Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu hakekat tanpa sesuatu qayyid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukkan kepada satu indifidu tidak tertentu dari hakekat tersebut.
Muqayyad adalah lafazh yang telah di hilangkan cakupan jenisnya, baik secara kulli maupun juz’I, atau Muqayyad adalah lafazh yang menunjukan suatu hakekat dengan qayyid (batasan), seperti kata “raqabah” (budak) yang dibatasi dengan iman dalam ayat:
“(hendaklah) ia memerdekakan budak beriman.” {Qs. An-Nisa’: 92}
Macam-macam Mutlaq dan Muqayyad dan Status Hukumnya Masing-masing
Mutlaq dan muqayyad mempunyai bentuk-bentuk aqliyyah dan sebagian realitas bentuknya kami kemukakan sebagai berikut:
a. Sebab dan hukumnya sama.
Misalnya “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafazh itu dalam qira’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf di ungkapkan secara mutlaq:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” {Qs. Al-Ma’idah: 89}
Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan tatabu’ (berturut-turut) dalam qira’ah Ibnu Mas’ud :
“Maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut.” Dalam hal seperti ini, pengertian lafazh yang mutlaq dibawa kepada yang muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimakdus oleh lafazh mutlaq adalah sam yang dimaksud oleh muqayyad), karena “sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu segolongan berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus dilakukan secara berturut-turut. Dalam pada itu golongan yang memandang qira’ah tidak mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, tidak sependapat golongan yang pertama. Maka dalam kasus ini di pandang tidak ada muqayyad yang karenanya lafazh mutlaq dibawa kepadanya.
b. Sebabnya sama namun hukum berbeda.
Seperti lafazh “tangan” dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu dibatasi sampai dengan siku-siku. Allah berfirtman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” {Qs. Al-Ma’idah: 6 }
Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlaq, sebagaimana di jelaskan dalam firman-Nya:
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” {Qs. Al-Ma’idah: 6 }
Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafazh yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun al-Ghayali menukil dari ulama’ Syafi’I bahwa mutlaq di sini dibawa kepada muqayyad mengingat “sebab”nya sama sekalipun berbeda hukumnya.
c. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama
Dalam hal ini ada dua bentuk:
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya, pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarah pembunuhan tak senganja. Allah berfirman:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (dengan memberi maaf). Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.” {Qs. An-Nisa’: 92}
Sedangkan dalam kafarah dhihar ia diungkapkan secara mutlaq:
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” {Qs. Al-Mujadalah: 3}
Kedua, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya, “puasa kafarah” ia ditaqyidkan dengan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan. Firman Allah:
“Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” {Qs. An-Nisa’: 92}
Demikian juga dalam kafarah dhihar, sebagaiman dalam firman-Nya:
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.” {Qs. Al-Mujadalah: 4}
d. Sebab berbeda dan hukumpun berlainan
Seperti, “tangan” dalam berwudhu dan dalam kasus pencurian. Dalam berwudhu, ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian di mutlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” {Qs. Al-Ma’idah: 38}
Dalam keadaan seperti ini, mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad karena “sebab” dan “hukum”nya belainan. Dalam hali ini tidak ada kontradiksi (ta’arud) sedikitpun.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits fie ‘Uluumil Qur’aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 304 – 310.