Oleh: Iman Adipurnama
Bulan April selalu tampil lain daripada biasanya. Di tanggal 21 kaum hawa ramai-ramai mengenakan kain kebaya dan sanggul. Berbagai seremoni tersaji di setiap pelosok tempat. Suasana perkantoran, instansi pemerintahan, swasta hingga organisasi kemasyarakatan berlomba mengadakan berbagai kegiatan untuk memperingati hari Kartini. Siapa tak kenal Kartini?
Hampir semua anak bangsa menjadikan sosok Kartini sebagai satu-satunya tokoh pergerakan perempuan di Indonesia. Sosoknya menjadi ikon kemajuan perempuan Indonesia. Lalu pernahkah kita bertanya: “Kenapa harus Kartini yang menjadi ikon?”
Anak-anak bangsa, saya yakin, jarang atau bahkan tak pernah mendengar nama Malahayati. Padahal ia adalah laksamana perempuan pertama di dunia, bukan hanya di Indonesia. Perempuan asal Aceh ini memimpin armada perang Kesultanan Aceh di Selat Malaka. Namanya bahkan ditakuti armada laut Portugis, Belanda dan Inggris. Sebab Malahayati-lah yang berhasil membunuh Cornelis de Houtman pada tahun 1599. Cornelis de Houtman adalah orang pertama yang menancapkan imperialisme di tanah Nusantara ini.
Tanah rencong, Aceh, telah begitu banyak menelurkan perempuan-perempuan hebat. Tercatat nama-nama agung mujahidah Aceh seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Teungku Fakinah, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren dan Cutpo Fathimah. Dengan berani mereka melenggang ke ranah publik, di saat kebanyakan perempuan Indonesia terkurung dalam sektor domestik. Mereka menjadikan bagian dari kehidupan mereka sebagai jihad fie sabilillah dalam rangka mengusir kaum penjajah.
Selain perempuan-perempuan Aceh itu ada nama-nama lain sepert Dewi Sartika dari Bandung, Rohana Kudus dari Sumatera Barat, dan Siti Aisyah Wa Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Mereka semua adalah perempuan-perempuan yang maju di zamannya dan telah berkontribusi nyata.
Rohana Kudus misalnya, ia selangkah lebih maju ketimbang Kartini. Ia tak hanya melemparkan wacana mengenai sekolah khusus perempuan, akan tetapi ia sudah mewujudkannya dalam bentuk nyata yakni Sekolah Kerajinan Amal Setia di tahun 1911. Dan ia merealisasikannya pada usianya yang masih 27 tahun. Sementara sekolah Kartini baru didirikan 11 tahun setelah wafatnya yakni di tahun 1915.
Lain lagi dengan Dewi Sartika, perempuan asal Bandung ini berhasil mendirikan Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan) di tahun 1904, tahun di mana wafatnya Kartini. Sekolah ini adalah sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda.
Sementara Siti Aisyah Wa Tenriolle dari Sulawesi Selatan adalah Ratu dari kerajaan Tannete. Ia adalah Ratu terlama di Indonesia (1855-1910). Selain itu ia juga berhasil menyelamatkan warisan budaya dunia I La Galigo, suatu epos terpanjang di dunia. I La Galigo adalah suatu sajak maha besar, mencakup lebih dari 6.000 halaman folio.
Kebanyakan dari tokoh pergerakan perempuan Indonesia adalah muslimah taat. Perjuangan mereka dilandasi niat jihad fie sabilillah dalam rangka mengusir penjajah. Sayangnya, sejarah nasional tidak mencatatkan nama mereka dengan tinta emas, sebagaimana yang diperoleh oleh Kartini. Mereka pun tidak tampil dalam buku-buku pelajaran sekolah.
Sebagaimana yang tertulis dalam buku karya Artawijaya, di awal tahun 1900-an, ada sekitar 70.000 orang Eropa di Jawa. Sebagian besar dari mereka adalah wakil-wakil urusan keuangan dan pegawai sipil Eropa. Hindia Belanda era itu, masih berstatus tanah jajahan. Karena itu partai-partai berkuasa di Belanda, juga memainkan peran penting di Hindia Belanda.
Di tanah Jawa juga saat itu tumbuh subur kelompok humanis Eropa. Kelompok-kelompok ini aktif membidik warga pribumi. Salah satu kelompok humanis itu adalah Gerakan Politik Etis, yaitu gerakan politik kolonialis yang mengusung kebijakan asimilasi, unifikasi, dan asosiasi terhadap masyarakat pribumi.
Asosiasi dan asimilasi diartikan sebagai kebijakan mencampur dan mengganti kebudayaan Indonesia oleh kebudayaan negara Induk/Belanda, melalui pemerintahan, pendidikan dan sistem hukum. Sedangkan unifikasi adalah penyatuan seluruh sistem yang berkembang dalam masyarakat pribumi dan sistem kolonial.
Mereka yang tergabung dalam Gerakan Politik Etis inilah yang banyak berinteraksi dengan Kartini, seperti tercermin dalam surat-suratnya. Di antaranya adalah J.H Abendanon dan istrinya, seorang humanis yang direkomendasikan oleh Snouck Hurgronje.
Umat Islam khususnya yang di Aceh tentu paham betul siapa Snouck Hurgronje dan apa kepentingannya. Misinya jelas memecah belah kekuatan Islam. Dari sini saja sudah terlihat pola yang hendak diusungnya.
Dengan dukungan kaum humanis Eropa inilah nama Kartini mulai besar. Ia jadi ikon perempuan dengan pemikiran modern di Indonesia, dan serta merta mengubur keberhasilan perempuan Indonesia lainnya. Bahkan dalam bukunya, Artawijaya telah mengurai begitu panjang lebar mengenai keterkaitan Kartini dengan paham theosofi.
Mengenai akhir hidupnya pun, banyak ragam versi yang beredar. Ada versi yang menyatakan bahwa Kartini kembali ke pemahaman Islam yang murni, tanpa embel-embel paham theosofi. Ia dikatakan pernah berguru kepada seorang ulama.
Sayangnya versi yang satu ini agak lemah. Sebab Kartini tidak pernah membuat pernyataan untuk mengoreksi pemahaman-pemahaman sebelumnya yang dianggap sejalan dengan paham theosofi yang juga diusung humanis-humanis Eropa. Tentu saja kita berharap Kartini mengakhiri hidupnya dengan khusnul khatimah.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada seorang Kartini, senada dengan Widi Astuti, pemerhati sejarah pergerakan perempuan Indonesia, dalam artikelnya, rasa-rasanya saya lebih setuju jika kata-kata “Hari Perempuan Indonesia” yang dikedepankan ketimbang sekedar “Hari Kartini”. Lebih adil. Sebab perempuan-perempuan Indonesia yang maju tak hanya milik Kartini seorang. [islampos]