Merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang ingin mempelajari suatu ilmu adalah mengetahui dan memahami pondasi atau pokok ilmu tersebut secara global, dan mengetahui keistimewaannya secara khusus. Hal ini bertujuan supaya seorang penuntut ilmu mempunyai gambaran yang jelas dengan ilmu yang akan dipelajarinya. Begitu juga bagi seorang mufassir yang akan mendalami tentang Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, oleh karenanya sangat mustahil jika seorang mufassir ingin menafsirkan atau mendalami Al-Qur’an tanpa mengetahui bahasa Arab secara mendalam, sebagaimana firman Allah SWT :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (QS. Yusuf: 5)
Maka, diantara kaidah-kaidah yang dibutuhkan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah memahami kaidah bahasa Arab dan pokok-pokoknya, mendalami gaya bahasa dan rahasia-rahasianya, dan kaidah-kaidah lainnya. Akan tetapi disini akan dibahas beberapa kaidah pokok yang paling penting, yaitu :
1. Dhomir (Kata Ganti)
Dhomir ini merupakan suatu kaidah bahasa Arab yang disimpulkan oleh para ulama’, baik dari Al-Qur’an, Hadits Nabawi, Atau dari perkataan orang Arab. Dalam hal ini Ibnul Anbari telah menyusun buku tentang penjelasan dhomir yang ada pada Al-Qur’an sebanyak dua jilid.
Tujuan yang sebenarnya adanya diletakkannya dhomir adalah untuk mempersingkat lafadz, sehingga tidak membutuhkan lafadz-lafadz yang panjang. Contohnya firman Allah dalam ayat:
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Ayat tersebut merupakan ringkasan dari dua puluh kata yang terkandung di dalamnya, jika saja ayat tersebut diletakkan secara asli maka akan sangat panjang, karena ayat tersebut ringkasan dari ayat :
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Asal dari dhomir sebenarnya diperuntukkan bagi dhomir ghoib (kata ganti ke tiga), sehingga asal dhomir itu diletakkan setelah dijelaskan kata kembali dari dhomir tersebut agar diketahui maksud dari dhomir sebelum disebutkan dhomir itu sendiri. Maka dari itu, tempat kembali dari dhomir ada beberapa karakter, yaitu :
1. Tempat kembali dhomir dilafadzkan terlebih dahulu sebelum dhomir dan sesuai/cocok dengannya. Dan kebanyakan dhomir dalam Al-Qur’an seperti ini, contoh:
وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ
2. Tempat kembali dhomir dilafadzkan terlebih dahulu sebelum dhomir dan tercakup di dalamnya, contoh:
وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Dhomir هو kembali kepada العدل yang tercakup dalam lafadz إعدلوا .
3. Dhomir menunjukkan pada tempat kembali karena Iltizam (keharusan), contoh:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
Dhomir di atas kembali pada العافى yang harus atau memang melakukan عفى .
4. Terkadang tempat kembali Dhomir berada setelah dhomir secara lafadz tapi tidak berurutan, contoh:
فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى
5. Atau terletak setelah dhomir dan berurutan, contoh:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ , فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ , بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا , سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ
6. Atau terletak di akhir dan menunjukkan kata ganti tersebut, contoh:
فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ
7. Atau dapat diketahui dari gaya bahasa, contoh:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
8. Terkadang juga dhomir itu menunjukkan pada suatu kalimat berupa lafadz saja tanpa makna, contoh:
وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ
9. Atau hanya maknanya saja, contoh:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا
10. Terkadang juga dhomir terlebih dahulu, kemudian baru diletakkan hal yang menafsirkannya, contoh:
إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا
11. Atau tempat kembali dhomir tersebut disebutkan dua, akan tetapi hanya kembali pada salah satunya, contoh:
يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ
12. Terkadang juga dhomir memperhatikan yang pertama secara lafadz dan yang kedua secara makna, contoh:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
2. Ta’rif dan Tankir (Ma’rifah dan Nakiroh)
Tankir pada Al-Qur’an terletak pada beberapa tempat, diantaranya yaitu:
· Nakiroh yang dimaksudkan untuk satu, contoh: QS. Al-Qoshosh: 29
· Nakiroh yang dimaksudkan untuk macam atau jenis, contoh: QS. Al-Baqarah: 96
· Nakiroh yang dimaksudkan untuk pengagungan, contoh: QS. Al-Baqarah: 279
· Menunjukkan banyak, contoh: QS. As-Syu’ara’: 42
· Menunjukkan pengagungan dan banyak, contoh: QS. Fathir: 4
· Kehinaan, contoh: QS. Abasa: 18
· Sedikit, contoh: QS. At-Taubah: 72
Sedangkan Ta’rif pada Al-Qur’an terletak pada beberapa tempat, diantaranya yaitu:
· Menggiring pendengar pada suatu nama yang khusus dan jelas, diantaranya untuk pengagungan, contoh: QS. Al-Fath: 29
· Sebagai penghinaan, contoh: QS. Al-Lahab: 1
· Sebagai penjelas keadaannya yang dekat, contoh: QS. Luqman: 11
· Sebagai penjelas keadannya yang jauh, contoh: QS. Al-Baqarah: 5
· Penghinaan yang dekat, contoh: QS. Al-Ankabut: 64
· Bentuk pengagunan jauh, contoh: QS. Al-Baqarah: 2
· Penjelasan tentang ma’rifah dengan hal-hal yang berkaitan setelahnya, contoh: QS. Al-Baqarah: 2-5
· Dengan Isim Maushul untuk mengindari penyebutan lafadz aslinya, contoh: QS. Al-Ahqof: 17
· Untuk menunjukkan keumuman, contoh: QS. Al-Ankabut: 69
· Untuk menyingkat kata, contoh: QS. Al-Ahzab: 69
· Atau dengan menggunakan ‘alif lam’ sebagai isyarat kejelasan suatu yang disebutkan, contoh: QS. An-Nuur: 35
· Yang dapat diketahui dengan akal, contoh: QS. Al-Fath: 18
· Yang dapat diketahui yang ada pada saat itu, contoh: QS. Al-Maidah: 3
· Mencakup jumlah banyak dari sesuatu, contoh: QS. Al-‘Ashr: 2
· Mencakup kekhususan sesuatu, contoh: QS. Al-Baqarah: 2
· Sebagai pemberitahuan dari hakikat sesuatu, contoh: QS. Al-Anbiya’: 30
Jika suatu isim disebutkan dua kali dalam satu kalimat, maka ada empat keadaan:
Ø Jika keduanya adalah isim ma’rifah, maka yang kedua sama maksudnya dengan yang pertama, contoh: QS. Al-Fatihah: 6, 7
Ø Jika keduanya adalah isim nakiroh, maka biasanya yang pertama dibedakan dari yang kedua, contoh: QS. Ar-Ruum: 54
Ø Jika kedua keadaan di atas ada pada satu kalimat, contoh: QS. Al-Insyiroh: 5, 6
Ø Jika yang pertama nakiroh dan yang kedua ma’rifah, maka kebanyakan yang kedua lebih diprioritaskan kembali kepada suatu yang sudah maklum, contoh: QS. Al-Muzzammil: 5, 6
Ø Jika yang pertama ma’rifah dan yang kedua nakiroh, maka maksudnya akan dibawa kepada suatu yang menunjukkannya, yang terkadang menunjukkan perbedaan, contoh: QS. Ar-Ruum: 55, atau menunjukkan suatu kesatuan, contoh: QS. Az-Zumar : 27, 28
3. Ifrod dan Jama’ (Kata tunggal dan Majemuk)
Sebagian lafadz dalam Al-Qur’an, kata tunggalnya bermakna khusus, dan kata majemuknya sebagai isyarat pada suatu yang jelas, atau kata majemuk diisyaratkan sebagai tunggalnya, atau sebaliknya. Maka pendapat syaikh Manna’ Qathaan bahwa:
· Ada sebagian lafadz dalam Al-Qur’an yang hanya tertulis dengan bentuk jamak, dan jika dibutuhkan maka akan diletakkan dengan sighoh mufrod, contoh: QS. Az-Zumar: 21 اللب → الالباب , dan jika dalam bentuk mufrad, maka diletakkan ditempat lain( القلب ) , contoh: QS. Qof: 37 .
· Atau sebaliknya, hanya tertulis dalam bentuk mufrod, contoh: QS. At-Tholaq: 12 = ارضين , QS. Al-Hasyr: 1 = السماء, dalam Hadits Nabi = الريح,
· Atau ifrod suatu kata, lalu di ikuti kata sejenisnya yang jamak, contoh: QS. Al-Baqarah: 257 = سبيل الحق dengan سبل الباطل, dan ولي المؤمنين dengan أولياء الكافرين.
· Atau satu kata yang terdapat dalam bentuk tunggal, dua, dan jamak, contoh tunggal: QS. Al-Muzammil: 9, contoh dua: QS. Ar-Rohman: 17, contoh jamak: QS. Al-Ma’arij: 40
4. Membagikan Jamak dengan Jamak, atau dengan Mufrod.
Ø Terkadang, pembagian jamak dengan jamak bermaksud untuk membagikan kepada setiap satuan dari jamak tersebut, contoh:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ
Maksudnya adalah setiap ibu menyusui masing-masing anaknya.
Ø Terkadang bermaksud membagikan yang jamak, kepada masing-masing dari objek suatu hukum, contoh:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Maksudnya adalah setiap pelaku zina dikenakan hukum cambuk sebanyak 80 kali.
Ø Sedangkan pembagian jamak kepada mufrod kebanyakan tidak dimaksudkan untuk keumumannya, tapi terkadang juga dimaksudkan untuk keumumannya. Contoh:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Maksudnya yaitu, kepada setiap yang tidak mampu puasa, meberikan setiap harinya satu orang miskin
5. Kata-kata yang dikira sinonim tapi bukan sinonim.
Ø Antara الخوف dan الخشية
Ø Antara الشخ dan البخل
Ø Antara السبيل dan الطريق
Ø Antara مد atau امد
Ø Antara الرحمة dan الرؤفة
6. Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya suatu jawabana harus sesuai dengan pertanyaan, akan tetapi dalam Al-Qur’an terkadang jawaban agak menyimpang dari pertanyaan, akan tetapi pada hakikatnya tidak.
7. Pertanyaan dan jawaban.
8. Jumlah isim dan jumlah fi’liyah.
9. Athaf.
10. Perbedaan antara al ilata dengan al I’lata.
11. Lafadz fa’ala.
12. Lafadz kana.
13. Lafadz kada.
14. Lafadz ja’ala.
15. Lafadz la’alla dan ‘Asa.
Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits fie ‘Uluumil Qur’aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 240 – 262.