Allah SWT berfirman (yang artinya), “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih.” (An-Nisaa’: 138). “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (An-Nisaa’: 142-143).
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisaa’: 145).
“Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, ‘Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya).’ Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan manjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, kaena kamu kafir sesudah beriman. Jika kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dari sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggam tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka; dan Allah melaknat mereka; dan bagi mereka azab yang kekal.” (At-Taubah: 64-68).
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (At-Taubah: 73-74).
“Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzaab: 73). Dan, masih banyak ayat-ayat lain yang semakna dengannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw.. bersabda, “Ciri-ciri orang munafik ada tiga, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia pungkiri dan jika diberi amanat ia khianati.” (HR Bukhari [33] dan Muslim[59]). Dalam riwayat lain ditambahkan, “Meskipun ia mengerjakan shalat, shaum, dan mengklaim (bahwa) dirinya muslim.” (HR Muslim [59 dan 109]).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a., Rasulullah saw.. bersabda, “Empat perkara apabila terkumpul pada diri seseorang, maka ia adalah munafik sejati. Dan apabila terdapat salah satu darinya, maka pada dirinya terdapat salah satu dari cabang kemunafikan hingga ia meninggalkannya. Apabila diberi amanat ia berkhianat, apabila berbicara ia berdusta, apabila mengikat perjanjian ia melanggarnya dan apabila bersengketa ia berlaku curang.” (HR Bukhari [34] dan Muslim [58]).
Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a., ia berkata, “Kemunafikan itu ada pada zaman Rasulullah saw. Adapun sekarang adalah kekufuran setelah beriman.” (HR Bukhari [7114]). Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XIII/74), "Maksud Hudzaifah r.a. bukanlah menafikkan terjadinya kemunafikan, namun yang beliau nafikkan adalah kesamaan hukumnya. Sebab, hakikat nifak adalah menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Hal seperti itu bisa terjadi kapan saja, yang berbeda adalah hukumnya. Sebab, Rasulullah saw. dahulu memberi toleransi untuk menarik hati mereka dan menerima keislaman yang mereka tampakkan, meskipun terlihat bertolak belakang dengan bathin mereka. Adapun setelah itu, setiap orang dihukumi berdasarkan lahiriahnya, bila kedapatan (bahwa ia) munafik, tidak perlu ditoleransi lagi, karena memang sekarang tidak butuh toleransi." Saya katakan, "Penjelasan di atas didukung oleh sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari [2641], dari 'Abdullah bin 'Utbah, ia berkata, 'Saya mendengar Umar bin Khaththab r.a. berkata, 'Orang-orang pada zaman Rasulullah saw. dihukumi berdasarkan wahyu yang turun. Dan sekarang wahyu telah terputus, maka kami menghukumi kalian berdasarkan apa yang tampak oleh kami dari amal-amal kalian. Barang siapa menampakkan kebaikkan, maka kami akan beri keamanan dan kesetiaan. Kami tidak berhak menghukumi bathinnya. Hanya Allah yang berhak menghukumi apa yang tersembunyi dalam bathinnya. Barang siapa menampakkan keburukan, maka kami tidak akan memberinya keamanan dan tidak akan kami benarkan. Meskipun ia berkata, 'Hati saya tulus'!"
Isi kandungan dari apa yang telah dipaparkan di atas adalah sebagai berikut.
Nifak terbagi dua, nifak takdzib (nifak i’tiqaadi) yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan nifak ‘amali yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Pembagian ini telah dinukil secara shahih dari ulama salaf. Imam Tirmidzi berkata dalam Sunannya (V/20), “Makna riwayat di atas menurut ahli ilmu adalah nifak ‘amali, sedangkan nifak takdzib itu terjadi pada zaman Rasulullah saw. Demikian diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, ia berkata, ‘Nifak terbagi dua: nifak ‘amali dan nifak takdzib’.”
Nifak adalah sumber segala malapetaka. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah telah mengungkapkannya secara tulus dalam kitab Madaarijus Saalikiin (I/347-359) sebagai berikut, "Adapun nifak merupakan penyakit bathin yang sangat berbahaya. Seseorang bisa dikuasai penyakit ini tanpa disadari. Hakikatnya sangat samar atas kebanyakan orang. Dan biasanya menjadi lebih samar atas orang yang telah terjangkiti penyakit nifak ini. Ia mengira telah melakukan perbaikan, namun pada hakikatnya ia merusak."
Nifak ada dua macam: nifak akbar dan nifak ashghar. Nifak akbar adalah nifak yang menyebabkan pelakunya kekal di dalam kerak neraka. Yaitu, ia menampakkan kepada kaum muslimin imannya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari akhirat. Namun, dalam bathin ia tidak mengimani semua itu, bahkan mendustakannya. Ia tidak mengimani bahwa Allah berkata-kata dengan perkataan yang Allah turunkan kepada seseorang yang Dia pilih sebagai utusan. Yaitu, agar utusan itu menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia.
Allah telah membongkar kebobrokan kaum munafikin dan mengungkap rahasia bathin mereka dalam Al-Qur'an. Allah memperlihatkan hakikat mereka kepada ummat manusia agar dapat mewaspadainya dan dapat menjauhi mereka. Allah menyebutkan tiga golongan manusia pada awal surah Al-Baqarah, yakni kaum mukminin, kaum kafir, dan kaum munafik. Allah menyebutkan empat ayat mengenai kaum mukminin, dua ayat mengenai kaum kafir, dan tiga belas ayat mengenai kaum munafik. Malapetaka yang menimpa Islam akibat perbuatan mereka sangat besar. Mereka menisbatkan diri kepada Islam, mengaku sebagai pembela dan loyal kepada Islam. Padahal, hakikatnya mereka adalah musuh. Mereka menunjukkan permusuhan dalam segala bentuk yang dikira oleh orang jahil bahwa semua itu adalah ilmu dan perbaikan, padahal sebenarnya merupakan puncak kejahilan dan kerusakan.
Demi Allah, berapa banyak pertahanan Islam yang telah mereka bobol? Berapa banyak benteng Islam yang telah mereka rusak dan robohkan pondasinya? Berapa banyak syi’ar-syi’ar Islam yang mereka hapus? Berapa banyak panji-panji Islam yang tegak mereka tumbangkan? Berapa banyak syubhat yang mereka tebarkan untuk merancukan dasar-dasar agama ini? Berapa banyak sumber-sumber agama yang mereka tutupi dengan pendapat-pendapat mereka sehingga terkubur atau terputus? Islam dan kaum muslimin terus-menerus merasakan kepedihan dan musibah akibat perbuatan mereka. Sementara, mereka terus-menerus melemparkan syubhat-syubhat, sedikit demi sedikit. Lalu mereka mengira telah melakukan perbaikan.
“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Al-Baqarah: 12).
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya." (Ash-Shaff: 8).
“Kemudian, mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah-belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (Al-Mu’minuun: 53).
“Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’aam: 112). Oleh sebab itu, Allah SWT berfirman, “Berkatalah Rasul, 'Ya Rabb-ku, mereka telah menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan'.” (Al-Furqaan: 30).
"Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 8).
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar.” (Al-Baqarah: 9).
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10).
“Dan bila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.' Mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.' Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Al-Baqarah: 11-12).
Menurut mereka, orang-orang yang memegang teguh Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah ahli zhahir yang sama sekali tidak memiliki logika. Orang yang selalu mengikuti nash, menurut mereka, tak ubahnya seperti keledai yang memikul kitab-kitab, keinginannya hanyalah mengoleksi nukilan-nukilan. Ahli ittiba’ menurut mereka adalah orang-orang bodoh, mereka selalu mengolok-oloknya dalam majelis-majelis maupun saat sendiri. Allah SWT berfirman, “Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.’ Mereka menjawab, ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.” (Al-Baqarah: 13).
Setiap munafik memiliki dua wajah: satu wajah saat bertemu orang-orang beriman, dan wajah yang lain saat bertemu dengan kawan-kawannya dari kalangan kaum mulhid (kafir). Dia memiliki dua lisan: satu lisan saat bertemu dengan kaum mukminin dan lisan yang lain untuk mengungkapkan rahasia bathin mereka yang tersembunyi. Allah SWT berfirman, “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian denganmu, kami hanyalah berolok-olok’.” (Al-Baqarah: 14).
Mereka berpaling dari Al-Qur'an dan As-Sunnah untuk mengolok-olok dan melecehkan orang yang berpegang teguh dengan keduanya. Mereka tidak mau tunduk kepada hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman, “Allah akan (membalas) olokan-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 14).
Mereka keluar untuk mencari keuntungan yang sedikit, mengorbankan keuntungan yang besar. Allah SWT berfirman, “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 16).
Cahaya iman bersinar menerangi mereka sehingga mereka bisa melihat jalan hidayah dan kesesatan. Kemudian, cahaya itu padam lalu berganti dengan api yang menyala-nyala. Mereka disiksa dengan api tersebut. Mereka larut serta tenggelam dalam kegelapan. Allah SWT berfirman, “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, mereka tidak dapat melihat.” (Al-Baqarah: 17).
Pendengaran hati mereka telah tertutupi ketulian, sehingga tidak dapat mendengar seruan iman. Penglihatan mereka telah diselimuti kebutaan, sehingga tidak dapat melihat hakikat-hakikat Al-Qur'an. Lisan mereka telah dikuasai kebisuan, sehingga tidak bisa mengucapkan kebenaran. “Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (Al-Baqarah: 18). “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap-gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 19).
“Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 20).
Mereka memiliki tanda-tanda yang dapat dikenali dan telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka dikuasai penyakit riya’ yang merupakan sejelek-jelek penyakit. Mereka juga dirundung rasa malas dalam melaksanakan perintah-perintah Ilahi, sehingga keikhlasan adalah perkara yang sangat berat bagi mereka. “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisaa’: 142).
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (An-Nisaa’: 143).
Mereka senantiasa menunggu kehancuran para pengikut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Manakala pengikut Al-Qur’an dan As-Sunnah memperoleh kemenangan berkat pertolongan Allah, mereka berkata, “Bukanlah kami juga bersama kalian?” Mereka banyak bersumpah atas nama Allah untuk itu. Allah SWT berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang menunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah, mereka berkata, ‘Bukankah kami (turut berperang) besertamu?’ Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan), mereka berkata, ‘Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membelamu dari orang-orang mukmin?’ Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari Kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa’: 141).
Setiap orang pasti kagum mendengar kata-kata mereka yang manis dan lembut. Ia persaksian kepada Allah atas kebohongan dan kedustaan isi hatinya. “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (Al-Baqarah: 204).
Mereka menganjurkan para pengikut mereka (menuju) kepada perkara yang merusak bangsa dan negara, dan melarang mereka dari perkara yang membawa maslahat dunia dan akhirat. Mereka lemparkan perintah dan larangan itu di antara jama’ah ahli iman dalam shalat, dzikir, zuhud, dan ijtihad. Allah SWT berfirman, “Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (Al-Baqarah: 205).
Mereka itu satu sama lainnya sejenis, menganjurkan perkara munkar setelah mereka melakukannya dan melarang dari perkara ma’ruf setelah mereka meninggalkannya. Mereka bakhil mengeluarkan harta untuk infak fii sabiilillaah dan fii mardhaatillah. “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dari sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat munkar dan melarang berbuat ma'ruf dan mereka menggenggam tangannya (tidak mengeluarkan hartanya di jalan Allah). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 67).
Apabila engkau mengajak mereka untuk berhukum kepada wahyu, engkau dapati mereka lari menjauh. Jika engkau mangajak mereka kepada hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah, engkau akan lihat mereka berpaling. Jika engkau menyaksikan hakikat mereka, niscaya engkau lihat jurang yang amat lebar antara hakikat diri mereka dan hidayah. Engkau pasti lihat hakikat mereka sangat jauh menyimpang dari wahyu. Allah SWT berfirman, “Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,’ niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari mendekatimu.” (An-Nisaa’: 61).
Lalu bagaimana mereka bisa memperoleh kemenangan dan hidayah bilamana mereka tersesat dari akal sehat dan agama? Bagaimana mereka bisa selamat dari kesesatan dan keburukan bilamana mereka telah menjual keimanan dengan kekufuran? Alangkah meruginya perniagaan mereka itu, mereka telah mengganti ar-Rahiiqul Makhtuum menjadi api yang menyala. Allah SWT berfirman, “Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna'.” (An-Nisaa’: 62).
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An-Nisaa’: 63).
Celakalah mereka, alangkah jauhnya mereka dari hakikat keimanan. Alangkah dustanya pengakuan mereka sebagai ahli tahqiq dan ma’rifah. Alangkah jauh perbedaan mereka dengan pengikut Rasul. “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’, 65).
“Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-Munaafiquun: 2).
Celakalah mereka itu! Mereka buta setelah dapat melihat dan menyaksikan kebenaran. Allah SWT berfirman, “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.” (Al-Munaafiquun: 3).
Bentuk fisik mereka sangat mengagumkan, tutur kata mereka sangat menawan, penjelasan mereka sangat halus, namun hati mereka amat busuk, hati mereka sangat lemah. "Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikanmu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?" (Al-Munaafiquun: 4).
Mereka menunda-nunda shalat dari awal waktu sampai ke akhir waktu. Mereka mengerjakan shalat shubuh tatkala matahari terbit, mengerjakan shalat 'ashar ketika matahari mulai tenggelam. Mereka mengerjakannya bagaikan patukan burung gagak (shalat patuk ayam), karena mereka hanya mengerjakan shalat badan, bukan shalat hati. Mereka menoleh ke kanan ke kiri dalam shalat seperti seekor musang. Jika bersengketa, mereka berlaku curang; jika mengikat perjanjianmereka melanggarnya; jika berbicara, mereka berdusta; jika berjanji, mereka mungkir; jika diberi amanat, mereka khianat. Begitulah muamalah mereka kepada sesama makhluk, dan begitu pulalah muamalah mereka kepada Al-Khaliq. "Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya." (At-Taubah: 73).
"Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka termasuk golonganmu; padahal mereka bukan dari golonganmu, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu)." (At-Taubah: 56).
"Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata, 'Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi berperang),' dan mereka berpaling dengan rasa gembira. Katakanlah, 'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.'” (At-Taubah: 50-51).
"Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan." (Ali 'Imran: 120).
"Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, 'Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu'." (At-Taubah: 46).
Kemudian Allah menyebutkan hikmah keberatan hati mereka, tertahannya mereka dari ketaatan dan diusir serta dijauhkannya mereka dari pintu-Nya. "Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim." (At-Taubah: 47).
Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terasa berat atas mereka, karena itulah mereka membencinya. Terasa payah untuk memikulnya, karena itu mereka menurunkan dan meletakkannya. Sangat sukar bagi mereka untuk memelihara sunnah-sunnah Nabi, sehingga mereka melalaikannya. Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah menyergap mereka, sehingga mereka terpaksa membuat undang-undang untuk menolaknya. Allah telah menyingkap tirai mereka dan mengungkap rahasia batin mereka. Allah telah memunculkan orang-orang semisal mereka. Dan Allah mengabarkan bahwa setiap kali berakhir satu generasi, akan disusul dengan generasi lain yang serupa dengan mereka. Allah telah menjelaskan ciri-ciri mereka kepada para wali-Nya supaya dapat diwaspadai. Allah SWT berfiman, "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an), lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka." (Muhammad: 9).
Begitulah keadaan orang-orang yang merasa keberatan dengan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia melihat nash-nash itu merupakan penghalang antara dirinya dengan bid'ah dan hawa nafsunya. Dalam pandangannya, nash-nash itu ibarat bangunan yang kokoh. Lalu ia menjualnya dengan perkataan-perkataan bathil. Kemudian mengganti dengan kitab Al-Fushuush. Akibatnya, semua itu merusak lahir dan bathin mereka. "Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi), 'Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan,' sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka." (Muhammad: 26-28).
"Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka. Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatanmu." (Muhammad: 29-30).
Bagaimanakah nasib mereka pada hari pertemuan, saat Allah muncul di hadapan sekalian makhluk lalu disingkaplah betis, kemudian mereka dipanggil untuk sujud, namun mereka tidak kuasa melakukannya. Allah SWT berfirman, "(Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam: 43).
Bagaimanakah nasib mereka apabila digiring menuju jembatan di punggung Jahannam? Jembatan yang lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang? Jembatan yang licin lagi menggelincirkan. Sangat gelap hingga tidak ada seorang pun yang dapat melewatinya, kecuali dengan cahaya yang menerangi pijakan kakinya. Lalu, dibagikanlah cahaya bagi manusia, satu sama lain berbeda kecepatan dalam melintasinya. Orang-orang munafik diberi cahaya sebagaimana halnya kaum muslimin lainnya. Karena, mereka di dunia ini telah menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan mengerjakan shaum bersama-sama kaum muslimin. Ketika sampai di tengah jembatan cahaya mereka diterpa oleh angin kemunafikan. Padamlah pelita yang ada di tangan mereka. Mereka terhenti kebingungan dan tidak dapat meneruskan langkah. Lalu, diadakanlah dinding yang mempunyai pintu antara mereka dengan ahli iman. Akan tetapi, mereka telah terpisah jauh dari kunci-kuncinya. Pintu sebelah dalam yang dekat dengan ahli iman terdapat rahmat, dan pintu sebelah luar yang dekat dengan mereka terdapat siksa dan adzab. Mereka berteriak memanggil rombongan ahli iman yang menuju mereka. Cahaya rombongan itu tampak memancar dari kejauhan seperti bintang-bintang yang tampak oleh pandangan manusia. Allah menceritakan tentang teriakan mereka, "Dikatakan (kepada mereka), 'Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)'." (Al-Hadiid: 13).
Cahaya telah dibagi-bagikan. Sementara itu, tidak ada kesempatan bagi seorang pun untuk berhenti di saat seperti ini, lalu bagaimana mungkin kami berhenti di tempat yang sempit ini? Saat itu, adakah seseorang yang lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya di atas jembatan seperti ini? Adakah seseorang yang menoleh temannya pada saat itu? Lalu, kaum munafik itu mengingatkan ahli iman tentang kebersamaan mereka dengannya di dunia, seperti halnya seorang musafir kelana yang mengingatkan penduduk negeri tentang kebersamaan dirinya dengan mereka dalam sebuah perjalanan. Allah menceritakan tentang perkataan mereka saat itu, "Bukankah kami dahulu bersama-sama denganmu?" (Al-Hadiid: 14).
Kami mengerjakan shaum sebagaimana kalian mengerjakan shaum; kami shalat sebagaimana kalian shalat; kami membaca sebagaimana kalian membaca; kami bershadaqah sebagaimana kalian bershadaqah; kami menunaikan haji sebagaimana kalian menunaikannya, lalu apa yang membedakan kita pada saat ini sehingga kalian terpisah dari kami saat melihat? Ahli iman berkata: "Mereka menjawab: 'Benar'!" (Al-Hadiid: 14).
Secara zhahir kalian bersama kami, tetapi secara bathin kalian bersama kaum mulhid, orang-orang zhalim dan orang-orang kafir! "Tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong, sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu. Maka, pada hari ini tidak diterima tebusan darimu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempatmu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali." (Al-Hadiid: 14-15).
Tidak perlu memuat seluruh karakter kaum munafikin, karena yang tidak disebutkan lebih banyak (jumlahnya) daripada yang disebutkan. Seluruh isi Al-Qur’an nyaris berbicara tentang mereka karena banyaknya jumlah mereka di atas panggung dunia dan di dalam liang kubur. Tidak ada satu tempat pun yang steril dari mereka. Semua itu agar kaum mukminin tidak merasa asing di pasar dan di jalanan, sehingga tidak tertutup mata pencaharian mereka dan tidak menjadi mangsa binatang buas di hutan pedalaman.
Hudzaifah r.a. pernah mendengar seorang lelaki berdo'a, "Ya Allah, binasakanlah kaum munafikin!"
Hudzaifah r.a. menimpalinya, "Wahai saudaraku, sekiranya kaum munafikin binasa seluruhnya, niscaya kalian merasa kesepian di jalanan karena sedikitnya orang yang tersisa (di jalan)."
Demi Allah, rasa takut kepada kemunafikan hampir-hampir mencopot jantung generasi terdahulu. Karena, mereka mengetahui kemunafikan secara terpenrinci, mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Mereka mencurigai dirinya, sehingga khawatir mereka termasuk golongan munafikin.
Umar bin Khaththab r.a. berkata kepada Hudzaifah r.a., "Hai Hudzaifah, demi Allah aku ingin bertanya kepadamu, apakah Rasulullah saw. telah menyebutku dalam golongan kaum munafikin?"
"Tidak, beliau tidak menyebut namamu! Dan setelah ini aku tidak akan merekomendasi siapa pun selamanya!" jawab Hudzaifah.
Ibnu Abi Mulaikah berkata, "Saya telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Nabi saw. Mereka semua mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya. Tidak seorang pun di antara mereka yang berkata, 'Imanku seperti iman Jibril dan Mikail'." Riwayat ini disebutkan oleh Imam al-Bukhari.
Diriwayatkan dari Al-Hasan al-Bashri, "Tidak ada yang merasa aman darinya (dari kemunafikan), kecuali seorang munafik. Dan tidak ada yang merasa khawatir atasnya, kecuali seorang mukmin."
Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi saw., bahwa ia berkata dalam do'anya, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari khusyu' kemunafikan."
Ada yang bertanya kepadanya, "Apa itu khusyu' kemunafikan?"
Ia berkata, "Badan terlihat khusyu', tetapi hatinya tidak khusyu'."
Benih kemunafikan tumbuh di atas dua penyangga, yaitu kebohongan dan riya'. Tempat keluarnya dari dua sumber, yaitu lemahnya ilmu dan lemahnya 'azam (ketetapan hati/niat). Jika terkumpul keempat rukun ini, kemunafikan akan tumbuh subur dan kokoh. Akan tetapi, gelombang air bah menyeretnya ke tepi jurang kehancuran. Manakala mereka melihat gelombang hakikat dan kenyataan pada hari ditampakkan segala yang tersembunyi dan disingkapnya tirai, dibangkitkan apa yang ada dalam kubur dan diperlihatkan apa yang terselip dalam dada, mereka melihat hasil usahanya bagaikan fatamorgana. Allah SWT berfirman, "Yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapati sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya." (An-Nuur: 39).
Hati mereka lalai dari kebaikan, sedang jasad mereka bergegas menuju kepadanya. Kekejian merajalela di tempat-tempat mereka. Apabila mendengar kebenaran, hati mereka mengeras sehingga tidak bisa memahaminya. Apabila melihat kebathilan dan kedustaan, dengan seketika mata hati dan pendengaran mereka terbuka. Itulah ciri-ciri kemunafikan. Kaum munafikin itu bila diajak berbuat taat mereka menahan diri, bila dikatakan kepada mereka, "Marilah berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya," mereka berpaling. Sebalik-nya, bila hawa nafsu mengajak kepada apa yang mereka inginkan, mereka segera bergegas menyambutnya. Biarkanlah mereka beserta kehinaan dan kerugian yang telah menjadi pilihan mereka itu. Jangan percayai janji-janji mereka! Jangan merasa aman mengikat perjanjian dengan mereka! Karena, janji mereka itu dusta dan dalam masalah-masalah lain mereka memungkirinya. Allah SWT berfirman, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, 'Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bershadaqah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shaleh.' Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka, Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta." (At-Taubah: 75-77).
Siapa saja yang meneliti biografi salafush shaleh, baik berupa perkataan maupun perbuatan, pasti tahu bahwa mereka hidup di antara rasa takut dan harap. Allah SWT telah menyebutkan kriteria hamba-hamba terbaik dalam firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Rabb mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka." (Al-Mu'minuun: 57-60).
Diriwayatkan dari 'Aisyah r.a., ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang ayat ini: 'Dan orang-orang yang meberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut.' Apakah mereka itu orang-orang yang meminum khamr dan mencuri? Rasulullah saw. menjawab: 'Tidak, wahai putri Ash-Shiddiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang mengerjakan shaum, shalat, dan bershadaqah, sementara mereka takut amal tersebut tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan'."
Allah telah menyebutkan secara gamblang sifat kaum mukminin yang bersegera melakukan kebaikan. Meskipun telah melakukan ibadah dengan sebaik-baiknya, mereka tetap merasa takut ibadah itu tidak diterima di sisi Allah. Rahasianya bukanlah karena takut Allah tidak memberi mereka pahala. Sama sekali tidak! Sebab, Allah tidak akan memungkiri janji. Allah SWT berfirman, "Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka." (Ali-Imran: 57).
Bahkan, Allah SWT menambah karunia-Nya kepada mereka. Allah SWT berfirman, "Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya." (Faathir: 30).
Para sahabat Nabi saw. sangat takut amalnya terhapus. Itu merupakan bukti sempurnanya keimanan mereka. Allah SWT berfirman, "Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah, kecuali orang-orang yang merugi." (Al-A'raaf: 99).
'Abdullah bin 'Ubaidillah bin Abi Mulaikah, salah seorang tsiqah (terpercaya) dan ahli fiqih berkata, "Saya telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Nabi saw., mereka semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri masing-masing. Tidak seorang pun di antara mereka yang berkata, 'Imanku seperti iman Jibril dan Mikail'." (Shahih, HR Bukhari).
Mereka mengkhawatirkan kemunafikan sebabnya adalah kadang-kadang muncul hal-hal yang mengacaukan keikhlasan niat seorang mukmin dalam beramal. Kekhawatiran mereka terhadap hal itu bukanlah berarti mereka terjerumus di dalamnya. Bahkan, itu merupakan gambaran tingginya wara dan takwa mereka. Dengan itu mereka menjadi lebih dekat kepada-Nya daripada beribu amal yang dipersembahkan oleh selain mereka.
Kaum shiddiq itu memperhatikan hak Allah atas diri mereka. Lalu Allah menumbuhkan perasaan bersalah. Mereka yakin bahwasannya keselamatan hanya dapat diraih dengan ampunan, maghfirah, dan rahmat Allah. Hak Allah adalah ditaati dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.
Sumber: Diringkas dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 27-58.