Malik, Ahmad, az-Zuhri, al-Auza’i, Ibnu Syubrumah dan Syafi’i.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Syaikh Hassan Ayyub, Fiqh al-Usroh al-Muslimah, atau Fikih Keluarga, terj. Abdul Ghofar EM. (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 173 – 190.