Ulumul Qur’an dan Sejarah Perkembangannya

Ulumul Quran

Al-Qur’an adalah mukjizat dalam Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya.

Para sahabat sangat bersemangat untuk mendapatkan pengajaran Al-Qur’an Al-Karim dari Rasulullah. Mereka ingin menghafal dan memahamminya. Bagi mereka, ini merupakan suatu kehormatan.

Abu Abdirrahman As-Sulami meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membacakan Al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, serta yang lainnya; apabila mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus.” (1)

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak mengizinkan mereka menulis apa pun selain Al-Qur’an, sebab ditakutkan dapat tercampur aduk dengan yang lain.

Muslim meriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Jangan sekali-kali menulis apa pun dariku. Barangsiapa menulis sesuatu selain Al-Qur’an dariku maka hapuslah. Sampaikanlah haditsku, tidak masalah. Namun, barangsiapa mendustakan aku dengan sengaja, maka nerakalah tempatnya.”

Demikianlah yang terjadi pada masa Rasul, masa Khalifah Abu Bakar, dan Umar Radhiyallahu Anhuma.

Lalu pada masa Khalifah Utsman (2) Radhyallahu Anhu, sesuai dengan tuntunan kondisi –seperti yang akan dijelaskan kemudian (3)– membuat suatu terobosan ijtihad mulia, yaitu demi menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudian diberi nama mushaf Al-Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut sebagai rasm Utsmani, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini adalah awal munculnya ilmu penulisan rasm Al-Qur’an.

Kemudian, Khalifah Ali Radhiyallahu Anhu menyuruh Abul Aswad Ad-Duali untuk menggagas kaedah nahwu, demi menjaga adanya kekeliruan dalam pengucapan dan untuk lebih memantapkan bagi pembacaan Al-Qur’an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu i’rab Al-Qur’an.

Di antara para mufassir terpopular di kalangan sahabat Nabi adalah; empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Az-Zubair.

Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup termasyhur adalah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah.

Murid Ubay bin Ka’ab yang popular di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.

Di Irak terdapat murid Abdullah bin Mas’ud yang juga terkenal sebagai mufassir. Mereka yaitu; Alqamah bin Qais, Masruq bin Al-Ajda’, Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.

Abad kedua Hijriyah adalah masa kodifikasi. Mula-mula kodifikasi hadits dengan metode penggunaan bab-bab yang kurang sistematik. Semuanya mencakup segala yang berkaitan dengan tafsir.

Tokoh-tokoh yang melakukan kodifikasi itu di antaranya Yazid bin Harun As-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Al-Jarrah (wafat 211 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H) dan Abdul Razzaq bin Hammam (wafat 211 H). Kesemua ulama itu pada dasarnya termasuk ulama hadits. Hingga sekarang kita belum menemui penjelasan-penjelasan tafsir mereka dalam berbagai kitab.

Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Al-Qur’an sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari (wafat 310 H).

Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu melalui proses kodifikasi, tapi masih masuk dalam bab-bab hadits. Lalu pada tahap berikutnya dikodifikasikan secara mandiri. Kemudian muncul tafsir bil ma’tsur (yang menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an, hadits Nabi, serta perkataan para sahabat dan salafushshalih) dan tafsir bir-ra’yi (yang menggunakan akal atau pendapat pribadi).

Dalam bidang ilmu tafsir muncul karya-karya tematik yang berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an yang cukup penting bagi seorang mufassir.

Sangat banyak karya-karya ulama yang mengkaji disiplin ulumul Qur’an. Karya-karya itu diranggkum dalam satu karya besar sebagaimana yang disinyalir oleh Az-Zarqani dalam kitabnya Manahil Al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an (4) bahwa di dalam Dar Al-Kutub Al-Mishriyah ada sebuah kitab karya Ali bin Ibrahim bin Said, terkenal dengan sebutan Al-Hufi. Nama kitab tersebut Al-Burhan fi ‘Ulumi Al-Qur’an, terdiri dari 30 jilid. Di dalamnya terdapat 15 jilid yang mana di sana penulisannya menyebut ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tertib mushaf yang mencakup pembahasan ulumul Qur’an.

Lalu, Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengikuti jejak Al-Hufi. Ia menulis kitab “Funun Al-Afnan fi ‘Aja’ibi ‘Ulum Al-Qur’an.” (5) Badruddin Az-Zarkasyi (wafat 794 H) menulis “Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.” (6) Jalaluddin Al-Balqini (wafat 824 H) menulis “Mawaqi’ Al-‘Ulum min Mawaqi’ An-Nujum,” menambahi sedikit kitab Az-Zarkasyi. Kemudian, Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) dengan kitabnya yang cukup terkenal yaitu “Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an.”

Inilah beberapa kajian yang dikenal sebagai studi ilmu-ilmu Al-Qur’an. Sekarang, kita beralih kepada definisi singkat tentang ulumul Qur’an.

‘Ulum adalah bentuk plural dari ‘ilm. ‘Ilm sendiri maknanya al-fahmu wa al-idrak (pemahaman dan pengetahuan). Kemudian, pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang beragam dengan standar ilmiah.

Dan yang dimaksud dengan ‘Ulum Al-Qu’an, yaitu suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al-Qur’an seperti; pembahasan tentang asbab an-nuzul, pengumpulan Al-Qur’an dan Penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, dan lain-lain.

Kadang-kadang ulumul Qur’an ini juga disebut sebagai ushul at-tafsir (dasar-dasar/prinsip-prinsip penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an.

1. HR. Abdul Razaq dengan lafazh yang semakna. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir.

2. Al-Qur’an perama kali dikumpulkan adalah pada masa Abu Bakar paska peperangan Yamamah sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan yang akan datang.

3. Lihat dalam pembahasan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Utsman.

4. Lihat Manahil Al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, I/27 dan seterusnya.

5. Skripsinya yang belum diterbitkan masih ada, tapi tidak lagi sempurna. Terdapat di perpustakaan Timurah.

6. Yang kemudian diedit dan diterbitkan oleh Muhammad Abu Al-Fadhl Ibrahim, ada empat jilid.

Sumber: Diringkas oleh tim redaksi alislamu.com dari Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits fie ‘Uluumil Qur’aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc. MA (Pustaka Al-Kautsar), hlm. 3 – 10.