Tidak Ada Reformasi Kewarganegaraan Bagi Muslim Rohingya

Budaradikal

Islampos.com – SEBUAH komisi yang ditunjuk pemerintah Myanmar/Burma menolak seruan dunia internasional untuk mereformasi undang-undang kewarganegaraan kontroversial yang tidak mengakomodasi minoritas Muslim Rohingya di negara tersebut.

“Organisasi-organisasi internasional berusaha untuk mengkritik hukum kewarganegaraan 1982 tentang Bengali,” kata komisi anggota Yin Yin Nwe kepada surat kabar The Hindu pada hari Senin kemarin (29/4/2013).

“Tetapi hukum ini sebenarnya sangat cocok untuk kita. Namun penegakan hukum yang tidak jelas karena korupsi para pejabat imigrasi setempat,” ujarnya.

Etnis Muslim Bengali, yang dikenal sebagai Rohingya, telah ditolak hak-hak kewarganegaraan mereka sejak amandemen terhadap undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982 dan diperlakukan sebagai imigran ilegal di tanah air mereka sendiri.

Pemerintah Burma sebagaimana juga mayoritas Buddha menolak untuk mengakui istilah “Rohingya”, dan lebih sering menyebut mereka sebagai “Bengali”.

Ribuan Muslim Rohingya telah mengungsi dari rumah mereka di Burma Barat tahun lalu setelah gelombang kekerasan sektarian mematikan melanda mereka yang dilakukan oleh mayoritas warga Buddha.

Kecaman internasional atas perlakuan terhadap Muslim Rohingya memaksa pemerintah untuk membentuk komisi yang mencoba melihat ke dalam untuk memperbaiki hukum kewarganegaraan.

Komisi telah menyerukan untuk meningkatkan perlindungan penegakan hukum hak asasi manusia di negara berpenduduk mayoritas Buddha tersebut.

Komisi juga menyerukan pelarangan penggunaan “bahasa kebencian” dan “ajaran ekstrimisme”.

Komisi, bagaimanapun, tidak berani menyerukan amandemen hukum kewarganegaraan, yang dipandang sebagai jantung ketegangan antara umat Buddha dan Muslim di Burma.

Komisi bahkan menolak untuk merujuk ke etnis Muslim Bengali sebagai Rohingya karena kekhawatiran akan adanya reaksi publik.

“Itu bukan karena tekanan pemerintah,” kata anggota komisi Kyaw Yin Hlaing.

“Tujuan kami adalah untuk membawa rekonsiliasi dan jika kami menggunakan istilah Rohingya, kami tidak dapat mencapai tujuan tersebut karena emosi tinggi dari masyarakat, tidak hanya di Rakhine, tetapi juga di bagian lain di negara ini.”