Perbedaan Muhkam dengan Mutasyabbih

Ulumul Quran

Muhkam dan Mutasyabbih Secara Umum

Menurut bahasa, muhkam berasal dari kata-kata, “Hakamtu dabbah wa ahkamtu,” artinya saya menahan binatang itu. Kata al-Hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara.

Ihkam Al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.

Dengan pengertian itulah Allah menyifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya.

Dengan pengertian itulah Allah menyifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya dalam surah Yunus ayat 1.

“Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam,” maksudnya yaitu seluruh kata-katanya kokoh, fasih, dan membedakan antara yang haq dengan yang batil, serta antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-‘am atau makna muhkam secara umum.

Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabbuh, yakni bila satu dari dua hal serupa dengan yang lain.

Tasyabbuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-Tasyabbuh al-‘amm atau mutasyabbih dalam arti umum.

Muhkam dan Mutasyabbih Secara Khusus

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabbih yang dimaknai secara khusus, sebagaimana dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 1.

Khusus dalam masalah definisi muhkam dan mutasyabbih, terjadi banyak pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:

1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.

2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu segi, sedang mutasyabih mengandung banyak segi.

3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.

Para ualma memberi contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh, dan asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya.

Perbedaan Pendapat dalam Mengetahui Mutasyabih

Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang definisi muhkam dan mutasyabih dalam maknanya secara khusus, perbedaan pendapat juga terjadi dalam masalah ayat yang mutasyabih. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf (berhenti) dalam ayat, “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah, war-rasikhuna fil’ilmi yaquluna amanna bihi.” Apakah kedudukan lafazh ini sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’lamu ta’wilahu illah Allah,” ataukah ia ma’thuf? Sedang lafazh “wa yaquluna” menjadi hal dan waqafnya pada lafazh “War-rasikhuna fil’ilmi.

Pendapat pertama, mengatakan “isti’naf.” Pendapat ini didukung oleh sejumlah tokoh seperti Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan lainnya.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa “wawu” sebagai huruf athaf. Ini dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid. Imam An-Nawawi juga memilih pendapat ini.

Kompromi Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil

Dengan merujuk kepada makna takwil, maka akan jelas bahwa antara kedua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna:

1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.

2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami.

3. Takwil adalah pembicaraan tentang subtansi (hakekat) suatu lafazh.

Golongan yang berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’alamu ta’wilahu illallah” dan menjadikan “war rasikhuna fil ‘ilmi,” sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan, “takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakekat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakekat zat Allah, esensi-Nya, makna nama dan sifat-Nya serta hakekat Hari Kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.

Sebalilknya, golongan yang mengatakan waqaf pada lafazh “Warrasikhuna fil ‘ilmi.” dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf athaf, bukan isti’naf, memakai kata takwil tersebut dengan makna kedua, yaitu tafsir, sebagaimana dilakukan Mujahid, seorang ahli tafsir terkemuka.

Takwil yang Tercela

Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin (ulama belakangan) secara berlebihan, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah dari keserupaan-Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Misalnya, ketika menakwilkan “tangan” (al-yad) dengan kekuasaan (al-qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan “tangan” bagi Khaliq mengingat makhluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafazh al-yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkanlah dengan al-qudrah. Hal ini mengandung kontradiktif karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhluk pun mempunyai kekuasaan, pula. Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu betul dan mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun tidaklah salah dan mungkin. Sebaliknya, jika penetapan “tangan” dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan “kekuasaan” juga batil dan terlarang.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits fie ‘Uluumil Qur’aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 241 – 271.